Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Cerpen | Firasat Seorang Fotografer (1)
20 April 2019 16:53 WIB
Diperbarui 13 Mei 2019 0:30 WIB
ADVERTISEMENT
Cklik….
Cklik…
Cklik…..
Bunyi itu sudah sangat akrab di telingaku selama bertahun-tahun. Bahkan sejak zaman aku berkutat dengan analog yang berpasangan dengan roll-roll film yang mesti dicuci hingga beralih ke digital yang hasilnya bisa langsung dilihat, bunyi benda ini masih tetap sama. Tidak ada yang berubah. Kecintaanku terhadap kamera, foto, dan keindahan visual masih sama seperti dulu.
ADVERTISEMENT
Aku Bimo Prayogo. Aku suka sekali fotografi.
***
Pertama kali aku mengenal dunia yang menjadi cintaku saat ini adalah sewaktu SMP dulu. Hal itu diturunkan oleh bapak yang juga seorang pecinta fotografi. Beberapa minggu sekali, biasanya bapak akan mengajakku untuk pergi ke suatu tempat untuk memotret. Atau kadang kami jalan-jalan saja, tapi kamera analog Canonet QL17 milik Bapak selalu siap sedia. Siap sedia untuk membidik sebuah momen, membidik sebuah keindahan. Sadar bahwa aku sering membidik gambar dengan kamera Bapak, akhirnya aku dibelikan sebuah kamera analog Fujica M1. Kamera keluaran tahun 80-an. Aku mulai membidik gambar dengan kameraku sendiri. Membidik banyak hal bersama Bapak. Saat itu, kalau ditanya mana kamera yang paling kusukai, aku akan menjawab Canonet milik Bapak.
ADVERTISEMENT
Bapakku tak pernah lepas dari Canonetnya. Bisa dibilang kamera itu terlihat lebih bagus daripada kamera Bapak yang sebelumnya. Kadang aku suka curi-curi pakai kamera Bapak saat kameranya di simpan di etalase. Biasanya kubawa pergi ketika Bapak sedang kerja lalu kukembalikan sebelum Bapak pulang. Tetap saja sih Bapak tahu. Soalnya roll filmnya tidak kuganti. Jadi setiap film dicuci, aku akan ketahuan sudah menghabiskan beberapa slot film.
Suatu ketika, Bapak sedang duduk di teras dengan sebuah kamera di tangannya. Aku yang saat itu baru saja pulang sekolah langsung duduk di sebelah Bapak.
“Ngapain pak?”
“Eh udah pulang Bim? Ini lho lagi moto” Bapak mengarahkan kameranya ke seekor burung gelatik peliharaan Bapak yang terkurung di sangkar.
ADVERTISEMENT
“Buat Bapak, kamera dan fotografi ini berharga sekali. Lewat kamera ini, bapak bisa memaksimalkan indra visual. Bapak jadi bisa memandang satu hal dari berbagai sudut pandang. Bapak jadi tahu mana hal yang layak ditampilkan dan mana yang tidak layak,” ujar Bapak padaku setelah berhasil membidik foto gelatik.
“Suatu saat nanti, kamera bapak ini, bapak wariskan buat kamu Bim. Dijaga ya” Bapak berpesan.
Aku hanya bisa mangut-mangut.
Seminggu setelah bapak bilang soal itu, bapak jadi sering sekali pergi memotret. Bukan hanya itu, bahkan bapak jadi sering minta difoto saat sedang bersama dengan keluarga dengan kamera kesayangannya itu. Bapak tipikal orang yang lebih suka memfoto daripada difoto. Hal yang tidak biasa dilakukan bapak. Tak ada yang menyangka bahwa bapak memang sedang mengabadikan momen-momennya selama dua bulan terakhir sebelum akhirnya beliau tidur dan tak pernah terbangun lagi. Lebih tepatnya bapak mengabadikan momen kehadirannya untuk kami lewat foto sebelum beliau pergi selamanya.
ADVERTISEMENT
Bapak tutup usia tepatnya di akhir 1999. Tidak ada riwayat penyakit mematikan. Bukan karena serangan jantung dan bukan karena penyakit berat lainnya. Bapak hidupnya normal-normal saja. Makan seperti biasa, istirahat seperti biasa. Kematian bapak terasa janggal sekali. Dia meninggalkan kamera analog kesayangannya yang baru dibelinya sekitar empat bulan yang lalu dari seorang kenalannya. Kamera yang pertama kali kusentuh. Kamera yang pertama kali memperkenalkan aku pada fotografi. Kusimpan kamera kesayangan bapak di etalase bersama dengan kamera Fujica milikku. Berat rasanya mememegang kamera itu tanpa kehadiran bapak di sisiku. Tanpa kehadiran bapak yang biasanya akan mengajak ke tempat-tempat baru untuk memotret.
Selama beberapa waktu, aku tidak lagi menyentuh kamera. Kedua kamera itu selalu membuat kerinduanku yang semakin besar pada bapak. Sebetulnya rasanya ada yang kurang ketika tidak memotret. Jadi, kuputuskan membeli kamera baru kamera digital yang baru masuk sekitaran tahun 1999. Masih belum banyak kamera digital di tahun ini. Kamera analog dengan film seluloid, seperti milikku dan bapak yang tersimpan di etalase, masih menjadi primadona.
ADVERTISEMENT
***
Sudah 18 tahun aku menekuni hobi memotretku tanpa bapak. Setidaknya kusisakan waktu sejenak setiap libur untuk pergi memotret. Memotret pemandangan atau bahkan memotret jalanan. Hal yang seperti dulu bapak lakukan, memotret setiap libur.
Kebetulan aku punya sahabat yang terkadang ikut menemani ketika akan memotret. Namanya Dwi. Dia tetanggaku. Dulu dia juga pernah sesekali ikut memotret ketika bapakku masih ada. Dia salah satu orang yang hapal betul kebiasaanku ketika memotret.
“Dwi, ayo kita motret ke pantai.” Suatu ketika aku mengajak. Sudah lama aku tidak memotret ke patai.
“Kangen bapak ya?” Dia bertanya. Ya. Dwi sudah hapal betul kalau aku mengajak memotret ke pantai, itu artinya aku sedang mengobati kerinduan pada bapak.
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang tidak kesampaian dulu untuk dipotret bersama bapak adalah memotret rasi bintang. Dulu bapak pernah bilang bahwa rasi bintang itu indah sekali tapi kau tahu kamera di zaman dulu tidak terlalu bagus menangkap rasi bintang. Hingga awalnya aku mencoba memotret rasi bintang dengan kamera digital yang lumayan canggih di era ini. Pantai adalah salah satu tempat yang cocok. Tempat terbaik untuk memotret bintang adalah tempat yang gelap. Dengan menggunakan speed yang rendah dan memerlukan kesabaran, jadilah rasi bintang yang indah. kalau bapak lihat hasilnya, pasti beliau akan tersenyum-senyum.
“Eh kamera jadul yang itu masih ada?” Dwi bertanya.
“Masih. Yang dua kamera analog itu kan?”
“Iya. Belakangan ini kamera sejenis itu dicari-cari malah buat foto lagi.”
ADVERTISEMENT
Aku malah baru tahu kalau kamera analog ngetren lagi. Bagaimana bisa kamera-kamera seperti itu eksis lagi ditengah kecanggihan digital era ini. Kamera yang penyimpanannya masih di roll film. Kamera antik yang benar-benar membutuhkan proses panjang dan kesabaran untuk menikmati hasilnya. Aku bahkan tidak tahu apakah tempat pencucian film masih ada atau malah sudah pada gulung tikar.
Pulang dari pantai, aku melirik etalase yang menyimpan dua kamera legenda itu. Mungkin kapan-kapan aku akan coba memotret dengan kamera itu. Tidak sekarang. Belum waktunya.
Hari berjalan seperti biasa. Saat weekdays, aku akan bekerja. Lalu ketika weekend tiba, aku akan pergi memotret dengan kamera Sony kesayanganku. Tidak ada yang berubah. Sampai suatu hari, aku mengeluarkan kamera analog kesayangan bapak. Ada hal yang membuatku merasa harus mengeluarkan dari tempatnya. Aku memandangi kamera itu. Begitu memikat meski sudah usang. Entahlah setiap melihat benda itu selalu tumbuh rasa memiliki yang sangat besar. Secara teknis, ini kamera bapak tapi sudah diwariskan bapak padaku jadi ini milikku.
ADVERTISEMENT
Kuusap kamera itu. Entah rasanya aku jadi dekat sekali dengan bapak.
“Bim, kameranya kamu keluarin?” Dwi yang kebetulan main ke rumahku kaget akhirnya lihat barang antik itu dikeluarkan.
“Iya. Kameranya masih bagus rupanya. Agak debu-debu dikit. Tak bersihin dulu.” Aku pergi melewati Dwi untuk mengambil lap bersih.
“Bimo, itu kayaknya harus dibawa dulu ke tempat reparasi kamera analog. Kalau nggak nanti hasil fotonya jelek. Itu ngaruh juga ke film lho.” Dwi menyarankan.
“Dimana?”
“Seingatku di dekat pabrik Madukismo ada satu” Dwi menjelaskan.
Kamera itu kuletakkan di atas meja. Dwi langsung mengambilnya. Membawa Canonet itu dalam genggamannya. Dia mengamatinya lama sekali.
“Kamu tahu tempat cuci film di Jogja? Masih ada nggak to?” aku bertanya pada Dwi setelah kembali dengan lap di tanganku.
ADVERTISEMENT
Kuminta kamera dari tangan Dwi.
“Masih ada kok di Jalan Solo ada beberapa yang aku tahu.”
“Kalau beli film?”
“Itu di online banyak Bim”
Aku mangut-mangut. Dwi malah tahu lebih banyak soal kamera analog ya. Beberapa kali memang aku sempat lihat dia bawa-bawa kamera analog Fujica GER. Aku mau coba pakai kamera ini lagi. Beberapa hari kemudian Dwi mengantarkan aku ke tempat reparasi. Bahkan dia membantu memesankan film. Dwi heran kok tiba-tiba aku mau menyentuh kamera ini lagi setelah sekian lama. Aku tidak pernah mengeluarkan kamera ini karena selain akan membuatku semakin rindu pada bapak, aku juga merasakan perasaan yang aneh ketika kamera ini kugenggam. Rasanya seperti perasaan yang begitu egois ingin selalu memotret dengan kamera ini, enggan beralih.
ADVERTISEMENT
Ya. Beberapa bulan ini, entah mengapa rasaku begitu terganggu. Banyak hal yang berubah dari hasil fotoku. Bahkan ada hal yang juga tak kumengerti. Aku tiba-tiba sering minta tolong Dwi untuk memfotoku bersama ibuku yang sudah sepuh, bersama Sari, adikku, bahkan bersama istri dan anakku yang masih sekolah dasar. Aku nggak mengerti kenapa.
Bahkan belakangan ini aku sering memakai Canonet milik bapak. Memotret seperti yang dulu kulakukan bersama bapa. Rasanya dekat sekali. Biasanya aku jarang mengambil objek berupa seseorang terdekatku untuk difoto. Aku tidak pernah melakukannya. Memang aku biasanya akan momotret apa saja yang ada di dekatku, tapi tidak memotret seseorang terdekatku.
Aku mendatangi Dwi. Aku diam saja. Tak menyapa seperti biasa “Wii”. Kali ini tidak. Aku langsung duduk saja di bangku kosong di depan Dwi. Kutaruh tas yang berat sekali. Yang isinya laptop, kertas-kertas, juga kamera.
ADVERTISEMENT
“Ke Mangunannya lain kali ya Wi.” Aku akhirnya buka suara. Dwi bingung kok acara memotretnya batal. Biasanya aku memang tidak pernah membatalkan agenda memotret.
“Santai. Kerjaan to Bim?” Dia bertanya.
“Nggak. Cuma mau di rumah aja. Jarang main-main sama Denis.” Aku memang jarang main dengan Denis, anakku.
“Iya nggak apa. Masih ada banyak waktu kok” ujar Dwi.
“Nggak tahu Wi. Tolong kapan-kapan cetakin film yang ini ya. Sama yang di kamera ini juga ya.” kusodorkan roll film itu pada Dwi.
“Lho kenapa nggak kamu aja. Tempatnya kan sudah kutujukkan to?” Dwi bingung.
“Ya pokoknya tolong yo Wi” Aku benar-benar meminta.
“Yowes. Besok tak cetakin.” Akhirnya Dwi setuju.
“Wi. Tolong kalau suatu saat nanti aku nggak ada. Jaga kamera tinggalan bapak ini. Sama kamera punyaku juga yang Fujica ini.” Aku menunjukkan dua kameraku pada Dwi.
ADVERTISEMENT
Dwi terlihat bingung. Dia meraih Canonet itu dalam genggamannya. Rasanya berat jika melihat Canonet itu tidak ada dalam genggamanku lagi, tidak ada dalam setiap foto yang kupotret.
Dwi memegangnya lama. Menyusuri setiap inci kamera itu. rasanya cemburu. Kamera itu seharusnya hanya ada di di tanganku.
“Wi” Kupanggil dia. Dia hanya bergumam. Bergumam tanpa mengalihkan pandangannya dari Canonet.
Aku menunggu cukup lama. Dia tidak juga mengalihkan matanya dari kamera itu. Malah sekarang dia menggunakannya untuk memotret.
“Wi. Kameranya” Aku bangkit berdiri. Menjulurkan tanganku tepat di depan kamera itu. aku ingin kamera itu kembali.
Dwi menatapku. Dia terlihat terpaksa menyerahkan kamera itu kembali. Lho itu kan milikku.
Aku yang berhak atas kamera itu.
ADVERTISEMENT
“Aku pulang dulu” kulangkahkan kakiku pergi meninggalkan Dwi yang masih duduk di situ. Dwi tetap duduk di situ bersama dua buah roll film yang tergeletak di atas meja.
***
Pagi itu, lain dari biasanya. Mungkin akan menjadi pagi yang tidak pernah diinginkan oleh keluarga kecil Bimo. Intan membuka pintu ruang kerja Bimo dan mendapatinya terlihat tertidur dengan kepala menghadap ke arah Canonet di atas meja. Dipikiran Intan, Bimo tertidur karena kelelahan. Dia mencoba membangunkan Bimo. Bimo tidak menyahut. Diguncangkannya tubuh Bimo, tapi yang diusik tetap saja bergeming.
Bimo tidak bangun hari itu. Tidak akan pernah bangun. Benda terakhir yang dia sentuh adalah Canonet itu. Kamera peninggalan bapaknya. Kamera yang Bimo tak pernah tahu sejarahnya. Kamera yang hanya dia tahu merupakan kesayangan bapaknya. Hingga kematiannya, dia tidak mengalihkan pandangan dari kamera itu.
ADVERTISEMENT
Biar kuceritakan satu hal. Benda hanyalah sebuah benda bagi orang biasa. Di dunia ini, sebuah benda memiliki ingatannya masing-masing. Entah itu ingatan bagaimana benda itu dibuat, ingatan benda itu dengan pemiliknya, atau ingatan lainnya. Ingatan dan energi bermanifestasi dalam benda itu lalu mempengaruhi pemakainya. Bimo tidak pernah tahu tentang itu. Tidak akan ada yang pernah tahu hingga seseorang berani membuka cerita tentang kamera itu. (bfn)