Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Uji coba kawasan Jalan Malioboro menjadi semi pedestrian sudah dilakukan sebanyak 2 kali yaitu setiap Selasa Wage. Malioboro sudah sejak lama menjadi ikon wisata andalan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) bagi wisatawan dari luar daerah belum berkunjung ke Malioboro artinya belum dikatakan sah untuk berwisata di DIY.
ADVERTISEMENT
Malioboro memang kini telah menjadi sebuah icon wisata belanja modern di DIY. Puluhan toko konsep modern berjajar kiri kanan jalan tersebut sementara di depannya ratusan pedagang kaki lima dengan berbagai jenis dagangan juga meramaikan kawasan Jalan Malioboro.
Tak banyak yang mengerti sejatinya Malioboro itu apa. Mungkin bagi sebagian orang, menganggap kata Malioboro itu adalah serapan dari luar negeri. Terlebih ada salah satu merek rokok terkenal dari luar negeri yang namanya hampir mirip dengan Malioboro.
Pengageng Tepas Dwarapura Keraton Ngayogyakarto atau yang dikenal sebagai Kantor Penghubung Keraton Yogyakarta, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) H Jatiningrat, mengakui hal tersebut. Jalan itu sendiri merupakan penggalan beberapa bagian yang semuanya itu secara filosofi harus ditempuh oleh seorang Sultan yang duduk di Bangsal Manguntur Tangkil atau Sitinggil.
ADVERTISEMENT
"Kemudian beliau menghadap ke utara dengan viewnya adalah Tugu golong gilig," paparnya, Rabu (24/7/2019).
Lewat berbagai tahapan-tahapan yang merupakan satu rangkaian satu rangkaian kepada hubungan antara manusia dengan Allah subhanahu wa ta'ala (SWT) dan manusia satu dengan yang lain. Itulah simbol makna dari jalan Malioboro sebenarnya.
Ia lantas menceritakan sejatinya apa itu Malioboro. Menurutnya, Mioboro sebenarnya berasal dari kata Wali dan Obor. Sehingga beberapa penggal jalan yang ada Malioboro itu karena Wali dan obor.
"Itu semuanya adalah berdasarkan petunjuk atau ajaran (obornya) para wali. Nah petunjuk dari para wali ini Apa? Yaitu agama. Agamanya apa, Islam. Ceritanya kan gitu,"ujarnya.
Kalau penggal jalannya itu ada Pangurahan artinya Sultan harus bebas dari beban- beban yang merupakan tanggungan Sultsn. Beban yang berat itu harus dilepas semuanya kemudian sesudah di urai kemudian lewat jalan yang namanya Margomulyo.
ADVERTISEMENT
Margomulyo itu adalah jalan kemuliaan, kemudian lewat Malioboro itu adalah berdasarkan obornya para wali yaitu agama. Kemudian ke utara lagi adalah jalan Margo Utomo itu adalah Jalan keutamaan.
"Akhirnya sampai pada simbol persatuan kesatuan yang berupa Tugu Pal putih atau tugu golong gilig,"terangnya.
Tugu golong gilig maknanya adalah persatuan kesatuan bangsa. Sehingga harapan Sultan itu adalah seperti ini semua sultan yang bertahta kemudian beliau hidup di Pulau Tangkil itu cita-citanya hanya hanya itu yang utama yaitu persatuan dan kesatuan bangsa.
Hal ini sebenarnya sangat identik dengan Pancasila, dengan pengertian arti pentingnya Malioboro. Sehingga ia berharap agar Malioboro jangan diterjemahkan macam-macam karena sebenarnya memiliki makna sangat agamis dan filosofis.
"Dan itu (Malioboro) merupakan cita-citanya rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat, cita-citanya adalah persatuan kesatuan dengan Allah subhanahu wa ta'ala antara manusia satu dengan yang lain,"tambahnya
ADVERTISEMENT
Namun untuk menuju ke semua itu, lanjut laki-laki yang sering dipanggil dengan sebutan Romo Tirun ini, pasti ada godaan. Godaan itu di antaranya adalah Pasar Beringharjo di mana pasar Beringharjo adalah godaan yang serba keduniawian.
Termasuk godaan yang masalah-masalah duniawi jalan seperti perdagangan, memikirkan dunianya sendiri ada di pasar. Jadi itu godaan ada pada diri Sultan yang juga merupakan manusia biasa.
"Sultan harus menyingkirkan itu,"ujarnya.
Kemudian godaan lain adalah Kepatihan atau Kantor Gubernur. Di mana Kepatihan menyimbolkan kekuasaan yaitu kekuasaan yang menonjol yang artinya ditonjolkan.
"Jangan sampai ada perasaan yang absolut. Biasanya disimbolkan dengan kekuasaan pemerintahan. Ini godaan, karena dalam kekuasaan biasanya muncul 'sopo siro sopo ingsun?, (Siapa kamu siapa aku). Dan ini harus hilang,"katanya.
ADVERTISEMENT
Sehingga ketika seorang pemimpin bisa menghayati filosofi ini dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari maka Pemimpin yang mampu membawa kesejahteraan rakyat. Bukan hanya pemimpin yang tinggi, tetapi pemimpin rumah tangga juga harus bisa seperti filosofi Malioboro.
Terkait dengan semi pedestrian, Romo Tirun menyatakan persetujuannya karena dengan pedestrian itu maka orang yang berkunjung ke Malioboro bisa menikmati, dengan enak. Jalan-jalan sambil merenung. Sebab kalau masih ada lalu lintas maka isinya hanyalah senang-senang saja.
"Hanya seneng-seneng saja, suka ria saja tetapi laku ibadahnya tidak ada,"ungkapnya.
Sehingga dengan dijadikannya sebagai semi pedestrian maka jalan itu sambil menikmati sesuatu yang lain daripada yang biasanya. Orang bisa jalan-jalan dengan santai serra bisa merenung atau mengoreksi diri apa yang kurang.
ADVERTISEMENT
"Tujuannya ke sana kalau itu buat pedestrian kalau ndak itu ya dalam keriuhan dalam itupun harus harus selalu selalu dalam rangka ibadah kalau mau menghayati Jalan Malioboro dari mulai Bangsal manguntur Tangkil sampai ke Tugu. Seharusnya karena filosofinya cukup tinggi maka tidak boleh lagi ada pelanggaran-pelanggaran hukum dan sebagainya,"tandasnya. (erl/adn)
Live Update