Kisah Kakek Penjual Soto di Jogja, Usia 93 Tahun Masih Kuat Dorong Gerobak

Konten Media Partner
22 November 2020 19:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mbah Narkan (93) saat membersihkan gerobak soto di rumahnya, Minggu (22/11/2020). Foto: Gabryella Triwati Sianturi/Tugu Jogja.
zoom-in-whitePerbesar
Mbah Narkan (93) saat membersihkan gerobak soto di rumahnya, Minggu (22/11/2020). Foto: Gabryella Triwati Sianturi/Tugu Jogja.
ADVERTISEMENT
Suara kucuran air di gang sempit Kampung Jagalan, Ledoksari, Yogyakarta, mengisi suasana pagi itu. Di sana, tampak seorang Kakek sedang sibuk membersihkan gerobak dorongnya usai berjualan soto setiap hari.
ADVERTISEMENT
Kakek yang biasa disapa Mbah Narkan (93) tersebut adalah seorang penjual soto di sudut Jalan Mayor Suryatomo, Gondomanan, Yogyakarta. Meski usianya hampir menyentuh seabad, semangat Mbah Narkan masih tampak membara dari kedua sorot matanya.
Setiap hari, ia mendorong sendiri gerobak soto dari rumahnya yang berada di Kampung Jagalan Ledoksari menuju Jalan Mayor Suryatomo tempatnya berjualan. Namun hari ini, Mbah Narkan yang sudah berjualan soto lebih dari 43 tahun itu, tak berjualan lantaran kelelahan.
“Hari ini saya libur jualan, soalnya badan lagi capek. Tapi biasa jualan setiap hari, soalnya saya ini kan Kakek sehat, ngga ada sakit apa-apa,” ujar Mbah Narkan sedikit tertawa, saat diwawancara pada Minggu (22/11/2020).
Mbah Narkan (93), kakek penjual soto, yang tersenyum saat diwawancarai di rumahnya, Minggu (22/11/2020). Foto: Gabryella Triwati Sianturi/Tugu Jogja.
Tak hanya mendorong gerobak dan berjualan, tangan tua Mbah Narkan juga memasak soto dagangannya seorang diri. Purwanti (43), anak perempuan Mbah Narkan, hanya membantu untuk membeli bahan-bahan soto. Purwanti bercerita bahwa Bapaknya tersebut enggan untuk dibantu karena tak ingin cita rasa soto aslinya hilang.
ADVERTISEMENT
“Buat siapin soto itu biasanya saya berdua dengan Bapak, saya yang belanja bahan-bahannya terus bapak yang masak dan jualan. Dia ngga mau diganggu masak karena takut cita rasanya hilang. Bapak juga dorong gerobaknya sendiri,” ujar Purwanti.
Berjualan sedari pukul 09.00 - 16.00 WIB, semangkuk soto komplet dijual seharga Rp 7.000. Dipadu dengan kuah bening soto, Mbah Narkan mengisinya dengan suwiran daging ayam, nasi hangat dan sayur pelengkap. Selama berjualan, Mbah Narkan mengaku tidak pernah pula menghitung pendapatannya.
Informasi selengkapnya klik di sini.
“Saya ngga pernah hitung dapat berapa setiap hari, pokoknya sedapatnya aja,” ujar Mbah Narkan.
adv
Purwanti pun bercerita bahwa tujuan Mbah Narkan untuk terus berjualan bukanlah persoalan finansial. Keluarga sudah berulang kali melarangnya untuk berjualan, namun tubuh renta Mbah Narkan seolah menolak karena semangatnya yang terus membara.
ADVERTISEMENT
“Bapak dan saya itu ngga pernah hitung pendapatan berapa, yang penting mampu buat bayar kebutuhan Bapak dan dia kasih ke cucu-cucunya. Itu kesenangan tersendiri buat Bapak. Tapi kita juga sudah suruh ngga usah jualan, tapi Bapak ngga pernah mau. Dia selalu bilang, aku ki pengen sibuk wae, neng omah meh opo?,” ujar Purwanti.
Walau tak menghitung hasil pendapatan sehari-hari, Purwanti mengatakan bahwa tampak jelas pejualan soto berkurang saat masa pandemi corona. Hal tersebut karena Mbah Narkan kerap membawa pulang soto yang belum habis, dan beberapa kali membagikannya pada anak-anak jalanan.
“Kalau dari sebelum pandemi corona dan waktu pandemi corona ini kelihatan sih penjualan Bapak berkurang. Biasanya kalau sepi banget nanti dibagi-bagi sama Bapak ke anak-anak di pinggir jalan. Kalau ngga ya dibawa pulang, terus sotonya kita makan bareng-bareng di rumah,” ujar Purwanti.
Kondisi dapur Mbah Narkan (93), yang digunakan untuk memasak soto, Minggu (22/11/2020). Foto: Gabryella Triwati Sianturi/Tugu Jogja.
Semangat dan kemandirian Mbah Narkan seolah tak berhenti di situ, ia juga tinggal seorang diri di rumahnya. Sejak istrinya meninggal 5 tahun lalu, Mbah Narkan semakin terbiasa melakukan banyak hal seorang diri.
ADVERTISEMENT
“Bapak tinggal sendirian di rumahnya, saya kadang nengok ke rumah Bapak semisal ada yang dia perluin. Kalau untuk makan sehari-hari baru Bapak itu datang ke rumah saya di belakang. Soalnya ibu sudah meninggal 5 tahun lalu karena sudah tua dan pikun,” ujar Purwanti.
Sebelum istri Mbah Narkan meninggal, Purwanti bercerita bahwa Bapaknya tersebut berjualan lebih keras lagi. Namun kini, berjuan soto bagi Mbah Narkan hanyalah sebagai pengisi aktivitas sehari-hari.
Mbah Narkan, saat berjualan soto di Jalan Mayor Suryatomo, Kota Yogyakarta. Foto: Twitter/@teziaazhr.
“Ibu itu sudah meninggal 5 tahun lalu, karena sudah tua dan pikun. Dulu Bapak itu biasa jualan sama Ibu, hanya sekarang jadi sendiri. Jadi sejak itu, Bapak jualan hanya 3-5 kg nasi, tapi dulu waktu sama Ibu itu bisa 10-15 kg bahkan sampe dua kali masak nasi buat pagi dan siang. Semenjak Ibu nggak ada, Bapak jualan ya hanya buat hiburan aja,” ujar Purwanti.
ADVERTISEMENT
Setelah berpindah-pindah lapak dari Kota Magelang dan Pasar Beringharjo, di Jalan Mayor Suryatomo lah Mbah Narkan menghabiskan banyak waktunya untuk berjualan. Di jalan itu pula pada tahun 1989, Mbah Narkan mengalami kecelakaan hingga membuatnya masuk rumah sakit.
“Kalau kecapekan dan kehujanan, Bapak biasanya berhenti sebentar. Tapi dulu pernah waktu saya SMP tahun 1989, Bapak keserempet motor di Jalan Mayor Suryatomo itu. Waktu ada yang beli dan Bapak mau bungkusin, dia keserempet motor yang lewat. Bapak sampai masuk rumah sakit dan ngga jualan setahun soalnya kakinya harus dipasang pen,” ujar Purwanti.
Namun, kecelakaan itu tak menghentikan kegigihan Mbah Narkan untuk terus berjualan. Terbukti sepanjang puluhan tahun, tubuhnya yang renta menolak untuk berdiam diri di masa tuanya. (Gabryella Triwati Sianturi)
ADVERTISEMENT