Konten dari Pengguna

Diskursus Perkawinan Beda Agama dan SEMA No 2 Tahun 2023

tubagus farhan maulana
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21 Juli 2023 9:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari tubagus farhan maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menentukan lokasi pesta pernikahan. Foto: YEINISM/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menentukan lokasi pesta pernikahan. Foto: YEINISM/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Beberapa bulan lalu Mahkamah Konstitusi telah memutuskan larangan pernikahan beda agama secara tegas dan lugas. Dalam gugatan mengenai perkawinan beda agama yang dilaksanakan pada Selasa 31 Januari 2023 yang lalu.
ADVERTISEMENT
Dalam konklusinya, Mahkamah Konstitusi menegaskan, pokok permohonan soal nikah beda agama tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya, hal tersebut tertuang dalam putusan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022.
Mahkamah Konstitusi menyatakan tetap berpegang pada pendiriannya bahwa nikah beda agama yang diatur di Undang-Undang Perkawinan telah sesuai dan tidak bertentangan dengan konstitusi, yang mana pernikahan berbeda agama di Tanah Air tidak dibenarkan secara hukum.
Menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, beberapa hari lalu Mahkamah Agung Republik Indonesia resmi mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 Tentang “Petunjuk Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar Umat Beragama dan Kepercayaan”.
com-Ilustrasi Pasangan Menikah Foto: Shutterstock
Dengan adanya SEMA tersebut memberikan supremasi hukum dalam menguatkan argumentasi tentang larangan nikah beda agama. Nomenklatur ini ditujukan untuk para ketua/kepala pengadilan tingkat pertama hingga banding, di pengadilan rumpun Mahkamah Agung seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
Diskursus terkait perkawinan beda agama beberapa tahun belakangan ini, seketika memberikan tamparan keras kepada masyarakat yang masih menganggap kebolehan perkawinan beda agama.
Dalam narasi yang tertuang di dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2023 ini, MA berharap adanya kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan nantinya.
Adapun beberapa ketentuan yang tertuang dalam Surat Edaran ini, sebagai berikut.
Ilustrasi Pernikahan. Foto: Shutter Stock
Konsekuensi hukum yang timbul, bahwa hakim harus mematuhi Surat Edaran tersebut yang mana hal itu menjadi rule of technical jika mengadili kasus perkawinan beda agama atau kepercayaan di lingkungan peradilan.
ADVERTISEMENT
Walaupun memberikan supremasi hukum dalam kepastian larangan perkawinan beda agama, terdapat legal gap yang seharusnya menjadi fokus utama dalam permasalahan ini.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan masih perlu diharmonisasikan dengan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dikarenakan masih terdapat pertentangan yang menyebabkan kegaduhan hukum dalam implementasi perkawinan di Indonesia.
Disharmonisasi yang terdapat pada Undang-undang Administrasi Kependudukan dan Undang-undang Perkawinan harus secepatnya diselaraskan agar tidak menimbulkan multitafsir seperti kasus-kasus sebelumnya.
Ilustrasi Penandatanganan Sertifikat Pernikahan. Foto: Shutter Stock
Senada dengan hal tersebut, Wakil Rektor 1 Bidang Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa ruang perkawinan beda agama masih tetap tersedia dengan keberadaan Pasal 35 huruf (a) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang dilandasi spirit pemenuhan hak administrasi warga tanpa praktik diskriminatif.
ADVERTISEMENT
Respons negatif muncul dari SETARA Institute, mereka berpendapat bahwa SEMA Nomor 2 Tahun 2023 ini, telah menyalahi kebhinekaan, bangunan Pancasila, dan multikultural yang Indonesia miliki dari identitas warga negara khususnya aspek agama memberikan kemunduran serta menutup ruang bagi progresivitas dunia peradilan dalam menjamin hak-hak warga negara yang didasari keberagaman.
Berbagai pro dan kontra mengenai munculnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 memberikan diskursus yang menarik dalam bidang hukum keluarga. Lantas apakah Mahkamah Agung Republik Indonesia akan tetap berpegang teguh pada pendiriannya atau sebaliknya, mencabut SEMA Nomor 2 Tahun 2023?