Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Pukul 04.30 WIB, dokter Rumah Sakit Dokter Hasan Sadikin sambat pada Erlin. “Gimana ini?” Dokter menilai, kasihan apabila jantung Imam harus terus-menerus dipaksa berdenyut oleh alat pompa jantung.
ADVERTISEMENT
Di antara kebimbangan atas pertanyaan dokter itu, pertanyaan-pertanyaan Imam saat berada di awal-awal kariernya sebagai pemadam --yang dilontarkan kepada istrinya sambil senyam-senyum karena tak mampu menyembunyikan rasa bahagia-- berkelebat lewat.
“Bangga enggak saya jadi pemadam? Gagah enggak saya pake baju seragam gini?”
Sang istri jelas bangga. Tapi, demi melihat tubuh ringkih suaminya yang tergolek sejak lima hari sebelumnya, kata gagah jauh dari bayangan Erlin.
Pada akhirnya, Erlin menjawab lemah, “Bagaimana lagi.” Kerja alat pompa jantung dihentikan, dan hanya berselang setengah jam, nyawa Imam tak tertolong lagi. Barangkali memang sudah diatur: di hari Jumat yang baik, Imam yang baik dibebaskan dari segala siksa dunia yang mendera.
Erlin, istri Imam, memilih untuk menghindari kontrakan keluarganya yang berada di Ciawitali, Cimahi. Ia memutuskan, setidaknya seminggu ke depan, tinggal di rumah kakaknya di Margaluyu, Cimahi Tengah.
ADVERTISEMENT
“Saya enggak tega, pulang, inget suami lagi di rumah,” ucap Erlin dengan mata berkaca-kaca. Isaknya tertahan --kantung mata tebal menggantung di bawah kedua matanya, sisa jaga tiap malam saat Imam dirawat enam hari sebelumnya.
“Lagian kan ada tahlilan sampai tujuh harinya di rumah ibunya, jadi saya bisa bolak-balik nanti,” lanjutnya. Rumah orang tua Imam memang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumah kakak Erlin.
Selain mudah untuk bolak-balik mengurus tahlilan seminggu ke depan, di situ, Erlin tahu bahwa Shyla akan dikelilingi lebih banyak teman seusianya. Anak pasangan Imam-Erlin tersebut masih berusia 9 tahun, dan kematian ayahnya menghantamnya dengan keras.
Erlin takut, kematian suaminya akan membawa dampak terlalu dalam bagi Shyla. Maka, berpindah sementara ke rumah kakaknya menjadi jawaban paling masuk akal.
ADVERTISEMENT
Malam setelah kematian Imam, Shyla sempat bertanya pada ibunya, “Bu, entar di rumah cuma berdua yah?”
Erlin sesak mendapati anaknya harus menanggung beban demikian. Maka, kontrakan Rp 700 ribu per bulan di Ciawitali ditinggalkannya. “Jadi udahlah saya di sini dulu aja. Shyla juga jadi ada temen.”
Shyla Anggraini Putri masih duduk di kelas 4 SD. Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Imam-Erlin, yang tak diragukan lagi amat dekat dengan ayahnya. Meski kerja berat, shift kerja 1 hari masuk 2 hari libur yang dimiliki Imam memungkinkannya punya waktu banyak dengan anak semata wayangnya.
Dengan Erlin sebagai ibu rumah tangga dan Imam yang punya waktu lebih, Shyla tak pernah kekurangan pasokan kasih sayang dan perhatian. Bahkan, rencananya, akhir pekan lalu Imam akan mengajak Shyla ke markas Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana (DKPB) Kota Bandung.
ADVERTISEMENT
Pada DKPB Kota Bandung, Imam berposisi sebagai operator yang tergabung dalam Regu Penyelamatan. Regu ini berbeda dengan Regu Pemadaman.
Kerja regu Imam tak hanya terbatas pada kejadian kebakaran di Kota Bandung, melainkan juga misi penyelamatan binatang (animal rescue), menggagalkan upaya bunuh diri, mengamankan sarang tawon yang tumbuh terlalu besar, hingga misi-misi trivial macam menyelamatkan kucing yang terjebak di genteng tetangga.
Apapun misi yang dilaporkan pada call center 113 Pemadam Kebakaran (Damkar) Kota Bandung, Imam dan regu penyelamatnya akan langsung tancap gas.
Minggu lalu, seharusnya Shyla berada di sebelah ayahnya, menyaksikan “ayah Imam” memainkan raung sirene kendaraan untuk melejit di jalanan Kota Bandung.
Minggu lalu, seharusnya Shyla tahu bahwa seragam biru tua dengan panji Penyelamatan di dada kiri Imam berarti lebih banyak dari sekadar tenaga kontrak yang di hari liburnya harus menjadi sopir tanki air bersih untuk menambah nafkah.
ADVERTISEMENT
Minggu itu, Shyla seharusnya bisa melihat sang ayah bertugas, menjadi pahlawan, menjadi superhero bagi Kota Bandung layaknya Superman bagi Metropolis.
Shyla juga akan mendapati langsung ayahnya menjadi rekan yang baik bagi para pemadam lainnya --rekan yang humoris, setia kawan, dan relijius dalam waktu bersamaan.
Sebelum meninggal, Imam memang berjanji akan mengajak Shyla turut serta naik mobil pemadam kebakaran saat tugas jaganya kembali datang, Minggu (17/9).
The eternal promises of the stolen fire fighter --karena rupanya Tuhan berkata lain. Janji pada Shyla untuk naik mobil damkar bersama, berakhir sebatas janji.
Nasib juga tak kalah garang di hadapan keluarga Trisna Supriatna. Saat kecelakaan yang merenggut nyawanya terjadi, istri Trisna baru 14 hari melahirkan anak keduanya, Muhamad Yuman. Padahal, anak pertamanya, Eki Muhamad Rizky, masih berusia 8 tahun saat tragedi itu terjadi.
ADVERTISEMENT
Maka, ketika Jumat (15/9) lalu aqiqahan Yuman digelar, bukanlah Trisna yang memotong rambut anak laki-lakinya itu. Prosesi yang dilaksanakan di rumah Trisna di Garut setelah salat Jumat itu berlangsung sendu.
Teman-teman seregu Trisna, yang sedianya ingin menghadiri aqiqah di rumah Trisna dan tahlilan di rumah orang tua Trisna, tak jadi datang. Kematian Imam yang terjadi pada pagi harinya, membuat pasukan yang berada di Bandung memilih memberikan penghormatan terakhir ke petugas damkar Kota Bandung kedua yang tewas dalam 30 tahun terakhir. Bahkan Ahmad Jaelani, kakak Trisna, juga tak hadir.
Berbeda dengan Imam yang sempat dirawat selama lima hari, kematian Trisna datang begitu cepat bagi keluarganya. Ia tewas beberapa saat setelah dievakuasi dari reruntuhan dinding yang menimpanya di pabrik tekstik CV Sandang Sari, Kota Bandung.
ADVERTISEMENT
“Kondisinya masih ada detak jantungnya, nadinya masih ada saya pegang. Cuma mungkin di rumah sakit Allah berkata lain, sampai saya dapat kabar, almarhum meninggal,” kata Iqbal, rekan pemadam yang ikut menggali jasad Trisna dari reruntuhan.
Namun begitu, pertanda datang, dan keluarga berharap bahwa itu adalah isyarat bagi keluarga untuk mengikhlaskan almarhum Trisna.
“Kemarin anak pertamanya (Eki) cerita, dia mimpi, ‘Ayah masih hidup, sekarang rumahnya bagus, tadi pulang naik motor.’ Gagah, katanya, ayahnya seneng, ketawa-ketawa,” ucap Popi, kakak ipar Trisna. Semoga.
Menjalani pekerjaan dengan risiko amat tinggi sementara hanya berstatus sebagai pekerja harian lepas (PHL) tentu sangat berat. Meski begitu, tak hanya kedua korban, beberapa PHL Damkar Bandung yang diwawancarai kumparan menjawab bahwa urusan kantong menjadi perkara tersier saat mereka memutuskan bekerja sebagai pemadam kebakaran.
ADVERTISEMENT
“Nggak pernah ngeluh. Tetep aja kerja. Dia emang antusias, dari mulai pendidikan atau apa juga, dia nggak pernah ngeluh,” ujar Erlin tentang kondisi kerja suaminya. Erlin sendiri tahu bahwa keluarganya harus bersabar karena Imam masih berstatus PHL.
Harapan menjadi pegawai negeri sipil dalam beberapa tahun ke depan terus dipupuk dengan doa, sembari kekurangan tiap hari coba ditambal Imam dengan menjadi pengemudi tanki air bersih --pekerjaannya dulu sebelum menjadi pemadam.
Maka, ketika tragedi itu datang, kekhawatiran sempat muncul pada benak Erlin dan Yayat. Untungnya, Kota Bandung menyikapi gugurnya dua pahlawan mereka dengan baik.
Hal tersebut diakui oleh kedua keluarga almarhum yang berkata, mereka merasa sangat terbantu dengan respons pemerintah Kota Bandung.
ADVERTISEMENT
Yayat, ayah Imam, menyampaikan rasa terima kasihnya. “Nggak, sepeser pun nggak (keluar uang). Karena ada komitmen tidak boleh sedikitpun mengeluarkan. Alhamdulillah nggak ada. Kalau diminta mengeluarkan juga, dari mana saya?”
Meski berstatus pekerja harian lepas, Trisna dan Imam dijamin oleh BPJS Ketenagakerjaan. “Makanya kan dipakai asuransi kecelakaannya, asuransi kematian, asuransi kesehatan,” ucap Ahmad Jaelani.
Selain itu, Dinas BKPB juga tak kurang-kurangnya memberikan perhatian. Kematian kedua anggota pasukannya mau tak mau meninggalkan luka menganga pada catatan kerberhasilan korps tersebut.
Sepanjang berdiri di Kota Bandung, DKPB baru sekali kehilangan nyawa pasukannya. Itu pun terjadi di medio 70-an, saat standar keamanan belum setinggi saat ini.
“Jadi, sebetulnya rentang waktunya udah hampir 35 tahun kami tidak ada kejadian seperti ini. Nah inilah barangkali takdir, tidak bisa kami pungkiri,” ucap Kurnia Saputra, Kepala Bidang Kesiapsiagaan, Operasi Pemadaman dan Penyelamatan pada kumparan, Kamis (14/9).
ADVERTISEMENT
Kecelakaan ringan pun sebetulnya jarang terjadi pada petugas pemadam kebakaran Kota Bandung. Dalam lima tahun terakhir, hanya tiga kali kejadian mencelakakan petugas DKPB Kota Bandung. Pada 2011, Icha Sumpena dan Syahrudin terkena luka bakar saat bertugas memadamkan kebakaran Cibaduyut, dan Rahman terluka saat peristiwa kebakaran di Gedebage pada 2014.
Senin (18/9) lalu, kedua keluarga korban diundang untuk datang ke Markas Komando DKPB. Di situ, pemerintah Kota Bandung menggelar upacara penghormatan, sekaligus penyerahan santunan kepada keluarga korban. Secara simbolik, aula sekitar 100 meter persegi yang berada di lantai tiga Mako DKPB diberi nama “Aula Trisna Imam”.
Wakil Wali Kota Bandung, Oded Muhammad Danial, menghadiri upcara tersebut. Ia menyerahkan santunan secara langsung kepada keluarga kedua almarhum.
ADVERTISEMENT
Pada hari kematian dua almarhum, Oded juga datang melepas kepergian kedua jenazah. Ia berpesan agar anak-anak mereka menjadi perhatian semua orang di Bandung, menyebut tiga anak kedua almarhum sebagai “anak kita semua”.
Sebelumnya, Kepala DKPB, Ferdi Ligaswara, lantang mengatakan akan menjamin pendidikan anak-anak Imam dan Trisna.
“Insyaallah, (DKPB) akan menyekolahkan anak almarhum sampai kuliah,” ucapnya sesaat usai pemakaman Imam. Seakan tak cukup, Ferdi juga menyebut akan mengangkat anak-anak itu sebagai anak angkatnya.
Tetap tegar, Shyla. Tak ada yang sia-sia. Tumbuhlah tangguh, seperti ayahmu yang berhati kukuh.