Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten Media Partner
Jemparingan Olahraga Khas Yogyakarta yang Sarat Nilai Filosofi
3 Desember 2019 8:38 WIB

ADVERTISEMENT
Di Yogyakarta salah satu jenis olah raga yakini jemparingan tak hanya dipandang sebagai olahraga melainkan membawa nilai tradisi dan filosofi. Olahraga yang tumbuh sekitar abad ke 17 semasa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I ini berasal dari kata 'jemparing' yang dalam bahasa Jawa sebagai panah.
ADVERTISEMENT
Secara etimologis, jemparingan bisa diartikan sebagai panahan. Meskipun sama-sama menggunakan panah, olahraga panahan yang dikenal saat ini berbeda jauh dengan jemparingan. Jemparingan sendiri tidak hanya dilihat sebagai aktivitas menggunakan senjata panah, akan juga melibatkan menari dan olah rasa. Hal ini bisa dilihat pada sebuah tarian yang berjudul Srikandhi meguru manah (Srikandi Belajar Memanah). Dimana Raden Arjuna melingkarkan tangganya diluar tangan Srikandi dengan posisi busur horisontal. Hal ini memberikan acuan tentang Jemparingan gagrak Mataraman (memanah dengan gaya Mataraman), dimana dilakukan dengan tata krama Jawa yang mengedepankan rasa.
Dahulu kala, jemparingan sering dimainkan oleh para bangsawan kerajaan dan juga keluarganya. Bagkan Raja Kerajaan Mataram pun menjadikan permainan ini sebuah perlombaan wajib di wilayah kerajaan kala itu. Hingga seiring berjalannya waktu, jemparingan mulai dimainkan oleh rakyat biasa sebagai bagian dari hiburan dan juga pelestarian budaya yang sangat berharga. Tradisi panahan jemparingan ini terus bertahan meski dalam beberapa waktu sempat meredup dan jarang dimainkan lagi, dan kini, jemparingan kembali muncul dan diminati oleh generasi muda.
ADVERTISEMENT
Tidak seperti permainan panahan pada umumnya yang dilakukan dengan posisi berdiri, jemparingan ini dilakukan dengan posisi duduk bersila. Peserta biasanya duduk dengan gaya mataraman membentuk dua barisan dengan menghadap ke barat. Posisi duduk ini bukan muncul tanpa alasan. Konon katanya, posisi duduk ini disebabkan karena dahulu para bangsawan biasanya memanah sambil bercengkrama membicarakan bisnis sambil menikmati kopi, teh, atau makanan ringan.
Mu'tashim Hasby Dzikri dalam skripsinya yang berjudul Ajaran Etika Jawa dalam Olahraga Jemparingan Mataram Jawa menemukan bahwa prosesi Olahraga Jemparingan diawali dengan cara menyiapkan peralatan yang meliputi deder (batang anak panah), cengkolak (pegangan busur), lar (bilah yang terdapat pada kiri dan kanan cengkolak), kendheng (tali busur), dan bandul (sasaran yang digunakan untuk Jemparingan). Sedangkan Tata cara memanah diawali dengan duduk bersila, menoleh ke sasaran, nginceng (mengunci target), menthang gandewa dengan anak panah sampai melepaskan ke sasaran Bandulan.
ADVERTISEMENT
Tak hanya soal teknik saja, ada pula makna ajaran etika dalam jemparingan. Diantaranya meliputi sepi ing pamrih yakni tidak mengharapkan pamrih, giat dan sungguh dalam bekerja. Selain itu harmonisasi yakni mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. Sikap batin yang tepat disimbolkan dengan mengontrol nafsu-nafsu pada dalam diri. Ora Mingkuh yakni tanggung jawab atas apa yang diperbuat selama di dunia ini.
"Lalu Sawiji disimbolkan dengan konsentrasi. Ajaran tempat yang tepat disimbolkan dengan seseorang yang mampu mengendalikan hawa nafsu. Greget disimbolkan dengan semangat pantang menyerah. Ajaran Pengertian yang tepat disimbolkan dengan sebuah rasa dalam kesadaran diri. Sengguh disimbolkan dengan merendahkan diri," tulis Mu'tashim dalam skripsinya.
Jadi olahraga Jemparingan tidak sekedar mengenai unsur afektif yang meliputi perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Namun juga terdapat unsur kognitif dan psikomotorik (aktivitas fisik) yang harus sinkronkan serta dikelola secara bersamaan (cipta, rasa, karsa).
ADVERTISEMENT
Saat ini masih banyak warga Yogyakarta yang masih melakukan olahraga jemparingan. Jemparingan bukan hanya sekadar permainan maupun sebagai warisan dari pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I, tetapi sebagai olahraga yang melatih ketajaman mata dan konsentrasi bagi pemanah.
(Ayu)