Konten Media Partner

Hari Pangan Dunia, WALHI Jogja Sebut Dampak Krisis Iklim di DIY

16 Oktober 2024 19:49 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Telaga Mboromo, Kalurahan Karangasem, Kapanewon Paliyan, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Telaga Mboromo, Kalurahan Karangasem, Kapanewon Paliyan, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Krisis iklim menjadi hambatan bagi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat yang jumlahnya semakin menurun. Hal tersebut berdampak langsung kepada masyarakat terutama bagi para petani dan nelayan dalam bergantung kepada hasil alam.
ADVERTISEMENT
Dalam peringatan Hari Pangan Sedunia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jogja mencatat beberapa kondisi pangan di Yogyakarta yang mengalami kerentanan di tengah iklim yang mengalami krisis.
Kadiv Kampanye WALHI Jogja menyampaikan berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan DIY, wilayah Gunungkidul dan Kulon Progo mengalami sejumlah kekhawatiran dalam pemenuhan pangan.
Ia menyebut permasalahan yang sering dihadapi di wilayah tersebut antara lain kekeringan yang berkepanjangan dan keterbatasan sumber daya air.
“Jika dilihat lebih detail pada tahun 2023, luas panen tanaman pangan di Yogyakarta mengalami penurunan sebesar 5,23 ribu hektar, yang berdampak pada produktivitas tanaman pangan turun sebesar 4,91 persen dibandingkan tahun 2022,” katanya melalui keterangan tertulis, Selasa (16/10/2024).
Berdasarkan catatan BPS (2023) terdapat 898,19 hektare lahan yang berpotensi gagal panen, atau meningkat 48,49 persen dibandingkan dengan kasus sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Masalah tersebut disebutnya berdampak kepada berbagai dimensi lainya seperti ekologi, ekonomi, sosial budaya, dam politik.

Dampak Krisis Iklim

Elki menyampaikan dampak krisis iklim semakin terasa di wilayah Gunungkdul. Ia menyampaikan 30 persen daerah Bumi Handayani tergolong rawan pangan. “Kalau di Kulon Progo yang dikenal sebagai lokasi produksi pertanian kering masih mengalami sejumlah kesulitan dalam menjaga kestabilan hasil panen,” katanya.
Di DIY sendiri,kemandirian pemenuhan kebutuhan beras masih belum bisa dilakukan secara mandiri. Pasalnya sebanyak 60 persen beras masih bergantung pada daerah lainnya. Ia menyampaikan jika kondisi tersebut merupakan pengaruh dari banyaknya konversi lahan.
Beberapa produksi pertanian lainya disebutnya juga mengalami anjlok yang terjadi pada padi, jagung, dan sayuran yang semakin tidak menentu akibat meningkatnya bencana alam.
ADVERTISEMENT
"Nelayan di pesisir kita mengalami penurunan tangkapan karena perubahan suhu air laut,” katanya.
Elki menyampaikan kondisi alam bukan menjadi faktor satu-satunya atas kondisi penurunan pangan. Ia menyebut kerusakan lingkungan akibat deforestasi dan ekspansi industri hingga saat ini tidak menjadikan kondisi lingkungan membaik. Lebih parah lagi, dirinya menyebut pemanfaatanya digunakan untuk kepentingan industri ekstraktif dan properti yang mengancam kondisi pangan berkelanjutan.
“Hari Pangan Sedunia ini menjadi momen penting untuk kita di Yogyakarta bersama-sama mencari solusi yang adil dan berkelanjutan. Pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk memperkuat ketahanan pangan lokal,”katanya.
Dirinya seluruh pihak terkait turut serta dalam memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada petani kecil dan nelayan, serta mendesak langkah-langkah konkret dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
“Perlu adanya transformasi sistem pangan yang lebih berkelanjutan, adil, dan berdaulat. Dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa setiap orang di Yogyakarta dan Indonesia dapat menikmati hak pangan yang sehat, cukup, dan berkelanjutan,” jelasnya. (Hadid Husaini).