Hukum Sebagai Representatif Semangat Rakyat

tubagus farhan maulana
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
3 Mei 2023 7:07 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari tubagus farhan maulana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Legitimasi Undang-Undang
Bagi banyak orang, hukum merupakan sebuah institusi sosial yang sejatinya bertujuan untuk mendapatkan keadilan, kemanfaatan, dan juga kepastian hukum. Ia memiliki keterikatan emosional dengan masyarakat yang merupakan bagian dari hukum itu sendiri. Hukum yang lahir di tengah-tengah masyarakat seharusnya tidak memiliki tenggang rasa kepada tempat asal mereka. Law in action yang terjadi, hukum yang berasal dan hidup dalam lingkaran masyarakat memiliki keterasingan dengan wilayah asalnya dan terkadang terkesan tidak merepresentatifkan semangat serta harapan masyarakat tersebut.
ADVERTISEMENT
Belakangan ini diskursus mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat. Pasca diresmikannya terdapat berbagai respon pro-kontra, khususnya pasal yang diduga tidak merepresentasikan masyarakat indonesia, dan cenderung memberikan ruang terhadap tindakan negatif seperti budaya korupsi. Suatu undang-undang yang dilembagakan harus berdampingan dengan kondisi sosial yang terdapat di tengah masyarakat, karena kesepakatan yang dilakukan oleh pemerintah semata-mata tidak terlepas dari norma sosial yang ada. Sepanjang diresmikannya KUHP, terdapat gelombang penolakan yang terdiri dari segala lapisan sosial, terlebih lagi mahasiswa yang sangat vokal mengkritik muatan materil pasal demi pasal.
Representatif Hukum
Pada hakikatnya hukum memiliki dua wajah, pertama sebagai sebuah mekanisme regulasi kehidupan sosial melalui pelbagai institusi dan praktik. Kedua, hukum merupakan sebuah kumpulan doktrin atau gagasan yang dapat diinterpretasikan serta dikembangkan secara dogmatis dan logis. Adapun Savigny dalam pandangannya menyatakan bahwa hukum merupakan sebuah ekspresi, salah satu ekspresi yang paling penting di samping bahasa, dari semangat rakyat (volksgeist). Hukum berkembang melalui perkembangan di dalam masyarakat yaitu kebiasaan yang tidak tertulis kemudian lambat laun diikuti dengan penulisan kebiasaan yang nantinya menjadi sebuah peraturan.
https://images.pexels.com/photos/143580/pexels-photo-143580.jpeg?auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=1
Hukum seringkali tidak efektif karena terdapat ambisi besar dari para legislator dan berada berada di bawah ketentuan persyaratan yang harus dipenuhi untuk sebuah sistem yang efektif. Dalam pembentukan hukum, jika proses tersebut tidak berjalan dengan efektif perlu langkah legislatif, dengan harapan suatu peraturan dapat mengesampingkan ketidakpastian dan keraguan di dalam hukum itu sendiri, yang nantinya akan semakin berkembang dan berharap hukum dapat menegakkan kebiasaan yang sudah mapan, akan tetapi tidak dalam bentuk undang-undang yang menyangkal hakikat dan prinsip evolusioner hukum.
ADVERTISEMENT
Penulis melihat terdapat sebuah realitas sosial yang mana hampir tidak bisa dihindarkan. Pelbagai peraturan yang dikonsensuskan oleh legislator seharusnya merepresentasi hakikat volkgeist, namun pada law in action sangat berbanding terbalik dengan harapan masyarakat. Maka dari itu, Savigny berpendapat bahwa hukum menjalani “kehidupan ganda” yaitu hidup dalam kesadaran masyarakat dan secara eksplisit menjadi kalangan praktisi hukum (Savigny 1867:36-40).
https://images.pexels.com/photos/842339/pexels-photo-842339.jpeg?auto=compress&cs=tinysrgb&w=1260&h=750&dpr=1
Menurut Pound, hukum memiliki ketergantungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, tidak terlibat secara profesional dengan sistem hukum untuk memainkan mesinnya. Dengan demikian hukum digunakan untuk mendukung kepentingan mereka. Dalam buku Roger Cotteral yang bertajuk Sociology of law, agar hukum menjadi efektif harus mencakup kepentingan orang-orang yang terhadapnya, hukum menggantungkan penggunaannya atau penyelenggaraannya yang membuat mesin hukum bergerak. Hukum harus menyediakan insentif untuk memastikan penggunaannya.
ADVERTISEMENT
Harapan Terhadap Undang-Undang
Maka dapat disimpulkan KUHP yang baru diresmikan oleh legislatif cenderung tidak mewakili semangat masyarakat yang ada, dibuktikan oleh beberapa gelombang penolakan dalam kurun waktu 2019-2022. Secara objektif penulis melihat bahwasanya sebuah undang-undang yang diinstitusionalisasikan tidak bisa menjangkau keadilan hukum secara menyeluruh. Namun, pemerintah selaku pemangku kebijakan wajib meminimalisir serta mengupayakan sebuah undang-undang yang telah disepakati memiliki muatan yang merepresentasikan spirit masyarakat. Selaras dengan pandangan Savigny, semangat masyarakat harus diinternalisasi ke dalam sebuah norma hukum yang ada, yaitu merepresentatifkan rasa serta keadaan masyarakat. Kedepannya, Kesadaran kolektif bagi legislator harus sejalan dengan visi dan misi hukum itu sendiri.