Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Bakpia adalah makanan berbentuk bulat pipih yang terbuat dari campuran kacang hijau dengan gula, yang dibungkus dengan tepung, lalu dipanggang. Istilah bakpia sendiri adalah berasal dari dialek Hokkian yaitu dari kata "bak" yang berarti daging dan "pia" yang berarti kue, yang secara harfiah berarti roti berisikan daging. Di beberapa daerah di Indonesia, makanan yang terasa legit ini dikenal dengan nama pia atau kue pia. Bakpia termasuk salah satu makanan yang populer dari keluarga Tionhgkok atau Tionghoa. Bakpia yang cukup dikenal salah satunya berasal dari daerah Pathuk (Pathok), Yogyakarta, sehingga dikenal sebagai bakpia Pathuk.
ADVERTISEMENT
Resep bakpia pada awalnya dibawa oleh seorang pendatang asal Tiongkok, yaitu Kwik Sun Kwok, pada tahun 1940-an. Pada waktu itu, Kwik tiba di Yogyakarta dan kemudian menyewa sebidang tanah milik warga setempat yang bernama Niti Gurnito di Kampung Suryowijayan. Kwik lalu mencoba peruntungan dengan membuat bakpia, makanan khas Tiongkok. Pada awalnya ia membuat bakpia dengan menggunakan resep asli dari Tiongkok, yaitu minyak babi untuk pengolahan dan daging babi sebagai isi bakpianya. Namun, setelah tahu bahwa tidak semua masyarakat Yogyakarta makan daging babi atau produk dari babi lainnya, Kwik lantas bereksplorasi membuat bakpia tanpa memakai minyak babi dan daging babi. Ia mengganti isi bakpia menggunakan kacang hijau. Untuk memanggang bakpia buatannya, Kwik selalu membeli arang dari temannya, Liem Bok Sing, sesama perantauan dari Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Ternyata, cita rasa kue bakpia buatan Kwik, yang tidak memakai bahan-bahan dari babi, cocok dengan lidah masyarakat Yogyakarta. Makanan pendatang yang telah dimodifikasi ini mulai digemari banyak orang. Lambat laun, Kwik yang semula masih menyewa tanah milik Niti Gurnito, akhirnya pindah ke sebelah barat Kampung Suryowijayan. Di tempat baru tersebut ia melanjutkan pekerjaannya membuat berbagai macam makanan dan roti, termasuk bakpia. Pada tahun 1960-an, Kwik meninggal dunia dan usahanya dilanjutkan anak menantunya bernama Jumikem.
Sepeninggal Kwik, Niti Gurnito ternyata juga ikut-ikutan membuat bakpia. Usaha yang dilakukan oleh Niti Gurnito itu diperkirakan karena Kwik pernah menyewa tanah miliknya, sehingga Niti Gurnito sempat diberi rahasia resep pembuatan bakpia oleh Kwik. Bakpia buatan Niti Gurnito memiliki kekhasan tersendiri, yaitu ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan bakpia buatan Kwik, berkulit tebal, dan isinya juga lebih kecil. Bakpia ini dijual keliling kampung dengan menggunakan pikulan kayu. Pada kala itu pembeli bakpia masih agak tersekat karena orang keturunan Tionghoa membeli bakpia di penjual asal Tionghoa, sedangkan orang Jawa membeli bakpia buatan Niti Gurnito.
ADVERTISEMENT
Pada periode yang sama, Liem Bok Sing, teman Kwik yang semula menyuplai kebutuhan arang, juga ikut membuat bakpia dan menjualnya ke masyarakat. Tahun 1948, Liem membuat resep baru bakpia, kemudian ia pindah dari Kampung Pajeksan ke Jalan Pathuk (sekarang Jalan KS. Tubun) yang kemudian mendirikan Bakpia Pathuk 75, tepatnya di Kampung Ngampilan yang di kemudian hari berkembang menjadi sentra industri bakpia besar. Nama jalan di mana tempat usaha Liem ini berada dinamakan Jalan Pathuk karena pada bagian ujung timur sisi utara merupakan Kampung Pathuk, selain di salah satu bagian dari Jalan Pathuk ini terdapat Asrama Polisi Pathuk dan Pasar Pathuk. Dengan resep baru, Liem berhasil membuat bakpia generasi kedua dengan kulit yang lebih tipis, ujung datar, dan agak gosong dengan isi kacang hijau dibanding generasi awal yang berkulit lebih tebal dan berbentuk bulat.
ADVERTISEMENT
Bakpia buatan Liem pun semakin digemari masyarakat Yogyakarta. Tahun 1980-an, usaha pembuatan bakpia Liem berkembang pesat. Ia memiliki banyak karyawan yang sebagian besar adalah warga kampung di sekitar tempat usaha Liem, yaitu Ngampilan, Sanggrahan, Ngadiwinatan, dan Kampung Pathuk. Namun sebagian karyawan itu berhasil ’mencuri’ resep dan menyebarkan cara pembuatan bakpia kepada orang kampung, bahkan sampai membuka kursus. Hingga akhirnya pemilik Bakpia Patuk 75 juga mengambil bakpia dari situ karena tingginya permintaan wisatawan.
Mulai era 1980-an inilah bakpia yang telah mengalami metamorfosis resep akhirnya menjadi makanan khas Yogyakarta. Sejak itulah, kawasan Pathuk dinobatkan sebagai kampung bakpia.
Dalam artikel berjudul Bakpia Warisan Budaya Tak Benda yang Dimiliki Yogyakarta yang dimuat di Kumparan Tugu Jogja tanggal 20 Oktober 2018, Wakil Walikota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan bahwa bakpia merupakan warisan budaya tak benda milik Yogyakarta. Selain itu, bakpia berhasil diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
ADVERTISEMENT
"Untuk mendapatkan pengakuan tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Sebab, Yogyakarta harus bersaing dengan Semarang, Jawa Tengah yang juga memiliki niat untuk menjadikan bakpia milik mereka. Namun, Yogyakarta dinilai lebih memiliki kekuatan batin dengan bakpia. Yogyakarta lebih memiliki nilai sejarah dan keaslian sebuah bakpia yang berasal dari Pathuk, Ngampilan, Yogyakarta," ucap Heroe.
Fauzan Adhim dalam skripsinya yang berjudul Antara Kemandirian Dan Ketergantungan: Dinamika Sosial Ekonomi Bakpia Pathuk Yogyakarta 1948-2012 menemukan bahwa Dari segi ekonomi, sebagai sebuah sektor ekonomi utama masyarakat Pathuk dan juga komoditas utama makanan khas, bakpia tidak akan bisa dilepaskan dari konteks wilayah Yogyakarta, baik itu secara spasial berada di pusat kota maupun secara sektoral sebagai bagian dari industri pariwisata Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
"Ada empat faktor spesifik yang melatarbelakanginya kesuksesan bakpia sebagai makanan khas di Yogyakarta. Pertama, kesuksesan bakpia (55, 25, 75) yang lebih dulu berdiri; kedua, kesadaran masyarakat yang semakin tinggi tentang peluang berusaha di sektor pariwisata; ketiga, dorongan dari pemerintah daerah untuk identitas baru yang bisa menopang industri wisata; keempat, krisis moneter sekitar tahun 1996/1997; dan menjelmanya Yogyakarta menjadi destinasi wisata utama," tulis Fauzan dalam skripsinya.
(Ayu)