Strategi Jitu Keluar dari Middle Income Trap (1)

Tri Cahyo Wibowo
Instructor, coach, writer, and consultant of productivity. Civil servant at Jakarta Productivity Development Center (Pusat Pengembangan Produktivitas Daerah Provinsi DKI Jakarta).
Konten dari Pengguna
20 Februari 2021 7:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tri Cahyo Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Jakarta. Sumber: pxhere.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Jakarta. Sumber: pxhere.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pembahasan sebelumnya mengenai “Mampukah Indonesia Keluar dari Middle Income Trap?” telah mengulas mengenai kemungkinan-kemungkinan yang bisa dilakukan oleh Indonesia agar keluar dari middle income trap. Artikel kali ini akan membahas lebih detail strategi-strategi jitu apa yang bisa diterapkan agar Indonesia bisa segera keluar dari jebakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Setahun yang lalu Indonesia dicatatkan World Bank naik kelas menjadi higher middle income country dengan pendapatan per kapita USD 4.174 (Rp 58,5 juta), sayangnya pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai membuat Indonesia kembali menjadi lower middle income country dengan pendapatan per kapita menjadi USD 3.912 (Rp 54,9 juta).
Hal ini kembali menjadi pekerjaan rumah besar bagi Indonesia untuk bisa kembali naik tingkat menjadi higher middle income country bahkan kelak menjadi high middle income country.
Menjadi pertanyaan mendasar, mengapa negara-negara di dunia ini dapat memiliki tingkat pendapatan yang berbeda-beda. Prof. Kenichi Ohno dari National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Jepang dalam Workshop on Productivity, Quality, and Innovation for Transforming Economies yang diselenggarakan pada akhir Januari 2021 silam mengungkapkan beberapa hal yang menyebabkan penyebab perbedaan tersebut.
Gambar penyebab setiap negara memiliki pendapatan yang berbeda-beda. Sumber: Presentasi Kenichi Ohno pada Workshop on Productivity, Quality, and Innovation for Transforming Economies, 2021
Pada mulanya negara-negara di dunia berangkat dari satu titik yang sama, yaitu sebagai negara low income. Beberapa negara mulai menerapkan liberalisasi ekonomi, privatisasi, dan integrasi.
ADVERTISEMENT
Liberalisasi ekonomi pada dasarnya adalah “membuka” negara terhadap perekonomian luar yang meliputi perdagangan, regulasi, perpajakan, dan berbagai hal yang akan berdampak terhadap bisnis di dalam negara tersebut (Woodward, 1992).
Liberalisasi ekonomi pun mensyaratkan pengurangan intervensi pemerintah. Pemerintah hanya perlu menjaga agar iklim bisnis di negara tersebut dapat stabil karena kestabilan kondisi sosio-ekonomi dan sosio-politiklah yang akan membuat negara lain berminat melakukan perdagangan dan investasi di negara tersebut.
Liberalisasi ekonomi yang berjalan baik akan memberikan dampak semakin suburnya privatisasi (perekonomian dari pihak swasta) sehingga masyarakat dapat terlibat sepenuhnya dalam perputaran ekonomi baik secara lokal, regional, dan nasional.
Setelah berjalan selama 10-20 tahun, maka berikutnya adalah masa-masa kritis apakah sebuah negara akan naik kelas atau malahan terperangkap dalam jebakan middle income.
ADVERTISEMENT
Negara-negara yang mampu meningkatkan kualitas bangsanya dengan meng-upgrade kualitas sumber daya manusia, skill, teknologi, pengetahuan, dan inovasi akan bisa melejit keluar menjadi negara maju (high income nation) sedangkan negara-negara yang “tidak berbuat apa-apa”, hanya mengandalkan apa yang saat ini sudah dimiliki, akan terjebak dalam middle income trap.
Keterbukaan sebuah negara terhadap perdagangan global akan membuka dan menarik FDI (Foreign Direct Investment) ke negara tersebut. Prof. Ohno menyampaikan ada beberapa tahapan hingga sebuah negara bisa menjadi negara mandiri dan adidaya.
Gambar pola tahapan perkembangan negara menuju high income nation. Sumber: Presentasi Kenichi Ohno pada Workshop on Productivity, Quality, and Innovation for Transforming Economies, 2021
Tahap nol, negara-negara tersebut berada di posisi monokultur, ketika masih sangat bergantung pada agrikultur/pertanian dan juga bantuan dari negara lain/organisasi dunia.
Ketika FDI mulai masuk pada tahap pertama, maka negara-negara ini sudah mulai bisa membuka line manufacturing sederhana dengan bimbingan dari negara investor.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh negara yang bangkit dari titik nadir dan dibimbing negara investornya adalah Jepang yang dibimbing Amerika Serikat pasca kekalahan setelah Perang Dunia II. Nilai-nilai yang diberikan oleh Amerika Serikat diinternalisasi oleh Jepang dan dikembangkan menjadi sangat professional.
Jika internalisasi nilai-nilai dan transfer teknologi sudah bisa diserap dengan baik, maka berikutnya negara-negara ini akan mampu mengembangkan industri lain sebagai supporting system bagi industri arus utamanya dan masih tetap di bawah bimbingan negara investor.
Tahap ini sangat krusial karena merupakan tahap di mana negara harus berhasil menyerap teknologi yang dibawa oleh investor tersebut. Jika gagal, maka negara itu tetap akan terjebak seterusnya sebagai middle income nation.
Kemampuan menyerap teknologi tersebut akan membuat negara bisa mulai menjadi lebih mandiri di mana kemampuan manajerial dan teknologi sudah dapat dikuasai sendiri oleh negara tersebut tanpa perlu dukungan dan sokongan dari negara investor. Fase ini masuk di tahap ketiga.
ADVERTISEMENT
Contoh negara-negara di Asia yang telah mampu masuk ke fase ketiga adalah Korea Selatan dan Taiwan. Kedua negara ini memiliki industri lokal yang mampu bersaing di pasar global bahkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri mereka sudah memiliki produk sendiri yang digunakan secara jamak di negaranya.
Sektor otomotif, Korea Selatan memiliki Hyundai dan Taiwan memiliki Luxgen. Pada sektor gadget, Korea Selatan memiliki Samsung dan Taiwan memiliki Asus, serta pada sektor lainnya kedua negara ini memiliki produknya masing-masing.
Terakhir, jika telah mampu konsisten berinovasi maka akan bisa menjadi negara maju seperti Jepang, AS, dan Eropa.