Konten Media Partner

Babad Dalan Giring: Upacara Adat Kenang Ki Ageng Giring di Yogyakarta

16 Desember 2019 9:24 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Persiapan Upacara Babad Dalan Giring di Desa Giring, Wonosari. Foto: Facebook/Info Budaya dan Seni Pariwisata DIY.
zoom-in-whitePerbesar
Persiapan Upacara Babad Dalan Giring di Desa Giring, Wonosari. Foto: Facebook/Info Budaya dan Seni Pariwisata DIY.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Desa Giring yang terletak di bagian selatan Kota Wonosari memiliki sejumlah peristiwa. Sebut saja salah satunya upacara Babat Dalan Giring yang terkait dengan tokoh Ki Ageng Giring, yang dulu dikenal dengan nama Kyai Ageng Wonomenggolo, putra Majapahit Prabu Brawijaya IV.
ADVERTISEMENT
Dahulu di Desa Giring dan Desa Sada pernah terjadi wabah atau pagebluk. Untuk mengatasi wabah yang melanda desa, para tokoh masyarakat kemudian berupaya mencari makam Ki Ageng Giring. Pada saat mencari makam tersebut, mereka melakukan kegiatan 'mbabati' atau membersihkan jalan yang menuju ke lokasi makam. Sepanjang jalan mereka mendapati sebidang tanah berbau wangi dan tulang atau bangkai burung berceceran di sekitarnya.
Upacara Babad Dalan Giring di Desa Giring, Wonosari. Foto: adn.
Saat membersihkan jalan tersebut, juga ditemukan beberapa benda yaitu tutup kepala dan sebuah tongkat (diberi nama teken dan kethu) yang diyakini merupakan milik Ki Ageng Giring. Akhirnya diketahui bahwa makam Ki Ageng Giring terletak di Desa Sada. Para pencari makam tadi melakukan semedi dan berjanji akan melakukan syukuran 'ambengan' bila Desa Giring dan Sada dapat kembali seperti dulu tanpa pagebluk.
ADVERTISEMENT
Cerita bersejarah itu memiliki makna agar seseorang 'membersihkan jiwa dari hal-hal yang tidak baik'. Mengingat Ki Ageng Giring adalah murid Sunan Kalijaga. Dulu masyarakat setempat melaksanakan upacara ini di masjid Sada dengan sarana 'ringin kurung'. Ringin kurung harus diikat dengan janur, dan orang yang mengikuti upacara membawa clathung (arit) untuk mengambil janur yang dipasang pada pohon kukun (yang ditanam oleh sesepuh Giring).
Sekitar tahun 1985, upacara Babat Dalan sudah tidak lagi diperhatikan oleh masyarakat setempat, khususnya Desa Giring. Kini upacara tersebut hanya diselenggarakan secara individual dengan membuat ambengan dan pengajian. Orang-orang dusun sendiri membawa ambengan, yaitu nasi di tenggok dan lawuhan (lauk pauk).
Upacara Babad Dalan Giring di Desa Giring, Wonosari. Foto: adn.
Upacara Babat Dalan diselenggarakan satu tahun sekali di Desa Giring, setelah petani panen padi yaitu pada Jumat kliwon pukul 15.00 WIB. Upacara ini diadakan pada hari tersebut karena ada hubungannya dengan saat utusan dari Keraton mencari tempat makamnya Ki Ageng Giring. Dulu upacara tersebut dilaksanakan secara bersama-sama di Desa Giring dan Desa Sada, namun dalam perkembangannya, kedua desa masing-masing melaksanakan upacaranya sendiri-sendiri.
ADVERTISEMENT
Tujuan utama diadakannya upacara ini untuk mengingatkan ajaran-ajaran Ki Ageng Giring yang terkandung dalam upacara Babat Dalan yaitu mendekatkan diri kepada Yang Maha Agung, keprihatinan, dan keteguhan hati dalam keimanan. Selain itu, berkaitan pula dengan adanya kepercayaan supaya warga desa diberi keselamatan dan kesejahteraan dengan mengadakan upacara tradisional tersebut.
Prosesi Upacara Babad Dalan Giring di Desa Giring, Wonosari. Foto: adn.
Pada hari Kamis Wage, dusun-dusun yang berada di wilayah Desa Giring mengadakan malam tirakatan. Pada Jumat Kliwon pagi, semua sesaji yang telah dipersiapkan dibawa ke balai desa tempat upacara.
Dalam buku 'Ensiklopedi Yogyakarta', setiap sesaji mempunyai makna dan tujuan tertentu. Seperti nasi liwet untuk menghormati kelestarian rumah. Jenang merah untuk menghormati penguasa Sangkala, yaitu Baginda Ambyah. Jenang baro-baro untuk memperingati wahyu yang lahir. Lalu ada tumpeng sampur yang melambangkan bahwa setelah menerima wahyu akan sempurna dan lestari dan lain-lain.
Patung Ki Ageng
Sebelum acara dimulai, pemimpin upacara membacakan satu per satu jenis sesaji. Tepat pukul 15.00 WIB, upacara dimulai dengan mengikrarkan ujub oleh sesepuh desa disertai dengan pembakaran kemenyan dan pembacaan mantra suci, yaitu pemusatan hati ke alam semedi menurut kepercayaan masing-masing. Setelah itu dilanjutkan dengan doa selamat.
ADVERTISEMENT
Selesai doa, semua sesaji yang berupa nasi dan lauk pauk dimakan bersama. Biasanya ada sisa nasi yang dibawa pulang. Baik dimakan untuk keluarga yang tidak ikut upacara maupun dikeringkan menjadi aking. Aking tersebut dicampur dengan benih padi agar ketika benih tersebut disebarkan di lahan, para warga akan memperoleh hasil panen yang baik. Mereka percaya bahwa hasil panen yang baik akan mendapat berkah dari Ki Ageng Giring. (Ayu)