Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Musik Religi, Spiritulitas, dan Tradisi Sufistik
30 Maret 2024 9:51 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Agus Sutisna tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sudah menjadi semacam tradisi yang berulang setiap Ramadan, musik religi kembali menjadi bagian yang mewarnai aktivitas umat Islam di sepanjang bulan suci ini. Lagu-lagu bersyair religius dan pesan-pesan keagamaan diputar di berbagai tempat, termasuk di pusat-pusat perbelanjaan dan ruang-ruang publik lainnya.
ADVERTISEMENT
Para Ulama berbeda pandangan mengenai hukum musik. Sebagian ada yang mengharamkan, baik dalam menciptakan, menyanyikan atau bahkan sekadar mendengarkan. Sebagian yang lain menghukumi musik sebagai mubah, sesuatu yang tidak dilarang tetapi juga tidak dianjurkan.
Akan tetapi dalam satu hal para Ulama sepakati bahwa musik termasuk dalam ranah ijtihadiyah. Bukan doktrin yang status syar’i (hukumnya) pasti.
Argumentasinya karena tidak ada nash yang secara qath’i (pasti) dan sharih (jelas) yang melarang atau mengharamkan musik. Baik di dalam Al Quran maupun Sunnah.
Dalam kumpulan shahih Imam Bukhari dan Imam Muslim bahkan diriwayatkan, suatu kali Abu Bakar Shiddiq ‘alaihissalam masuk ke rumah Aisyah untuk menemui Nabi Muhammad. Ketika itu ada dua gadis di sisi Aisyah yang sedang menyanyi, lalu Abu Bakar menghardiknya dengan kasar seraya berkata: “Apakah pantas ada seruling setan di rumah Rasulullah?” Tetapi kemudian Rasulullah SAW menimpali dengan bijak, “Biarkanlah mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya hari ini adalah hari raya.”
ADVERTISEMENT
Di antara Ulama yang membolehkan musik adalah Imam Al Ghozaly penulis kitab tasawuf terkenal Ihya ‘Ulumuddin dan Syaikh ‘Abdurrahman Al Jaziri pengarang kitab Al-Fiqh ‘al-Madzâhib al-Arba‘ah.
Di dalam karya monumentalnya tersebut, Al Ghazaly memberikan apresiasi tinggi terhadap seni musik dan bernyanyi dengan mengatakan, bahwa:
Musik dan Spiritualitas
Islam, sebagaimana halnya dengan agamana mana pun di dunia, memiliki dua dimensi yang (seharusnya) saling melengkapi dan mengarahkan seorang muslim pada level keutuhannya dalam beragama. Yakni dimensi religiusitas atau dimensi lahir (eksoterisme) dan dimensi spiritualitas atau dimensi bathin (esoterisme).
Dimensi religiusitas dalam Islam berkenaan dengan doktrin-doktrin formal dan eksoteris yang bersumber dari wahyu Allah (Al Quran) dan Sunnah Nabi. Melaksanakan salat, berhijab syar’i bagi perempuan, menunaikan zakat dan bersedekah, megamalkan ibadah puasa dan berhaji bagi yang berkemampuan adalah bentuk-bentuk religiusitas.
ADVERTISEMENT
Sedangkan dimensi spiritualitas berhubungan dengan aspek-aspek esoteris yang tumbuh sebagai bentuk kesadaran eksklusif penghambaan pribadi seorang muslim kepada sang Adikodrati, Allah SWT. Dimensi esoterisme dalam Islam tumbuh setelah atau bersamaan dengan pengamalan aspek-aspek formal syariat dan kaidah-kaidah agama.
Dalam konteks pencapaian level spiritualitas tertentu, secara natur seseorang seringkali membutuhkan suasana bathin (ruhani, psikologis) yang dapat meningkatkan kekhusuannya dalam mentadaburi (merenungkan) segala nikmat dan anugerah yang Allah berikan kepadanya. Musik bernuansa (aransemen dan syair) religi dalam hal ini adalah salah satu instrumen yang dapat menghadirkan dan membangun suasana spiritualitas itu.
Maka tidak heran jika banyak orang Islam amat menggemari senandung musik religi. Bahkan tidak sedikit yang merasa bahwa alunan musik dan syair-syair sebuah lagu memberi pengaruh positif dalam proses penghayatan dan penghambaannya (muqorrobah) kepada Allah SWT.
ADVERTISEMENT
Musik dan Tradisi Sufistik
Dalam sejarah perbadan Islam, musik juga menjadi bagian penting khususnya dalam tradisi (spiritualitas) sufistik atau tasawuf.
Meminjam penjelasan Mohammed Arkoun, cendekiawan muslim kontemporer, konsep spiritualitas dalam Islam diisi dengan berbagai macam pengertian yang kompleks. Biasanya dikaitkan dengan konten-konten seputar agama, musik, arsitektur, lukisan, literasi, filosofi dan lain sebagainya. Musik dan spiritualitas memiliki hubungan yang panjang sejak peradaban manusia dimulai, termasuk dalam dunia tasawuf (Fikri Surya Pratama, 2023).
Secara khusus dalam tradisi sufistik atau tasawuf, terdapat jenis musik spiritual yang berkembang di kalangan para sufi. Yakni musik spiritual As-Sama’ (Bahasa Arab), yang berarti mendengar (Cowan, 1980). Dalam kosakata Arab klasik, kata As-Samā ini berarti nyanyian atau alat musik. Sehingga istilah ini digunakan para kelompok sufi untuk menggunakan musik sebagai media penghubung mereka dengan Allah SWT dalam dunia spiritual (Glasse, 1996).
ADVERTISEMENT
Dalam menikmati dan menggunakan musik sebagai media peningkatan level spiritualitas, Al-Mişri melihat musik sebagai suatu aktivitas spiritual dengan tujuan merasakan sentuhan dari Allah. Suatu sentuhan batin yang dapat membangkitkan rasa gairah hati menuju Allah.
Dalam konteks sebagaimana dijelaskan Al Misri inilah saya kira apa yang dirasakan dan dinikmati oleh banyak umat Islam yang saat ini tengah menjalani ibadah puasa dengan ikhlas ketika misalnya sambil ngabuburit atau beraktivitas lainnya mendengarkan lantunan syahdu “Sajadah Panjang”-nya Bimbo atau syair almarhum Chrisye “Ketika Tangan dan Kaki Berkata” yang menghunjam.
Selanjutnya Al Misri menjelaskan, bahwa pencapaian spiritual itu tidak akan dapat diraih oleh mereka yang mendengarkan musik dengan nafsu dan syahwat hedonitas. Karena itu dalam tradisi sufistik, bermusik dilarang menyanyikan lagu dengan syair-syair yang tidak sopan, cabul dan musik yang merangsang pendengarnya pada gerakan sensual (Gazalba, 2004).
ADVERTISEMENT