news-card-video
20 Ramadhan 1446 HKamis, 20 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten Media Partner

Budaya Patriarki Punya Peran pada Kekerasan Fisik dan Non Fisik

11 Desember 2019 8:57 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
(dari kiri ke kanan) Roni, Manajer Research and Training Center Rifka Anisa; Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlundungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY, Arida Oetami; Sari Murti Widiyastuti, Ketua Forum Perlindungan Korban Kekerasan DIY; Co-Moderator, Martha Sasongko; dan Pengasuh Komunitas Budaya Yogya Semesta, Hari Dendi, saat menghadiri Dialog Budaya dan Gelar Seni, Selasa (10/12/2019). Foto: Birgita.
zoom-in-whitePerbesar
(dari kiri ke kanan) Roni, Manajer Research and Training Center Rifka Anisa; Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlundungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY, Arida Oetami; Sari Murti Widiyastuti, Ketua Forum Perlindungan Korban Kekerasan DIY; Co-Moderator, Martha Sasongko; dan Pengasuh Komunitas Budaya Yogya Semesta, Hari Dendi, saat menghadiri Dialog Budaya dan Gelar Seni, Selasa (10/12/2019). Foto: Birgita.
ADVERTISEMENT
Kekerasan adalah sebuah tindakan yang mengacu pada sikap atau perilaku yang tidak manusiawi. Selain itu, kekerasan dapat menyakiti orang lain yang menjadi korban kekerasan tersebut dan juga tentu merugikan orang yang berbuat kekerasan karena pasti akan mendapatkan hukuman sesuai hukum yang berlaku.
ADVERTISEMENT
Roni, Manajer Research and Training Center Rifka Anisa, mengatakan bahwa budaya patriaki masih kental di Indonesia. Budaya patriaki adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial dan penguasaan properti. Selain itu, budaya patriraki memicu kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Budaya patriaki inilah yang membuat image laki-laki menjadi macho maupun maskulin, bukan sebagi panutan keluarga. Hal inilah yang memicu kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan dan anak," kata Roni pada Dialog Budaya & Gelar Seni "Yogya untuk Semesta" di Bangsal Kepatihan, Kantor Gubernur DI Yogyakarta, Selasa (10/12/2019) malam.
Selain itu, ia membeberkan istilah laki-laki baru. Laki-laki baru adalah istilah yang digunakan pada laki-laki sebagai panutan dalam keluarga.
ADVERTISEMENT
"Laki-laki baru ini mempromosikan nilai laki-laki yang lebih sabar, lebih menghargai, penuh cinta kasih dan bertanggung jawab sebagai kepala keluarga," jelasnya.
Ia mengatakan bahwa sebenarnya istilah 'laki-laki baru adalah pendekatan baru karena pendekatan sebelumnya lebih banyak kepada perempuan dan memberdayakan perempuan.
"Ada banyak perempuan yang diberdayakan memahami hak-haknya, terampil dalam banyak hal, tetapi dia masih berhadapan dengan pasangan maupun lingkungan sosial yang masih dikuasai laki-laki," kata Roni.
Hal inilah yang memicu terjadinya kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan dan anak. Selain itu kekerasan tidak hanya dilakukan lewat fisik saja, tetapi lewat verbal seperti anggapan bahwa perempuan tidak bisa mendapatkan jabatan paling tinggi yang hanya bisa dicapai oleh laki-laki.
"Mau tidak mau harus ada konseling terhadap laki-laki dan perempuan. Demikian juga pendidikan kesetaraan gender juga harus disampaikan kepada laki-laki karena selama ini lebih sering diberikan kepada perempuan supaya tidak terlambat untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak," kata Roni. (Ayu)
ADVERTISEMENT