news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Brokohan: Upacara Adat Jawa Menyambut Kelahiran Bayi

Konten Media Partner
7 Desember 2019 7:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bayi yang menggenggam jari orangtuanya. Foto: Kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bayi yang menggenggam jari orangtuanya. Foto: Kumparan.
ADVERTISEMENT
Brokohan salah satu upacara adat Jawa untuk menyambut kelahiran bayi. Brokohan itu asal katanya dari bahasa Arab yaitu barokah yang artinya 'mengharapkan berkah'.  Maka, brokohan Tradisi Jawa ialah tradisi yang digelar ketika seorang Ibu melahirkan ‘Anak'. Brokohan bisa juga merupakan wujud syukur atas lahirnya anak dengan selamat. Dalam tradisi brokohan, seseorang  menyiapkan nasi layaknya orang menggelar kenduri. Brokohan ini merupakan bentuk syukur dan berharap Kepada Allah.
ADVERTISEMENT
Brokohan memiliki makna adalah pengungkapan rasa syukur dan rasa sukacita atas proses kelahiran yang berjalan lancar dan selamat. Ditinjau dari maknanya brokohan  juga bisa berarti mengharapkan berkah dari Yang Maha Pencipta. Sementara tujuannya adalah untuk keselamatan dan  perlindungan bagi sang bayi. Selain itu harapan bagi sang bayi agar kelak menjadi anak yang memiliki perilaku yang baik. Rangkaian upacara ini berupa memendam ari-ari atau  plasenta si bayi. Setelah itu dilanjutkan dengan membagikan sesajen brokohan kepada sanak saudara dan para tetangga.
Perlengkapan upacara yang dibutuhkan adalah sebagai  berikut:
1) Golongan bangsawan: dawet, telur mentah, jangan menir, sekul ambeng, nasi dengan lauk, jeroan kerbau, pecel dengan lauk ayam, kembang setaman, kelapa dan beras.
ADVERTISEMENT
2) Golongan rakyat biasa: nasi ambengan yang terdiri dari nasi jangan, lauk pauknya peyek, sambel goreng, tempe, mihun,  jangan menir, dan pecel ayam.
Lalu ada beberapa perlengkapan sesaji yang harus disediakan. Sesaji untuk bayi laki – laki dan bayi perempuan tidak sama. Untuk bayi laki – laki, sesaji yang digunakan adalah ayam betina yang belum pernah kawin. Sedangkan untuk bayi perempuan sesajinya adalah ayam jantan yang belum pernah kawin. Sesajian lain baik untuk bayi laki-laki dan bayi perempuan adalah jenang baro-baro, bunga raken, jenang putih, dan jenang merah putih.
Upacara permohonan agar bayi menjadi anak baik yang dimulai dengan penanaman ari-ari dan penyediaan sesaji brokohan yang dibagikan kepada tetangga. Brokohan ini berupa telur ayam mentah, gula jawa setengah tangkep, kelapa setengah buah, dawet dan kembang brokohan yaitu mawar, melati dan kantil.
ADVERTISEMENT
Upacara ini dilaksanakan segera setelah bayi lahir dan dihadiri oleh si ibu, suami, keluarga, dukun, pinisepuh dan putra-putri famili. Terdapat makanan pantangan yaitu sambal, sayur bersantan, telur ikan tawar dan telur asin.
Retnia Yuni Safitri dalam makalahnya yang berjudul Persepsi Masyarakat Jawa terhadap Tradisi Brokohan meneliti bahwa Persepsi yang dimiliki oleh masyarakat terhadap tradisi brokohan adalah berbeda-beda. Golongan tua memiliki persepsi setuju terhadap tradisi brokohan sehingga tetap melaksanakan tradisi brokohan dengan lengkap. Mereka menilai bahwa tradisi brokohan merupakan sebuah upacara yang berkaitan dengan kelangsungan hidup bayi kedepannya sehingga harus dilaksanakan dengan semestinya sesuai yang telah diwariskan oleh nenek moyang sebelumnya.
"Pelaksaaan tradisi brokohan memiliki arti tersendiri bagi kehidupan bayi dan akan memberikan pengaruh bagi bayi ke depannya. Masyarakat golongan tua memiliki kepercayaan yang kuat terhadap tradisi yang mereka jalani dan telah menjadi naluri dalam dirinya sehingga apabila
ADVERTISEMENT
tidak dilaksanakan dengan semestinya akan mengakibatkan keresahan dalam diri dan akan adanya hal-hal negatif yang akan mereka terima," tulis Retnia dkk. dalam makalahnya.
Akan tetapi, golongan muda memiliki persepsi tidak setuju terhadap Tradisi Brokohan sehingga dalam melaksanakan tradisi brokohan terdapat
penyederhanaan baik dalam tahapan maupun perlengkapan yang digunakan. Hal ini dikarenakan kepercayaan dari golongan muda yang mulai memudar terhadap tradisi yang dahulunya dianggap sakral oleh masyarakat pendukungnya.
"Golongan muda cenderung menganggap yang penting sudah melaksanakan tradisi. Tanpa disadari bahwa adanya penyederhanaan baik dalam tahapan maupun perlengkapan menyebabkan kesakralan sebuah tradisi akan memudar dengan berjalannya waktu bahkan berdampak pada sebuah tradisi tidak lagi dilaksanakan dengan semestinya," tulisnya. (Ayu)