Konten Media Partner

Kisah Berani Seorang Brigadir di Pekalongan Tilang Sri Sultan HB IX

19 Desember 2019 11:45 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi seorang polisi melakukan penilangan. Foto: Kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang polisi melakukan penilangan. Foto: Kumparan.
ADVERTISEMENT
Setiap hari ada saja pelanggaran lalu lintas yang terjadi di jalan raya. Entah karena menerobos lampu pengatur lalu lintas, tak membawa surat kelengkapan berkendara, dan masih banyak lagi. Pelanggarnya pun bermacam-macam mulai dari masyarakat biasa hingga pejabat, bahkan tak terkecuali Sultan Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Sebuah cerita tentang ditilangnya Sultan Hamengku Buwono IX menjadi perbincangan di Instagram. Sebetulnya kisah ini merupakan kisah lama yang ditulis oleh seseorang bernama Aryadi Noersaid dengan judul 'Ketika Sri Sultan HB IX Terkena Tilang'.
Kejadian terjadi tepatnya ditahun 1969 pagi. Saat itu sebuah mobil sedan buatan tahun 50 melintasi perempatan Soko, Pekalongan. Sultan saat itu tengah dalam perjalanan menuju ke Tegal. Rupanya Raja Jogja itu melakukan pelanggaran lalu lintas dan lantas dihampiri oleh Polantas. Polisi tersebut bernama Royadin dengan pangkat Brigadir.
Menurut cerita, yang dibuat di akun JogjaIg, Sultan melakukan pelanggaran dengan melawan arus. Sementara ada sumber lain yakni dari penuturan anak ketiga Royadin, Sultan melanggar lampu lalu lintas.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari pelanggaran apa yang dilakukan Sultan Hamengku Buwono IX saat itu, Royadin lantas mendatangi pemilik mobil yang awalnya tak ia ketahui siapa pengemudinya.
Tak Menggunakan Kekuasaan untuk Kabur dari Pelanggaran Lalu Lintas
Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Foto: Wikipedia.
"Selamat pagi. Bisa lihat rebuweesnya (saat ini bernama SIM)?" tanya Brigadir Royadin. Pengemudi lantas membuka kaca mobilnya.
"Ada apa pak polisi?" ucap Ngarso Dalem tenang.
Mengetahui siapa yang ada di balik kemudi, Royadin gemetar. Adalah hal lumrah mengingat status Sultan sebagai orang pemegang kuasa tertinggi di Yogyakarta. Namun, Royadin tetap berusaha menjalankan tugasnya yakni menegakkan keadilan dimana setiap pelanggar tentunya harus ditindak.
Berbeda sengan kondisi zaman sekarang yang ketika kebanyakan orang ditilang, mereka lantas ngamuk di jalan. Bahkan tak jarang jika yang tertangkap adalah kalangan pejabat atau orang penting, mereka akan menekan polisi dengan kekuasaannya. Seperti pada kasus yang dulu sempat ramai ditahun 2017 dimana seorang pejabat di Kota Palu, Sulawesi Tengah ngamuk saat ditilang. Bahkan ia menanyakan pangkat polisi yang menilangnya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi kondisinya berbeda di tahun 1960. Sultan begitu disegani oleh warga sebagai raja dan juga pemimpin daerah. Hal membuat heran Royadin saat itu adalah Sultan sama sekali tak melakukan perlawanan. Sultan pun tak ngamuk-ngamuk seperti yang dilakukan pejabat atau pelanggar lalu lintas zaman sekarang. Bahkan tak menggunakan kekuasaannya untuk menekan polisi dengan pangkat Brigadir itu.
Seorang ibu sedang marah-marah pada polisi lantaran ditilang. Foto: Kumparan
Brigadir Royadin yang saat itu ingin mengajak Sultan melihat papan Verboden ditolak. Sultan malah mengakui bahwa ia melakukan kesalahan.
"Ndak usah, saya pasti salah, sampean (anda( yang benar. Lalu bagaimana?" tanya Sultan kepada Brigadir Royadin.
Royadin lantas melakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku sesuai dengan tugasnya sebagai penegak hukum.
"Maaf Sinuwun saya tilang" pungkas Royadin.
ADVERTISEMENT
"Baik Brigadir, kamu buatkan surat itu, nanti saya ikuti aturannya, saya harus segera ke Tegal" jawab Sultan.
Seorang polisi sedang menuliskan surat tilang untuk pengendara. Foto: Kumparan.
Surat tilang pun dibuat dan Sultan lantas melanjutkan perjalanan ke Tegal. Royadin pun membawa rebuwees untuk diserahkan ke markas kepolisian Pekalongan. Aksi berani Royadin lantas menjadi perbincangan di apel keesokan harinya.
Royadin lantas dipanggil oleh Komisaris Polisi dan mendapat amukan. Atasannya berpendapat bahwa harusnya Royadin tak sekaku itu menerapkan peraturan, mengingat yang ditilangnya adalah orang dengan kekuasaan tertinggi di Jogja. Ditakutkan kasusnya akan semakin rumit apa lagi jika kasus sampai ke telinga Menteri Kepolisian Negara saat itu.
"Royadin!!! Apa apaan ini? Kamu tau siapa Beliau? Apa kamu tidak berfikir siapa beliau? Siapa?? Ngawur kamu! Sembrono! Berita Ini bisa sampai ke Menteri Kepolisian Negara tahu??" kata Komisaris Polisi yang sambil memaki Royadin.
ADVERTISEMENT
Royadin jadi bahan olok teman kerjanya. Bahkan ada yang mengejek bahwa bisa saja Royadin bakal dihukum hingga dimutasi ke pinggiran Pekalongan. Royadin hanya bisa pasrah. Polisi dengan pangkat brigadir bisa kalah dengan orang yang jauh lebih tinggi kekuasaan darinya.
Beberapa hari selanjutnya, surat dari Sultan sampai ke markas polisi Pekalongan. Brigadir Royadin dipanggil Komisaris di kantornya. Ia telah siap dengan apapun keputusan yang ada dalam surat.
"Ini ada surat, kamu besok pindah saja sekeluarga" kata Komisaris Polisi.
"Kenapa harus sekeluarga pak? Saya masih sanggup mengayuh sepeda kalau dipindah ke pinggiran kota. Saya mau dipindah kemana pak?" tanya Brigadir Royadin kebingungan.
"Apa kamu mau mengayuh sepeda dari Jogja Pekalongan pulang pergi?" tanya Komisaris.
ADVERTISEMENT
Rupanya isi surat dari Sultan menginginkan agar Brigadir Royadin dipindah tugaskan ke Yogyakarta. Sultan juga memberi mandat agar pangkat Royadin dinaikkan satu tingkat atas aksinya menegakkan hukum dengan tegas.
"Mohon dipindahkan Brigadir Royadin ke Jogjakarta sebagai polisi yang tegas, saya selaku Pemimpin Jogjakarta akan menempatkan Brigadir Royadin bersama keluarga di wilayah Jogjakarta dan saya meminta kepada pihak kepolisian untuk menaikan pangkatnya satu tingkat," isi surat yang ditandatangani oleh Sri Sultan HB IX.
Royadin pun menimbang-nimbang tawaran tersebut. Akhirnya ia pun memilih untuk tetap bekerja di tempatnya dan Sultan menghargai keputusan Royadin.