Konten Media Partner

66 Anak Asmat Meninggal karena Campak, Bukan Gizi Buruk

5 Februari 2018 16:00 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suku Asmat di Papua (Foto: Flickr/Maud Lorton)
zoom-in-whitePerbesar
Suku Asmat di Papua (Foto: Flickr/Maud Lorton)
ADVERTISEMENT
YOGYAKARTA - Tim Disaster Response Unit (DERU) Universitas Gadjah Mada (UGM) akhirnya pulang dari Agats, Asmat, Papua. Selama seminggu lebih pada 23 hingga 29 Januari 2018, tim yang dipimpin Dr Rachmawan Budiarto tersebut mengatasi masalah gizi buruk dan campak bersama dengan Kementerian Kesehatan (kemenkes), Dinas Sosial, TNI, Polri, Pemkab, gereja, unsur adat, dan organisasi lain.
ADVERTISEMENT
Beberapa persoalan sudah dapat ditangani oleh tujuh tim yang dikirim ke Asmat bekerja sama dengan stakeholder lain meski dalam pelaksanaannya mereka mengalami sejumlah kendala, khususnya geografis Papua yang sulit dijangkau. Di antaranya penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB) campak yang menyerang sejumlah anak. Sebab dari 70 anak yang meninggal dunia di kawasan tersebut, 66 orang di antaranya terkena campak.
"Sedangkan empat anak lain meninggal karena gizi buruk. Penanganan kondisi darurat sudah dapat dilakukan dengan baik dengan kerja sama dan sinergi sejumlah pihak di sana, termasuk Bupati Asmat yang sangat menantikan kedatangan kami," ujar Rachmawan di UGM, Senin (05/02/2018).
66 Anak Asmat Meninggal karena Campak, Bukan Gizi Buruk (1)
zoom-in-whitePerbesar
Meski kondisi darurat sudah tertangani, menurut Sekretaris Direktorat Pengabdian Masyarakat (DPkM) UGM tersebut, tim yang terdiri dari tujuh orang seperti Nanung Agus dari DPkM UGM, dr Hendro Wartatmo dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKMK) UGM, dr Fita Wirastuti dan Yunita Linda dari Rumah Sakit (RS) UGM serta Irawan Eko dari Pusat Studi Energi (PSE) UGM tersebut masih menemukan sejumlah Pekerjaan Rumah (PR) yang harus ditangani dalam waktu dekat. Sebab kondisi sosial budaya masyarakat Asmat menjadi salah satu penyebab berbagai persoalan, baik kesehatan maupun kesejahteraan warganya.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan investigasi tim DERU di dua distrik, masalah kesehatan, layanan kesehatan di Puskesmas, sanitasi lingkungan, infrastruktur dasar, dan listrik jadi masalah serius di kawasan tersebut. Penanganan masalah-masalah tersebut cukup sulit dilakukan karena kondisi medan atau geografis pegunungan yang sulit dijangkau serta sulitnya transportasi untuk mencapai Agats.
"Kami harus menempuh 50 menit dengan speedboat untuk mencapai satu distrik karena jalur udara sangat terbatas. Antardistrik tidak ada transportasi darat," tandasnya.
Rachmawan menambahkan, untuk menangani masalah listrik, UGM sudah memasang sistem sel surya sebesar 200 Wp di puskesmas setempat untuk menunjang operasional layanan kesehatan.
"Saat ini PLN baru menjangkau 2 dari 23 distrik memakai Pembangkit Listrik Tenaga Diese," jelasnya.(ves)