Konten Media Partner

Hanya 15 Rumah Sakit di Indonesia Punya Layanan Kedokteran Nuklir

29 Agustus 2018 11:55 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hanya 15 Rumah Sakit di Indonesia Punya Layanan Kedokteran Nuklir
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) memberikan penjabaran terkait jumlah rumah sakit (RS) di Indonesia yang sudah memiliki layanan kedokteran nuklir. Dari banyaknya RS di Tanah Air, baru ada 15 RS yang memiliki layanan tersebut. Tiga dari 15 RS yang sudah memiliki layanan kedoktetan nuklir itu ada di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Fakta itu membuat Bapeten akan memberikan kemudahan terkait proses perizinan untuk menambah jumlah rumah sakit yang memiliki layanan kedokteran nukir. Minim adanya layanan tersebut di antaranya terjadi karena keterbatasan sumber daya manusia dan peralatan.
Kepala Bapeten, Jazi Eko Istiyanto menjelaskan, pihaknya terus berupaya melakukan pengawasan pemanfaatan nuklir di rumah sakit, salah satunya layanan kedokteran nuklir. Ia mendorong problem terkait perizinan di lapangan bisa diselesaikan agar layanan kepada pasien bisa berjalan lancar. Bukan hanya sekedar soal keamanan nuklir namun proses izin juga dipermudah, mulai dari tidak harus mengurus setiap tahun dan bisa dengan sistem perpanjangan hingga layanan pengajuan online.
"Jumlah rumah sakit yang memiliki layanan kedokteran nuklir masih sangat sedikit hanya 15 RS, sembilan di kawasan Jakarta dan Bandung, tiga di DIY, lalu Medan, Padang dan Surabaya masing-masing satu," ungkapnya di sela-sela rapat koordinasi kedokteran nuklir di salah satu hotel kawasan Malioboro Yogyakarta, Selasa (28/8) sore.
ADVERTISEMENT
Ia mengatakan, tiga RS di Yogyakarta yang memiliki layanan kedokteran nuklir itu adalah RSUP Sardjito dan RS Annur Yogyakarta yang sudah berjalan layanan dan RSPAU Harjolukito saat ini dalam proses kelengkapan fasilitas. Memang tidak mudah bagi RS untuk memiliki layanan ini, syaratnya harus memiliki fasilitas dan sumber daya manusia. Minimal harus memiliki satu orang dokter spesialis kedokteran nuklir, serta fisikawan medik, radiografer, radiofarmasi serta petugas proteksi radiasi.
"Mahal itu relatif karena untuk kesehatan. RS yang belum memiliki izin Bapeten jelas tidak bisa memberikan layanan kedokteran nuklir karena tidak mendapatkan suplai radioaktif," katanya.
Sementara ahli Kedokteran Nuklir Hussein mengungkapkan, perkembangan kedokteran nuklir di Indonesia memang tidak sesuai harapan. Dengan penduduk Indonesia yang mencapai 300 juta jiwa namun hanya ada 41 orang dokter nuklir yang aktif. Salah satu penyebabnya karena ada phobia nuklir sehingga masyarakat kurang bisa menerima jenis kedokteran nuklir. Ia tidak menampik, phobia nuklir itu bahkan terjadi di kalangan dokter sendiri. Namun kebutuhan layanan ini terus meningkat namun fasilitas dan SDM sangat terbatas. Bahkan layanan kedokteran nuklir seperti pengobatan kanker dan hiperteroid harus menunggu antrean hingga 18 bulan baru terlayani.
ADVERTISEMENT
"Pengobatan di kedokteran nuklir bisa lebih santai, tiga bulan sekali, berbeda dengan pengobatan biasa yang harus sepekan sekali ketemu dokter. Paling banyak memang untuk hipertiroid, kanker, kalau biasanya operasi, obat-obatan sekarang banyak ke radioaktif yang efek sampingnya tidak ada," ucapnya. (arif wahyudi/adn)