Konten Media Partner

Gerakan Sekolah Menyenangkan, Program Pendidikan Untuk Sekolah Pinggiran di Yogyakarta

3 Desember 2018 17:11 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gerakan Sekolah Menyenangkan, Program Pendidikan Untuk Sekolah Pinggiran di Yogyakarta
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Seorang Dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhammad Nur Rizal, menginisasi lahirnya sebuah gerakan perubahan di bidang pendidikan yang dinamai ‘Gerakan Sekolah Menyenangkan’ atau disingkat GSM. Gerakan non profit ini menyasar peningkatan kualitas sejumlah sekolah pinggiran dan non favorit di berbagai wilayah termasuk Yogya agar tak mengalami kesenjangan dalam sistem pembelajaran dengan sekolah-sekolah favorit di perkotaan.
ADVERTISEMENT
 “Gerakan ini tidak mengubah kurikulum karena kurikulum hanya alat, gerakan ini langsung menyentuh sumber daya manusianya yakni guru-siswa dari sekolah pinggiran atau non favorit itu,” ujar Nur Rizal di sela workshop bersama puluhan guru di Yogyakarta bertema ‘Kolaborasi Pendidikan Dasar Pinggiran & Global’ di Kantor Dinas Pendidikan Sleman, Senin (3/12/2018).
Arah Gerakan Sekolah Menyenangkan ini menyasar penerapan materi pembelajaran layaknya yang diajarkan sekolah-sekolah favorit atau unggulan. Yang mana tak sekedar menekankan pada orientasi mata pelajaran teoretik. Namun mengadopsi pembelajaran sekolah-sekolah di negara maju seperti Australia yang menekankan aspek seperti pembentukan karakater, problem solving, adaptif dan bernalar bagi siswa.
“Jadi ekosistem sekolah pinggiran itu yang kami bentuk sehingga kualitas pembelajaran setara atau bahkan lebih baik dengan yang diterapkan sekolah favorit,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Sasaran gerakan yang sudah dirintis ke sejumlah sekolah  di Yogya ini menyasar sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP). Untuk di Kabupaten Sleman, yang jadi model penerapan gerakan GSM ini seperti SD Rejodani, Karangnongko II, SD Ngebel Gede II, SD Muhammadiyah Mantaran, SD Rejosari, juga SD Kalam Kudus.
Sejak tahun 2016 diluncurkan hingga saat ini sudah ada total 27 sekolah model yang mengadopsi konsep gerakan ini. Rizal menyebut di tahun 2019 akan bertambah dengan 25 sekolah calon model mengikuti gerakan ini. Gerakan ini tersebar di Kota Yogyakarta, Kulon Progo, Gunungkidul, Temanggung, Semarang hingga Tangerang Selatan.
Rizal menuturkan dengan memprioritaskan sekolah pinggiran, gerakannya ingin menegaskan bahwa pemenang dalam persaingan di era disrupsi ini kelak adalah sekolah yang gesit, fleksibel, dan mau bekerja sama.
ADVERTISEMENT
“Lokasi yang terpencil, sekolah yang kecil, atau status tidak favorit tidak seharusnya menjadi penghambat untuk bersaing,” ujarnya.
Pada akhirnya, ujar Rizal, sekolah-sekolah yang dianggap pinggiran itu di era persaingan ini tidak akan lagi tertinggal jauh, melainkan punya posisi yang sama dengan sekolah-sekolah favorit untuk bersama-sama menghadapi tantangan global. Rizal menuturkan gerakannya itu dilatari karena selama ini kesenjangan yang terjadi masih ikut merambah di bidang pendidikan.
Jika membandingkan keberadaan sekolah-sekolah mahal yang jadi unggulan dengan sekolah pinggiran, non-favorit, kesenjangan itu sangat terasa.
“Sekolah favorit kerap sekali didukung dengan infrastruktur wah, guru-guru pengajar yang lebih berpengalaman, disusul masuknya murid-murid yang sudah lebih dulu ada di atas rata-rata,” ujarnya.
Sementara itu, sekolah pinggiran harus berjuang keras untuk sekadar bertahan hidup. Jurang yang lebar ini menjadi semakin tak terjangkau ketika sekolah favorit ramai-ramai mendeklarasikan diri sebagai sekolah internasional. Mereka memiliki akses yang luas dan mampu dengan mudah menjalin kerja sama dengan sekolah berkelas dunia.
ADVERTISEMENT
Lewat pertukaran pikiran dan paradigma sekolah global, sekolah-sekolah favorit itu pun menjadi semakin matang. Di sudut sebaliknya, napas sekolah pinggiran justru semakin tipis karena persaingan. (atx/adn)