Menimbang Kampanye Pemilu di Kampus

Agus Sutisna
Dosen, Founder Yayasan Podiumm Pesantren Nurul Madany Cipanas Lebak
Konten dari Pengguna
6 September 2023 15:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Agus Sutisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kampanye hitam Foto: thinkstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kampanye hitam Foto: thinkstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa kampanye Pemilu dapat dilakukan di fasilitas pemerintah dan lembaga pendidikan (sekolah dan kampus). Ketentuan ini tertuang dalam dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa, 15 Agustus 2023 lalu.
ADVERTISEMENT
Putusan MK tersebut menjawab permohonan uji materi (judicial review) yang diajukan oleh Handrey Mantiri dan Ong Yenni, yang menilai ada inkonsistensi norma terkait larangan kampanye dalam Pasal 280 ayat 1 huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur bahwa kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah dilarang.
Akan tetapi dalam bagian Penjelasan UU tersebut memberikan kelonggaran terkait larangan tersebut. Teks pengaturan pelonggaran itu berbunyi, bahwa fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan. Jadi terkesan ambigu, dan inilah yang kemudian disoal dan dilakukan judicial review ke MK.
ADVERTISEMENT
Melalui Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 tadi ambiguitas itu sekarang clear, bahwa kampanye Pemilu di gedung atau area milik pemerintah dan lembaga pendidikan diperbolehkan. Namun demikian tetap ada syarat, yakni kegiatan kampanye itu dapat dilakukan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa membawa atribut kampanye pemilu dalam bentuk apa pun.
Terhadap putusan tersebut respons masyarakat beragam. Beberapa pihak menyambut putusan ini sebagai hal yang positif dalam kerangka pendidikan politik bagi civitas akademika, terutama untuk level perguruan tinggi. Namun sebagian yang lain dengan tegas menolak, NU dan PP Muhammadiyah misalnya, kedua ormas Islam mainstream ini kompak menolak kampanye di lingkungan lembaga pendidikan, termasuk kampus. Meski belum menjadi keputusan formal kelembagaan, Muhammadiyah bahkan sudah menyatakan akan melarang kampanye di lingkungan kampus dan sekolah miliknya.
ADVERTISEMENT
Namun terlepas dari pro-kontra di ruang publik, karena putusan MK ini bersifat final dan mengikat (final and binding), tidak dapat ditawar, maka KPU wajib segera merespons dan menindaklanjutinya dengan merevisi Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu yang memang melarang kampanye dilakukan di fasilitas pemerintah dan lembaga Pendidikan. Revisi pengaturan teknis yang dilakukan tentu harus sangat hati-hati dan bijak, menimbang berbagai potensi maslahat dan mudhoratnya, serta memastikan perlakukan adil dan setara terhadap peserta Pemilu dapat diwujudkan.

Kampanye di Kampus

Diskursus perihal kampanye Pemilu di dalam fasilitas (halaman/gedung) milik pemerintah dan lembaga pendidikan (sekolah, pesantren, kampus) sebetulnya sudah lama berkembang. Setidaknya isu ini selalu muncul setiap menjelang perhelatan Pemilu terutama berkenaan dengan kampanye di lembaga pendidikan.
ADVERTISEMENT
Ada satu kekhawatiran jika ini dilakukan akan lebih banyak menimbulkan masalah dan kemudhoratan. Misalnya terjadinya penularan wabah polarisasi di lingkungan lembaga pendidikan, gontok-gontokan akibat orientasi dan afiliasi pilihan politik yang berbeda yang kemudian berdampak pada terganggunya kondusifitas proses pembelajaran dan kehidupan di lingkungan kampus, sekolah maupun pesantren.
Kekhawatiran tersebut tentu bisa dipahami, terutama untuk level sekolah menengah ke bawah dan lingkungan pesantren. Namun khusus untuk lingkungan perguruan tinggi (kampus) tampaknya perlu dipertimbangkan dengan lebih jernih dan bijak, setidaknya karena beberapa argumen berikut ini.
Pertama, berbeda dengan sekolah menengah ke bawah, kampus merupakan entitas orang-orang dewasa yang sudah terbiasa mengedepankan nalar dalam merespons dan menyikapi setiap fenomena di sekitarnya. Kampanye pemilu sebagai sebuah fenomena elektoral mestinya juga bisa direspons dan disikapi dengan nalar orang-orang dewasa.
ADVERTISEMENT
Nalar ini akan menjadi filter pengarah bagi civitas akademika (utamanya mahasiswa yang mungkin dikhawatirkan bisa terpapar virus negatif dari kegiatan kampanye yang sejatinya berisi kontestasi dan kompetisi politik) bagaimana mereka harus merespons dan menyikapi dengan bijak dan proporsional kegiatan kampanye Pemilu.
Kedua, civitas akademika perguruan tinggi mayoritas (jika tidak semua) merupakan warga negara dewasa yang telah memiliki hak pilih sesuai peraturan perundangan. Mahasiswa sebagai segmen civitas akademika paling muda pada umumnya telah mencapai usia 17 atau 18 tahun.
Mereka bukan saja berhak memilih pada waktunya nanti 14 Februari 2024, tetapi juga berhak atas segala informasi kepemiluan agar menjadi pemilih yang terliterasi, cerdas dan melek Pemilu maupun Pilkada. Dan kampanye sejatinya bukan hanya ajang penyampaian visi-misi dan program para kandidat, tetapi juga sekaligus menghadirkan muatan-muatan informasi elektoral yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, selain sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kampus sesungguhnya juga merupakan salah satu pusat perkaderan kepemimpinan generasi muda yang kelak bakal mewarisi dan menjalankan masa depan kehidupan negara bangsa.
Kampanye Pemilu di mana para kandidat, baik legislatif maupun eksekutif (Presiden-Wapres dan Kepala Daerah-Wakil Kepala Daerah) dan partai politik memaparkan gagasan, visi dan misi programatik mereka akan menjadi bagian dari muatan pembelajaran sekaligus pengayaan wawasan dan pengetahuan yang bagus bagi mahasiswa.
Pada saat yang sama, para mahasiswa bahkan juga bisa memberikan feedback, umpan balik (aspirasi, kepentingan, dan termasuk kritik tajam di dalamnya) terhadap gagasan dan visi-misi para kontestan kampanye itu manakala dianggap perlu diartikulasikan.
Ringkasnya, kampanye di kampus potensial bisa menjadi sarana pendidikan, pencerahan sekaligus pendewasaan politik bagi kalangan civitas akademika, khususnya para mahasiswa. Dengan demikian dalam konteks elektoral, mereka diharapkan akan menjadi bagian dari pemilih-pemilih cerdas dan rasional untuk dirinya sendiri sekaligus bisa menjadi “duta-duta pemilih cerdas dan rasional” bagi masyarakat dan lingkungannya. Selain tadi itu, melalui interaksi langsung dengan aktor-aktor politik dalam ajang kampanye mereka bisa “belajar” dan menyerap banyak ilmu, wawasan dan pengalaman untuk kepentingan masa depan mereka.
ADVERTISEMENT
Perihal kekhawatiran terhadap potensi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh kampanye di kampus, hal ini sesungguhnya dapat diantisipasi dan diminimalisasi melalui pengaturan-pengaturan teknis oleh KPU dan memaksimalkan fungsi pengawasan oleh Bawaslu.
Dalam kerangka pengaturan teknis ini misalnya, penting bagi KPU sebagai penyelenggara sekaligus regulator teknis kepemiluan untuk secara sungguh-sungguh mengkalkulasi dengan cermat dan bijak, menimbang baik prinsip-prinsip dasar pengaturan maupun item-item teknis operasionalnya termasuk bentuk dan model kampanyenya. Ini penting untuk memastikan sisi maslahat kampanye lebih besar ketimbang sisi mudhoratnya.