Konten Media Partner

Corporate Farming Ala Bank Indonesia, Angkat Derajat Petani dari Keterbatasan

26 Maret 2018 22:18 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang hingga saat ini masih mengandalkan sektor pertanian sebagai salah satu akselerator pembangunan ekonomi. Meski demikian, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tren kinerja sektor pertanian cenderung menurun.
Corporate Farming Ala Bank Indonesia, Angkat Derajat Petani dari Keterbatasan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ada beberapa hal yang diduga menyebabkan penurunan kontribusi sektor pertanian antara lain faktor anomali cuaca dan pergeseran musim serta meningkatnya kontribusi sektor lain seperti sektor real estat dan perdagangan. Tranformasi ke sektor-sektor tersebut mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan pertanian baik sawah maupun bukan sawah menjadi lahan bukan pertanian.
Di samping masalah alih fungsi lahan, tradisi masyarakat Indonesia untuk mewariskan tanah miliknya kepada ahli waris menyebabkan lahan garapan petani semakin sempit dari waktu ke waktu. Selain isu alih fungsi lahan dan luas rata-rata lahan yang sempit, sektor pertanian di Jawa Tengah juga menghadapi berbagai kondisi seperti semakin rendahnya angkatan kerja yang masuk ke sektor pertanian dan rendahnya minat generasi muda untuk bekerja di sektor ini sehingga petani yang ada saat ini rata-rata berusia lanjut.
ADVERTISEMENT
Hal itu terjadi tidak lepas dari masalah yang ada di sektor pertanian baik di sisi hulu (on-farm) dan sisi hilir (off-farm). Di sisi hulu, kendala yang ada antara lain ketersediaan sarana produksi, akses terhadap permodalan dan iklim. Sementara itu, di sisi hilir persoalannya antara lain masih rendahnya produktivitas hasil pertanian, fluktuasi harga jual, heterogenitas kualitas produksi, dan keterbatasan akses pasar.
Bermula dari hal tersebut, maka Bank Indonesia mencoba menggagas konsep pertanian, Corporate Farming. Menurut Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia wilayah Solo, Bhakti Artata, Corporate farming adalah usaha tani sehamparan yang pengelolaannya dilaksanakan pada suatu lembaga agribisnis (satu manajer) dengan perjanjian kerjasama tertentu yang disepakati, yang didalamnya adalah petani-petani sebagai pemegang saham.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia ada tiga wilayah yang digunakan sebagai pilot project program corporate farming melalui modernisasi pertanian. Tiga wilayah tersebut di antaranya adalah di Sulawesi, Brebes dan Dalangan Sukoharjo, Jawa Tengah. Namun, program tersebut yang paling berhasil ada di Dalangan Sukoharjo Jawa tengah.
Bank Sentral ini lantas memilih di Dalangan Jawa Tengah sebagai tempat penerapan konsep corporate farming. Sebab, rata-rata penguasaan lahan petani bervariasi, namun tidak lebih dari 0,1 hektar. Sehingga kedaulatan petani sangat kecil. Terobosan ini merupakan bagian dari serangkaian rencana untuk mengangkat perekonomian rakyat kecil di pedesaan, khususnya yang berlahan sempit.
Kegiatan corporate farming di wilayah ini memang belum dilakukan seutuhnya, namun dilakukan secara bertahap. Saat ini, dari luas 170 hektar, baru sekitar 28 hektare yang sudah mulai menerapkan corporate farming. Di wilayah ini, para petani belajar efektivitas dari implementasi corporate farming tersebut diukur dengan menggunakan pendekatan ekonomi, yaitu dengan membandingkan produksi, produktivitas, dan pendapatan.
ADVERTISEMENT
"Tujuannya untuk mengkomparasi yang dilakukan proporsional, perbandingan tidak dilakukan terhadap masing-masing individu yang memiliki lahan/menggarap lahan, melainkan diukur berdasarkan regu yang telah dibentuk," katanya.
Di wilayah tersebut terdapat 170 hektar lahan pertanian yang dimodernisasi sejak tahun 2015. Modernisasi melalui mekanisasi alat pertanian mutlak dilakukan untuk menghemat biaya produksi dan solusi semakin menyusutnya jumlah petani akibat semkain berkurangnya generasi muda yang bekerja di sawah.
Langkah awal yang diterapkan dalam corporate farming ini adalah dengan melakukan konsolidasi lahan. Di mana petani harus menghilangkan pembatas lahan mereka (pematang), tujuannya untuk memudahkan alat-alat pertanian modern bekerja. Proses konsolidasi lahan inilah yang memakan cukup waktu karena masyarakat sulit untuk disadarkan.
"Masyarakat khawatir batas lahan mereka hilang sehingga pencaplokan lahan bisa terjadi. Tetapi kami berusaha menyadarkan petani. Melalui 6 kali pertemuan selama dua bulan, barulah petani di sini merelakan galengan (pematang) untuk dihilangkan," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Sistem pertanian modernpun mereka terapkan diantaranya mekanisasi ketika mulai dari pembenihan hingga menanam di lahan tersebut. Selain itu, terdapat penghematan penggunaan tenaga kerja di mana sebelum penerapan corporate farming kontribusi tenaga kerja luar keluarga mencapai 40 persen, setelah konsolidasi lahan penggunaan tenaga kerja menjadi sangat minim, karena disubstitusi oleh alat dan mesin pertanian (pengolah lahan/bajak, penanam, dan pemanen).
Pihaknya menghitung, sejak penerapan alat pertanian secara modern tersebut, terjadi peningkatan produktivitas hingga 19 persen dan penghematan biaya hingga 7 persen. Ia mencotohkan, ketika dikelola secara manual, setiap meter persegi hanya menghasilkan 0,7 kg beras, namun ketika sudah dimekanisasi produktivitasnya meningkat menjadi 1 kg.
Ketua UPJA Bagyo Mulyo Desa Dalangan, Kardjono menambahkan, berkat penerapan corporate farming tersebut, semakin banyak masyarakat yang mulai menghilangkan galengan alias batas lahan. Karena pematang ini selama ini selalu menjadi rumah untuk tikus-tikus berlindung. Sehingga dengan corporate farming, hama bisa ditekan. "kami juga membangun rumah burung hantu untuk mengusir tikus," ungkapnya. (erl)
ADVERTISEMENT