Konten dari Pengguna

Tradisi "Erlau-lau dan Gundala-Gundala" Suku Karo, Ritual Pemanggil Hujan

Tria Febriani Br Sembiring
Mahasiswa S1 Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Pendidikan Ganesha
3 Desember 2024 9:11 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tria Febriani Br Sembiring tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
hujan (sumber: .pexels.com/id-id/foto/tetesan-hujan)
zoom-in-whitePerbesar
hujan (sumber: .pexels.com/id-id/foto/tetesan-hujan)
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara multikultural dengan beribu-ribu kebudayaan, salah satunya multikultural suku-suku yang ada di Indonesia. Salah satunya suku Karo, Smith (dalam Sitepu dan Ardoni,2019:413) mengatakan suku Karo merupakan suku yang mendiami dataran tinggi Karo, Sumatra Utara. Nama suku ini juga sebagai salah satu nama kabupaten di wilayah yang mereka diami, yaitu Kabupaten Karo atau lebih di kenal dengan Tanah Karo.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu, suku karo juga kaya akan kebudayaan dan adat-istiadat yang dijunjung tinggi oleh suku Karo, namun beberapa diantarnya kini mulai punah diduga pengaruh dari agama yang kini dianut oleh suku Karo sendiri. Salah satunya tradisi erlau-lau (lau artinya dalam bahasa Karo air, erlau-lau artinya berair-air). Tradisi ini adalah ritual pemanggil hujan saat musim kemarau panjang dan tanaman mulai kekeringan air. Dengan meneriakkan kata "udan ko wari” sembari memercikkan atau menyiramkan air kepada siapa saja yang ada di sekitar. Kata itu jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia artinya turunlah hujan yang menghiasi hari. Ritual ini merupakan doa pengharapan masyarat Karo kepada Sang Maha Kuasa agar diberi curah hujan ditengah musim kemarau yang melanda.
ADVERTISEMENT
Tradisi ini sudah jarang atau mungkin sudah punah di beberapa daerah Karo, seingat saya dulu di desa saya Desa Kidupen pernah melakukan ritual ini terakhir kali saat saya berusia 4 tahun yaitu tahun 2010 dan tidak pernah lagi dilakukan hingga saat ini, (Marpaung, 2018: 2) tradisi ini tidak pernah dilakukan lagi karena dianggap tidak sesuai dengan keyakinan umat beragama di saat ini. Karena sebelum memulai ritual ini para penatuah adat melakukan upacara penyembahan kepada kekuatan gaib yang di yakini menguasai alam sekeliling desa dengan melepas seekor ayam berbulu hitam atau putih. Setelah melepas ayam persembahan tokoh adat menyiram impalnya (orang yang dapat menikah dengannya) dengan air. Selepas selesai rangkaian acara di tempat keramat ritual dilanjutkan ke seluruh desa, tokoh adat mempersilahkaan warga desa untuk saling menyiramkan air kepada lawan jenisnya.
ADVERTISEMENT
Di tengah ritual ini berlangsung ada tarian gundala-gundala yang diiringi alat musik tradisional karo, seperti gendang, gong, serunai dan keteng-keteng. Jumlah pemain tarian ini ada lima orang dengan mempresentasikan karakter raja, permaisuri, putri raja, menantu dan burung gurda-gurda. Alkisah dahulu kala, di kerajaan Lingga yang makmur, hiduplah seorang putri yang sangat cantik jelita yang menarik banyak pria yang ingin mendekatinya. Namun, putri tersebut dijaga ketat. Seorang pria kemudian berubah wujud menjadi burung Gurda-gurda untuk mendekati putri. Rencananya berhasil dan ia selalu berada di dekat putri. Suatu hari, putri mengadakan pesta besar. Dalam pesta itu, putri ingin menangkap burung Gurda-gurda, tetapi burung itu menghindar. Putri akhirnya menyentuh ekor burung, sebuah pantangan yang membuat pria tersebut tak bisa kembali ke wujud manusia.Marah, pria itu mengejar putri, hendak melukai bahkan membunuhnya. Namun, ia tewas di tangan pengawal putri. Tangis burung Gurda-gurda yang pilu mengundang kesedihan alam semesta, hingga akhirnya turun hujan. Dari kisah inilah, kepercayaan masyarakat Karo bahwa Gundala-gundala dapat mendatangkan hujan bermula. Semua rangkaian ritual dilakulan dala empat hari berturut-turut.
ADVERTISEMENT
Tradisi ini mungkin masih dapat kita lestarikan namun dengan cara yang berbeda dan penyesuaian dengan zaman. Jika zaman dulu di lakukan untuk ritual pemanggil hujan melalui membuat penyembahan pada tempat sakral. Pada zaman ini dilakukan ritual erlau-lau dan tarian gundala-gundala sebagai pertunjukan kebudayaan yang dapat disaksikan banyak orang yang dapat menarik perhatian wisatawan sebagai destinasi pariwisata tanah karo. Inilah tugas kita sebagai generasi muda agar dapat melestarikannya hingga dapat di nikmati anak cucu kita nantinya.