Konten dari Pengguna

Kekecewaan Publik dan Golput Otentik

Agus Sutisna
Dosen, Founder Yayasan Podiumm Pesantren Nurul Madany Cipanas Lebak
15 Oktober 2023 6:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sutisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi golput Foto: Herun Ricky/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi golput Foto: Herun Ricky/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sesungguhnya dalam norma perundang-undangan Pemilu, tidak ada satu pun pasal yang mengatur ketentuan perihal besaran angka partisipasi pemilih sebagai ambang batas (threshold) untuk menentukan sah atau tidak sahnya hasil Pemilu. Ketentuan ini tidak ada baik dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu maupun dalam berbagai Peraturan KPU.
ADVERTISEMENT
Artinya berapa pun besaran angka persentase partisipasi pemilih, termasuk misalnya hanya mencapai 50 persen atau kurang, Pemilu tetap sah secara hukum. Atau sebaliknya, berapa pun besaran angka golput, termasuk jika tembus ke angka di atas 50 persen, Pemilu tetap sah.
Dengan demikian para kandidat terpilih, baik untuk Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden-Wakil Presiden sah untuk ditetapkan dan dilantik.
Lantas mengapa banyak pihak yang berisik soal potensi angka partisipasi yang rendah sekaligus risau dengan potensi angka Golput yang tinggi?
Karena angka partisipasi pemilih yang rendah (dengan demikian angka Golput tinggi) dianggap mencerminkan rendahnya legitimasi politik para kandidat terpilih. Bahkan kerap juga dimaknai sebagai rendahnya kepercayaan publik terhadap proses politik elektoralnya. Maka partisipasi pemilih harus didorong dan Golput harus dicegah.
ADVERTISEMENT

Golput dan Golput Otentik

Ilustrasi golput Foto: Herun Ricky/kumparan
Secara simplistik dan pukul rata, golput (Golongan Putih) lazimnya dimaknai sebagai kelompok masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara Pemilu. Jika ditelusuri akar sejarahnya pemahaman ini sesungguhnya kurang tepat.
Fenomena golput pertama kali muncul menjelang Pemilu 1971, Pemilu pertama era di Orde Baru. Diinisiasi oleh sejumlah aktivis mahasiswa dan pemuda yang kecewa atas kebijakan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan Pemilu. Alasannya mereka menilai tidak ada satu pun partai politik yang bisa menampung dan memperjuangkan aspirasi mereka.
Istilah golputnya sendiri dipromosikan oleh Imam Walujo Sumali (mantan Ketua Ikatan Mahasiswa Kebayoran) melalui artikel bertajuk “Partai Kesebelas untuk Generasi Muda” di harian KAMI edisi 12 Mei 1971. Melalui tulisan ini Imam mengusung gagasan partai kesebelas, selain sembilan parpol dan satu Golkar yang akan bertarung di Pemilu 1971.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana diketahui, Pemilu 1971 diikuti oleh hanya 10 peserta. Kesepuluh peserta Pemilu 1971 itu adalah Golkar, Parmusi, Partai Katolik, PSII, Partai NU, Parkindo, Partau Murba, PNI, Partai PERTI, dan Partai IPKI.
Jumlah itu turun drastis dibanding Pemilu 1955 yang diikuti oleh 172 partai politik. Sebelum Pemilu 1971 digelar beberapa partai politik dibubarkan oleh Orde Baru. Di antaranya adalah partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), selain PKI yang mendalangi G30S tahun 1965.
Berbagai sumber literatur menjelaskan, kala itu golput adalah sebuah gerakan yang intisarinya mengajak masyarakat untuk datang ke TPS namun kemudian menusuk kertas putih di sekitar tanda gambar, bukan gambarnya. Cara ini tentu akan mengakibatkan suaranya jadi tidak sah, dan tak dihitung.
ADVERTISEMENT
Jadi, para pemilih tetap diimbau datang ke TPS, dan ini artinya mereka berpartisipasi. Hanya saja, di TPS mereka diminta untuk mencoblos area berwarna putih di sekitar tanda gambar peserta Pemilu. Mereka mendeklarasikan gerakan ini pada awal Juni 1971, sebulan sebelum pemilu pertama Orba digelar bulan Juli 1971.
Dari penelusuran ringkas di atas, sedikitnya ada tiga item yang bisa disimpulkan. Pertama, golput yang otentik (sebut saja demikian) merupakan pilihan sadar yang diambil para pemilih karena pertimbangan “ideologis” tertentu. Dalam hal ini maksudnya adalah “kekecewaan politik” terhadap pemerintah Orba.
Kedua, secara teoritik golput otentik tetap merupakan partisipasi, karena para pemilih tetap datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya. Hanya saja cara penggunaan hak pilihnya dilakukan dengan sengaja secara keliru dan dipastikan suaranya menjadi tidak sah.
ADVERTISEMENT
Ketiga, golput otentik yang demikian jelas memiliki tujuan yang bersifat politik, yakni mendown-grade legitimasi hasil Pemilu dengan cara membuat sebanyak mungkin suara-suara pemilih tidak sah menurut peraturan perundangan.

Stop Mengecewakan Rakyat

Warga mengambil surat suara saat melakukan simulasi pemungutan suara di Desa Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (12/5). Foto: ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Berdasarkan ulasan di atas jelas golput otentik berbeda dengan pemahaman yang bersifat plastis dan lentur saat ini di mana golput dimaknai dengan cara pukul rata. Asal pemilih tidak datang ke TPS maka mereka dikategorikan golput. Meski alasannya mungkin saja sekadar malas, terkendala masalah teknis, atau a-politis (tidak melek politik, tidak peduli pemilu dan sejenisnya).
Secara politik, golput otentik potensial lebih berbahaya dibanding golput teknik (sebut saja demikian sekadar untuk memudahkan identifikasi), paling tidak karena dua alasan berikut.
Pertama, golput otentik dilatarbelakangi oleh kekecewaan publik terhadap pemerintah. Jika dulu kekecewaan itu dipicu oleh kebijakan terkait penyelenggaraan pemilunya sendiri, saat ini bentuk kekecewaan politik bisa saja dipicu oleh berbagai kebijakan pemerintah. Sebut saja misalnya berkenaan dengan kebijakan-kebijakan pembangunan yang kerap memicu konflik agraria di berbagai daerah, kasus-kasus korupsi para pejabat yang terus saja terjadi dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Atau, bisa juga karena dipicu oleh aspek-aspek tertentu dari perhelatan Pemilu sendiri yang membuat rakyat jengkel dan menilai Pemilu hanyalah sekadar alat mekanis untuk saling bertukar posisi di antara elite belaka.
Kedua, golput otentik dalam praktiknya tidak ditunjukkan dengan cara menghindar dari TPS. Melainkan tetap datang ke TPS, masuk bilik suara, namun kemudian mencoblos dengan cara yang (disengaja) salah agar suara-suara menjadi tidak sah.
Lalu, bagaimana pencegahan yang perlu dilakukan agar golput otentik ini tidak muncul dan merebak kembali di Pemilu 2024 nanti?
Simpel dan tidak ada cara lain, kecuali pemerintah dan DPR memastikan agar berbagai bentuk kekecewaan publik yang disebabkan oleh kebijakan politik atau perilaku politik elektoral yang dianggap menyebalkan dan dinilai tak berpihak pada rakyat bisa diminimalisasi.
ADVERTISEMENT
Ikhtiar ini harus benar-benar menjadi perhatian serius pemerintah dan DPR terutama dalam sisa waktu yang kian mendekati puncak perhelatan Pemilu.