Konten Media Partner

Carut Marut Dinamika Pilpres 2024 Diabadikan dalam 3 Buku

13 Desember 2024 20:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peluncuran 3 buku yang mengabadikan terkait carut marut Pilpres 2024 dan demokrasi di Indonesia saat ini. (Foto : M Wulan)
zoom-in-whitePerbesar
Peluncuran 3 buku yang mengabadikan terkait carut marut Pilpres 2024 dan demokrasi di Indonesia saat ini. (Foto : M Wulan)
ADVERTISEMENT
Pengacara kondang, Todung Mulya Lubis ikut terlibat mengabadikan dinamika pemilihan presiden (Pilpres) 2024 lalu lewat peluncuran tiga buku yang bertajuk 'Pilpres 2024 Antara Hukum, Etika dan Pertimbangan Psikologis'.
ADVERTISEMENT
Ketiga buku ini komplit membahas mengenai lika-liku sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Kontitusi (MK) yang memicu perdebatan publik sepanjang proses pelaksanaan pasca ditemukan banyak pelanggaran yang diloloskan itu menciderai demokrasi Indonesia.
"Buku ini membahas, pertama, persidangan MK mengenai sengketa Pilpres. Kedua, analisa dari ahli hukum tata negara mengenai putusan yang kita anggap kontroversial dan banyak pelanggaran karena unsur-unsur TSM itu sama sekali tidak diperhatikan," ujar Todung Mulya Lubis, Kamis (12/12/2024).
Todung menjelaskan perdebatan yang disajikan dalam buku ini tak melulu hukum, namun juga politik etika dan psikologi. Kata dia, banyak argumentasi para pakar dan hakim konstitusi dalam memandang pelaksanaan pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2024 yang tersaji serta diakhiri dengan beberapa catatan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Berbagai kejanggalan yang terjadi saat Pilpres 2024 lalu juga ikut dibahas, salah satu yang jadi sorotan ialah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia capres-cawapres yang membuka jalan Gibran Rakabuming Raka jadi wapres.
"Banyak hal-hal yang menurut kami sangat janggal. Misalnya mengenai nepotisme yang menurut kami berdasarkan Putusan 90 MK, itu terbukti dengan sangat kasat mata apalagi ada putusan MKMK pada waktu itu dan ada analisa dari ahli hukum tata negara, ada amicus curiae," jelasnya.
Todung tak memungkiri, pihaknya harus beralih alias move on dari carut-marut gelaran Pilpres 2024 ini. Apalagi saat ini, pasangan Prabowo-Gibran sudah resmi menjadi presiden dan wakil presiden dan telah menjalankan pemerintahan RI.
Namun ia menilai, buku itu penting dibuat sebagai pengingat kepada masyarakat luas agar mempelajari polemik yang terjadi di Pilpres 2024. Sehingga harapannya, kasus serupa mampu diminimalisir pada Pilpres 2029 mendatang.
ADVERTISEMENT
"Tapi kan sebagai bangsa, sebagai negara, sebagai rakyat kita punya catatan dan catatan itu yang kita ingin jadikan pembelajaran supaya Pilpres tahun 2029 tidak mengulangi kesalahan yang sama. Supaya MK tidak mengulangi kesalahan yang sama," terangnya.
Sementara Presiden ke-5, Megawati Soekarnoputri turut mengkritisi kinerja MK saat menangani Pilpres 2024. Menurutnya, MK telah menyimpang dari tujuan awal pembentukan MK di masa ia menjabat sebagai presiden.
Kala itu, Megawati ingin MK menjadi lembaga yang berwibawa dengan fungsi utama sebagai penjaga konstitusi dan menjunjung tinggi keadilan dalam kehidupan bernegara. Namun hal tersebut sudah tidak sejalan apalagi melihat kegagalan MK selama pelaksanaan Pilpres 2024 telah menimbulkan luka yang mendalam bagi demokrasi dan membutuhkan waktu lama untuk memperbaiki kegagalan tersebut.
ADVERTISEMENT
"Inilah makna dan sikap yang sudah tidak ada kenegarawan hakim MK dan MK sangat penting untuk menyempurnakan sistem politik Indonesia. Sebab sejarah mencatat ketika demokrasi hanya dipimpin oleh kekuasaan pada masa orde baru maka yang terjadi adalah rekayasa selalu Pemilu," cetusnya.
Salah satu Akademisi Hukum UGM Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar yang ikut membedah buku tersebut menyampaikan buku ini sangat relevan dan menjadi catatan sejarah Indonesia. Dia tak menepis bahwa demokrasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja atas apa yang dipertontonkan sepanjang proses Pilpres 2024 berlangsung.
Sehingga, Zainal menyebut demokrasi di Indonesia tidak akan naik kelas apabila sistemnya tidak dibenahi dan masih membiarkan berbagai pelanggaran terjadi tanpa ada tindak hukum yang jelas.
ADVERTISEMENT
"Rule of law kita kan yang paling berantakan. Jadi saya kira tidak akan naik kelas [demokrasi] yang begini kita pertahankan," tandasnya.
(M Wulan)