Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
Masih segar dalam ingatan Tedy Kartyadi, Angelina Vania dan Agatha Celynda akan memori 14 tahun lalu. 27 Mei 2006 menjadi hari yang tak terlupakan bagi ketiganya dan juga warga Jogja lainnya. Tak ada satu pun warga yang menyangka datangnya bencana hebat yang mengguncang tanah Jogja waktu itu.
ADVERTISEMENT
Kala subuh waktu itu, sebagian besar warga Jogja ada yang masih terlelap, sebagian lagi sudah mulai menyiapkan aktivitas rumah dan anak-anak bersiap untuk ke sekolah. Tedy Kartyadi warga wilayah Kota Yogyakarta saat itu masih terlelap. Begitu pula dengan Angelina Vania dan Agatha Maria Celynda yang merupakan warga Sleman.
Pukul 05.53 WIB guncangan menggetarkan tanah Jogja. Gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter yang terjadi selama 57 detik itu langsung membuat warga sontak berlarian panik menyelamatkan diri keluar rumah. Diketahui pusat gempa di wilayah Kecamatan Pundong, Bantul pada koordinat 7,962" LS dan 110,458" BT.
"Masih ingat cukup jelas, kala gempa itu saya masih tidur namun istri dan anak-anak sudah bangun untuk persiapan sekolah," kata Tedy Sabtu (21/5/2020).
ADVERTISEMENT
"Goncangan gempa dan teriakan istri yang bangunkan, sehingga semuanya serentak keluar rumah di halaman. Termasuk anak yang lagi di kamar mandi keluar tanpa kenakan celana. Saya pun lepas kaus yang saya pakai untuk nutupinya," sambungnya.
Celynda juga mengalami hal serupa. Dia masih tidur saat gempa itu terjadi. Mungkin karena terlalu panik, dia pun tertinggal di dalam rumah sendiri.
"Pas itu aku masih tidur baru ngeh gempa. Jadi pas itu di rumah cuman ada aku, bapakku sama adekku. Emak udah di pasar. Kalo nggak salah gempanya sekitar jam 6 kurang dikit," papar wanita yang akrab disapa Celyn.
Warga saat itu sontak meninggalkan aktivitasnya dan berlarian menyelamatkan diri. Namun sebagian warga yang kurang beruntung, terjebak di reruntuhan rumah akibat gempa pagi itu.
ADVERTISEMENT
"Bapakku udah ngungsi, lari ke belakang rumah sama adikku. Saudaraku juga ikut ngungsi berhubung bagian belakang rumahnya menyatu sama tempatku. Aku ditinggal pas masih bobok. Padahal kasurku dulu yang model tingkat pendek nggak pake tangga. Untungnya aku nggak kenapa-kenapa," ungkapnya.
Diterpa Isu Gunung Meletus dan Tsunami
Belum juga sepenuhnya sadar dari guncangan yang menghebohkan pagi itu, warga pun dihebohkan dengan isu yang belum jelas kebenarannya. Warga semakin kalut dan berlarian tak tentu arah hingga menimbulkan kemacetan di jalanan. Tak lama usai guncangan, merebak isu gunung meletus dan .
Warga wilayah atas (Sleman bagian atas sekitar Kaliurang) mendengar kabar bahwa Gunung Merapi akan meletus. Sementara warga di bawah yakni wilayah pesisir hingga Kota Yogyakarta malah mendengar isu tsunami yang kabarnya sudah mencapai wilayah Plengkung Gading saat itu. Warga panik, di tengah kepanikan mereka tak berpikir apakah kabar tersebut hoaks atau bukan. Intinya mereka mencari selamat dan berlarian tak tentu.
ADVERTISEMENT
"Begitulah, isu tsunami dan Merapi meletus. Jalan-jalan jadi crowded karena warga cari selamat. Saya dan keluarga waktu itu juga sudah siap pakai motor tapi mengingat ibu mertua sepuh sendirian sehingga kami putuskan untuk tetap nggak pergi, sebab istri pingin nemani ibunya. Dari situlah saya disadarkan, kemudian telpon kepada kakak yang sedang berlibur di desa wilayah Bantul. Saya tanyakan soal tsunami, beliau jawab kalau sudah siap-siap ma panjat pohon kelapa bila terjadi. Nah padahal isunya sudah sampai Gading," tutur Tedy, warga asli Jogja itu.
Lain cerita, Angel warga Sleman atas tepatnya daerah Kaliurang justru menuju ke bawah. Ia tak begitu ingat apakah mereka pergi dari rumah karena isu gunung meletus atau bukan. Hari itu dia tidak tidur di rumahnya.
ADVERTISEMENT
"Waktu itu cuma tidur di rumah mbah. Tidurnya di luar. Bikin terpal buat nutupi atas. Kata mama gitu," tadasnya.
Bangunan Rata dengan Tanah dan Ribuan Nyawa Melayang
Jogja lumpuh di hari itu. Saat itu juga tim evakuasi dan relawan mulai diterjunkan, melakukan misi penyelamatan. Bantuan darurat pun berdatangan dan disalurkan kepada warga. Hari itu sebagian warga ada yang tinggal di barak pengungsian ada pula yang memilih bertahan di halaman rumah maupun jalan dekat rumah mereka.
Insting Tedy sebagai salah satu pekerja media massa saat itu langaung mengabadikan beberapa potret keadaan sekitarnya. Di wilayah Kota Jogja sendiri, dia menyebut asrama polisi di daerah Suryoputran roboh.
"Insting sebagai pekerja media ada gempa dan dengar kald bangunan joglo asrama polisi Suryoputran roboh, saya sempat memotret dan waktu itu bagi saya cukup menghebohkan saat lihat bangunan roboh itu. Nah, perasaan semakin miris kala adik ipar yang berada di perumahan datang dan minta tolong untuk ngunci rumahnya, dalam perjalanan melalui jalan Brigjen Katamso, jalan Pawirotaman jumpai rumah-rumah roboh. Dan selalu ketemu dengan ambulan yang meraung-raung menuju rumah sakit," kenangnya.
ADVERTISEMENT
"Kerusakan di kota Yogyakarta terparah adalah di kampung-kampung yang masuk garis cesar (Kali Code/ Gajah Uwong). Kecamatan Umbulharjo yang terparah dan banyak korban," papar Tedy.
Hari itu tidak ada warga yang berani masuk ke dalam rumah. Semuanya dilanda ketakutan dan trauma. Apa lagi gempa-gempa kecil melanda tentunya membawa perasaan was-was kalau kejadian serupa terulang.
"Tambah listrik padam karena jaringan rusak. Gempa susulan sering terjadi, kami pun beberapa hari tidur di luar/teras rumah. Untuk (warga) kota Jogja rata-rata begitu, ada juga yang di lapangan-lapangan terbuka bagi kampung-kampung padat," ujarnya.
Mereka pun bertahan dengan kondisi seperti itu antara 3 hingga 4 hari lamanya. Hal yang serupa pun dirasakan Angel. Bersama dengan keluarga besarnya di Bantul, salah satu daerah yang cukup parah terdampak gempa dia tinggal.
ADVERTISEMENT
"Rumah (di Sleman) nggak kenapa-kenapa. Rumah mbah depannya roboh," ujarnya.
Sama seperti Angel, Celyn mengatakan bahwa di wilayah Sleman saat itu situasinya tak separah di Bantul. Di lingkungan tempat dia tinggal yakni di daerah Mlati tidak banyak ada bangunan yang rusak berat.
"Syukurlah nggak ada yang luka atau bangunannya rusak," ungkapnya.
Mengutip dari data milik Bakornas (Badan Koordinasi Nasional) per 11 Juni 2006, gempa Jogja waktu itu menyebabkan tercatat ada 4.674 nyawa melayang, 19.897 orang mengalami luka ringan maupun berat dan tak kurang 150 ribu bangunan mengalami kerusakan ringan hingga parah.
Tanggap Bencana dan Proses Pemulihan Jogja
Gerak cepat tim, relawan, hingga warga langsung berdatangan. Evakuasi dengan mengandalkan gotong royong dilakukan kala itu meski mereka tertimpa musibah. Pemerintah saat itu langsung tanggap meninjau lokasi dan menenangkan warga.
ADVERTISEMENT
"Sultan sebagai gubernur ya protokoler pejabat, meninjau tempat yang terparah (di) Bantul. Juga mengimbau untuk tetap tenang dan berdoa. Jangan terpancing isu-isu yang menyesatkan," katanya.
Bahkan presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono sempat di Gedung Agung, Yogyakarta sembari meninjau lokasi dan juga memberikan bantuan kepada warga terdampak gempa Jogja.
"Presiden SBY pun mutuskan berkantor di Gedung Agung, Malioboro. Semua unsur petugas dan masyarakat gotong royong bahu membahu, baik evakuasi korban dan penguburan jenazah," ujarnya.
Tedy menilai proses Jogja dari sejak tertimpa bencana hingga menuju kepada tahapan recovery terbilang cepat. Menurutnya hal itu disebabkan karena rasa gotong royong sehingga evakuasi pemulihan juga cepat.
"Karena kegotong royongan sepertinya cukup cepat bangkitnya, tentunya juga adanya bantuan dari luar negeri yang cukup besar," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Belajar dari Gempa Jogja
Dari peristiwa itu banyak hal yang bisa dipetik untuk menjadi pelajaran bersama. Diantaranya terkait mitigasi bencana hingga kontruksi bangunan yang di era ini diharapkan memperhatikan unsur ketahanan terhadap bencana.
"Trauma nggak sih. Takut iya. Kala aku memilih pasrah dan berdamai dengan bencana," ujar Celyn.
"Buatku manusia itu nggak ada apa-apanya dengan alam. Sebagai manusia mesti tahu diri kita tidak bisa hidup tanpa alam. Juga selalu waspada dan mawas diri," sambungnya.
Sementara itu, Tedy menganggap bencana tersebut ada hikmahnya dan juga menjadi berkah bagi warga.
"Setiap musibah Tuhan, tentu ada hikmah dan berkah. Saya percaya itu. Hikmah jadi tahu konstruksi rumah yang tahan gempa itu seperti apa. Bukti berkah, ada kawan yang tadinya nggak punya rumah setelah gempa jadi punya rumah karena ikut program recovery," ungkap Tedy.
ADVERTISEMENT
"Kalo bagi saya, sebenarnya leluhur telah mewariskan soal tanggap becana (gempa). Yaitu, dari arsitektur bangunan rumah-rumah tradisional, berbahan kayu yang terkait satu dengan lainnya sehingga bisa ikuti goyangan gempa. Jadi setiap bangun bikin rumah konstruksi harus benar-benar diperhatikan terkait gempa. Karena kita hidup di daerah cincin api/ gunung berapi yang rawan terhadap gempa," pungkasnya.