Jemparingan, Olahraga Memanah Gaya Mataram Yogyakarta

Konten Media Partner
11 Oktober 2020 7:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Jemparingan, olahraga memanah sambil duduk khas Mataram Yogyakarta. FOto: Sandra/Tugu Jogja.
zoom-in-whitePerbesar
Jemparingan, olahraga memanah sambil duduk khas Mataram Yogyakarta. FOto: Sandra/Tugu Jogja.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Yogyakarta memiliki olahraga panahan unik yang berbeda dengan olahraga panahan pada umumnya selama ini kita ketahui. Memiliki nama Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta, olahraga panahan ini dilakukan dalam posisi duduk.
ADVERTISEMENT
Asal Usul
Olahraga Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta sudah ada sejak jaman Kerajaan Mataram Islam. Pada masa itu, panahan ini digunakan sebagai sarana pertahanan misalnya dalam peperangan. Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang berasal dari Kerajaan Mataram, membawa panahan ini ke dalam Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Tujuannya bukan lagi untuk melatih diri dalam pertempuran tetapi untuk membentuk watak ksatria. Selain itu, Sri Sultan Hamengku Buwono I juga merupakan seorang yang taat beribadah sehingga panahan dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mengamalkan ajaran Nabi Muhammad SAW.
“Dulu merupakan salah satu cara yang digunakan untuk bertempur. Seiring berjalannya waktu yang cukup panjang, Sri Sultan Hamengku Buwono I bisa mendirikan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan membuat Sekolah Tamanan. Mata pelajarannya antara lain memanah, menunggang kuda, dan berenang. Ini merupakan ajaran agama sebetulnya," ujar K.R.T Djatiningrat, Kepala Tepas Dwarapura, Jumat (9/10/2020).
ADVERTISEMENT
Filosofi
Kegiatan memanah dalam posisi duduk bersila berasal tradisi masyarakat jawa khususnya di lingkungan Keraton Yogyakarta karena bentuk bangunan rata-rata cukup rendah. Memanah dalam posisi duduk juga membuat perasaan pemanah menjadi lebih tenang. Posisi busur akan berada pada posisi terlentang di hadapan perut menjadikan bidikan berdasar para perasaan.
“Pamenthanging gandewa pamenthenging cipta” berarti pemanah menggunakan hatinya untuk mengincar sasaran (tujuan). Tidak lagi menggunakan bidikan mata namun berdasarkan perasaan.
Sri Sultan Hamengku Buwono I melalui Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta, memberikan pemahaman bahwa mengincar dengan hati merupakan hal yang utama.
“Misalnya pada saat melakukan sholat. Begitu melantunkan Allahu Akbar rasa hati kita ditujukan pada sesuatu yang tidak kita lihat dengan mata tapi dengan mata hati. Akhirnya, jika sudah mahir dalam panahan ini maka sholat yang dilakukan juga menjadi lebih baik," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Sri Sultan Hamengku Buwono I menginginkan rakyatnya agar dapat memiliki watak ksatria yang terdiri dari empat nilai lewat kegiatan Jemparingan. Pertama, sawiji atau melakukan kegiatan dengan berkonsentrasi. Kedua, greget atau semangat. Ketiga, sengguh atau percaya diri. Keempat, ora mingkuh atau bertanggung jawab.
Empat watak ksatria atau empat nilai ini akan diolah secara terus-menerus. Tujuannya yakni untuk menempa hati, membangun kekuatan batin, mengarahkan rasa dan karsa, serta melatih konsentrasi untuk mencapai tujuan. Selain untuk membangun diri antara hubungan manusia dengan penciptanya tapi juga hubungan antara manusia dengan manusia.
“Dalam membentuk pribadi manusia yang ksatria ada dalam panahan itu. Mengapa ksatria yang dipilih dan bukan raksasa atau Brahmana? Itu karena ksatria merupakan perwujudan dari pengabdian kepada negara dan bangsanya," tuturnya.
ADVERTISEMENT

Alat Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta

Dalam Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta, pemanah menggunakan jemparing atau anak panah yang terbuat dari bambu, gandewa atau busur yang terbuat dari bambu atau kayu, dan wong-wongan atau bandul yang terbuat dari kain berisi jerami sebagai sasaran. Berasal dari kata jemparing atau anak panah ini lah Jemparingan berasal.
Idealnya ukuran jemparing dan gandewa disesuaikan dengan pemiliknya sehingga alat ini bersifat pribadi. Termasuk adanya perbedaan alat untuk Abdi Dalem jeler (pria) dan Abdi Dalem estri (putri), misalnya dalam tingkat kelenturan gandewa. Namun, kini alat jemparingan dibuat dengan ukuran yang lebih umum.
Kegiatan Jemparingan Gaya Mataram Yogyakarta masih terus dilaksanakan sampai hari ini. Protokol kesehatan seperti mencuci tangan, menggunakan masker, dan jaga jarak diterapkan saat latihan sebagai upaya mencegah penularan virus corona. (Nada Pertiwi)
ADVERTISEMENT