Ganas Berteriak Moral, Bungkam atas Pelecehan Seksual

Avicenna Raksa Santana
Dialog sehat yuk~
Konten dari Pengguna
26 Januari 2018 15:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Avicenna Raksa Santana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pelecehan seksual (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pelecehan seksual (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
ADVERTISEMENT
Negeri ini kadang suka aneh. Banyak orang sibuk ikut campur urusan seksualitas di wilayah privat. Mulai dari rencana memidanakan kumpul kebo, hingga melakukan penggrebekan atas nama moral.
ADVERTISEMENT
Sementara soal pelecehan seksual di ruang publik, yang jelas-jelas merupakan tanggung jawab bersama, orang seringnya malah menutup mata. Baru ketika sebuah kasus diramaikan, orang teringat lagi betapa mengerikannya ruang publik kita.
Beberapa hari belakangan, ada dua kasus pelecehan seksual yang menarik perhatian. Pertama adalah kasus pelecehan terhadap pasien di National Hospital Surabaya oleh perawat; kedua, pelecehan terhadap perempuan oleh pengendara motor yang melintas.
Keduanya bisa dibilang menunjukkan minimnya tempat aman bagi perempuan. Terbaring di rumah sakit, digerayangi. Lewat jalan raya, diraba. Pernah juga ada kisah perempuan pingsan di bus dicabuli oleh petugas.
Tolonglah, akal ada di mana? Perlakuan itu mungkin cuma dalam hitungan detik, tapi efeknya bisa seumur hidup; karena pelecehan tidak hanya meninggalkan bekas di kulit atau pakaian tapi juga di mental.
ADVERTISEMENT
Sialnya lagi, masing-masing pelaku dari kedua kasus itu bisa dengan mudahnya berkata bahwa ia khilaf. Malah lebih parah dari itu: “Iseng”.
Padahal, bila dinalar, meraba payudara sambil melintas menggunakan motor bukanlah sebuah hal yang mudah—sudah tentu diniati. Begitu pula tingkah perawat, yang menurut pengakuan korban dilakukan sebanyak dua atau tiga kali—itu jelas bukan khilaf.
Dari sana, tampak bahwa pelecehan seksual masih begitu disederhanakan. Bahkan, dalam kasus-kasus lain, tak jarang ada juga yang justru menyalahkan korban—entah karena pakaiannya atau karena gerak-geriknya. Jelas ini sudah salah dari sejak dalam pikiran.
Tidak berlebihan rasanya bila dikatakan bahwa kita mulai masuk ke fase darurat pelecehan seksual.
Dikutip dari kumparan, berdasarkan hasil survei Thomson Reuters Foundation yang diterbitkan Oktober 2017, Jakarta menempati urutan ke-9 dari 10 kota besar di dunia yang paling berbahaya bagi perempuan. Salah satu indikator survei itu adalah risiko kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan sampai pemerkosaan.
ADVERTISEMENT
Rasa tidak aman itu mungkin dirasakan oleh semua perempuan. Namun, dengan cara pandang negeri ini, yang lebih sering mengedepankan moral ketimbang akal, rasa tidak aman lebih lazim dianggap sebagai suatu hal normal.
Tak usah keamanan di jalan. Atas nama moral—yang amat patriarkis itu—urusan keperawanan perempuan pun bisa jadi urusan institusi. Padahal, institusi tersebut bertugas melindungi dan mengayomi seluruh warga negeri ini.
Kita jelas harus belajar lagi menghargai otoritas manusia atas tubuhnya. Segenap yang ada dalam diri adalah milik pribadi. Sebelum ada persetujuan, tidak boleh ada yang ikut campur, di mana pun, atas dalil apapun.