Sesal di Berlin untuk Korban Holocaust

Tomy Wahyu Utomo
A visual journalist.
Konten dari Pengguna
22 Maret 2018 12:43 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tomy Wahyu Utomo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seminggu di Berlin sangat menyisakan banyak kenangan bagi saya. Terlebih bagi seorang mahasiswa sastra Jerman yang akhirnya bisa "balik kampung" dan belajar langsung budaya Jerman. Area pedestrian, gedung-gedung neo-modern, Gerbang Brandenburg tentunya, hingga banyak gedung-gedung tua saksi bisu dua perang dunia dahulu.
ADVERTISEMENT
Semasa SMA, saya sangat suka mempelajari sejarah Perang Dunia. Itu salah satu alasan kenapa saya memilih studi ini. Mimpi saya beberapa tahun lalu melihat gerbang Brandenburg dan sisa-sisa tembok Berlin akhirnya terwujud.
Berlin Holocaust Memorial. (Foto: Tomy Wahyu Utomo/kumparan)
Tapi rasanya kok sia-sia kalau saya cuma tertarik kepada dua ikon kota itu, padahal di Berlin masih memiliki ratusan keunikan lainnya. Selama di Berlin, saya tidak pernah menggunakan moda transportasi umum. Saya lebih memilih menyewa sepeda atau berjalan kaki karena akan jauh lebih hemat.
Di hari terakhir saya menemukan sekumpulan Kneipe, semacam kedai Currywurst dan Weissbier khas Jerman yang letaknya hanya beberapa blok dari gerbang Brandenburg. Ketika duduk santai di Kneipe, mata saya tertuju pada satu area berisi banyak blok tepat di depan saya. Apa itu? Segera saya googling untuk memastikannya.
Berlin Holocaust Memorial. (Foto: Tomy Wahyu Utomo/kumparan)
Ternyata benar, monumen yang saya lihat itu adalah monumen yang dibangun tahun 2005 untuk mengenang 60 tahun Perang Dunia II, monumen itu bernama Jews Memorial. Orang Jerman menyebutnya 'Denkmal für die ermordeten Juden Europas' atau secara harafiah bisa diartikan sebagai memoar untuk orang Yahudi yang mati terbunuh di Eropa.
Berlin Holocaust Memorial. (Foto: Tomy Wahyu Utomo/kumparan)
Monumen-monumen itu berbentuk balok kotak-kotak dengan beragam tinggi dan ukuran. Yang paling pendek mungkin sekitar 50cm, sedangkan yang paling tinggi mungkin tingginya kira-kira 4,5 meter. Kita bisa menemukan yang paling tinggi dibagian tengah. Monumen ini sekilas mirip labirin. Saya menemukan banyak wisatawan berlari-lari dan main petak umpet di tengahnya.
Berlin Holocaust Memorial. (Foto: Tomy Wahyu Utomo/kumparan)
Di bagian bawah monumen ini sebenarnya terdapat museum kecil bernama Ort der Information yang berisi penjelasan mengenai monumen tersebut dan sejarah pembantaian Holocaust. Ruangan di muesum itu sangat hening, kita yang berbisik pelan saja bisa terdengar jelas.
ADVERTISEMENT
Kembali mengenai konsep monumen, sebenarnya monumen ini memang dibangun untuk menghormati para korban Holocaust saat PD II. Namun sayang, tidak semua wisatawan mengerti mengenai esensi dan konsep monumen ini sehingga banyak yang berprilaku tidak semestinya di benda cagar budaya ini.
Saya termasuk salah seorang di dalamnya. Dengan tidak membaca peraturan yang ada, saya seenaknya berfoto di atas balok-balok batu monumen kematian tersebut, hanya demi foto-foto selfi. Sebagai seorang akademisi, saya mencoba membuat rasa sesal saya itu sedikit lebih berguna.
Semoga teman-teman yang membaca tulisan ini, jika nanti berkunjung ke monumen itu tidak melakukan seperti apa yang saya lakukan sebelumnya. Karena menghargai sejarah di mana pun itu adalah sebuah keharusan bagi para insan terdidik.
ADVERTISEMENT