Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.0
Konten Media Partner
Kisah Mbah Wahidi, Kakek Penjual Burger yang Sempat Viral di Yogyakarta
12 Oktober 2020 13:34 WIB

ADVERTISEMENT
Di tengah gerai-gerai waralaba asing yang kian hari semakin ramai, Yogyakarta mulai digerus oleh modernisasi dalam urusan kulinernya. Salah satunya yaitu eksistensi dari sepotong jajanan burger kampung, yang kini sudah mulai sulit untuk ditemukan.
ADVERTISEMENT
Orang-orang berpenghasilan rata-rata di Yogyakarta terpaksa harus memasuki gerai-gerai waralaba asing demi sepotong burger berlapis daging. Harganya yang jauh lebih mahal dibanding sepotong burger kampung tak sesekali membuat diri harus menahan selera.
Padahal, burger yang tak kalah enak untuk disantap masih bisa ditemukan di sekitar Jalan Kaliurang. Di tengah derasnya arus modernisasi tadi, Mbah Wahidi (78) menyajikan burger kampung yang sudah dijajakkannya sejak 16 tahun silam. Orang-orang biasa mengenalnya dengan Burger Dinar Mbah Wahidi.
Dengan mengayuh sepeda gerobaknya, Kakek yang sudah berusia senja itu masih tampak energik seperti usia belasan. Kulit wajah tuanya pun seakan menghilang ketika melempar senyum kepada para pembeli yang menghampirinya.
Walau gerakannya sedikit lambat, tangan Mbah Wahidi mulai mengeluarkan roti, tomat, telur, selada dan irisan daging dari kotak penyimpanan bahan-bahan burger dagangannya. Mbah Wahidi pun mulai mengiris serta beraksi di atas wajan hingga mengepulkan aroma sedap di sepanjang Jalan Kaliurang sore itu.
ADVERTISEMENT
Burger sederhana yang dijualnya dengan harga Rp 8000 tersebut telah menjadi pusat penghidupan sejak tahun 2004. Tetapi dengan kegigihannya dalam mencari nafkah, Mbah Wahidi berhasil membuka gerai burgernya di sebuah ruko di Jalan Kaliurang.
“Saya juga ada ruko buat jualan burger di Jalan Kaliurang. Udah enam tahun saya buka di sana. Di sana juga ada delapan menu, yang jual karyawan. Kalau saya tetap mau jualan pakai gerobak, lagian kan ngga apa-apa juga to,” ujar Mbah Wahidi, Minggu (11/10/2020).
Setiap hari Senin hingga Sabtu pukul 08.00 WIB, Mbah Wahidi akan mengayuh sepeda dari tempat tinggalnya yang berada di Jalan Kaliurang KM 12. Ia akan berhenti di depan sebuah minimarket di Jalan Kaliurang KM 5 dan menunggu para pelanggannya berdatangan.
ADVERTISEMENT
“Biasanya yang beli itu mahasiswa. Anak-anak (mahasiswa) itu senang jajan. Tapi sekarang sepi, karena (pandemi) corona mereka jadi pulang kampung,” ujar Mbah Wahidi.
Sejak pandemi corona melanda, Mbah Wahidi mengaku dagangannya memang mulai sepi pembeli. Hasil dari dagangan gerobaknya biasanya hanya laku 20 potong burger setiap hari.
Tetapi hal itu tak membuat Mbah Wahidi sedih berlarut, karena ketika dalam perjalanan pulang masih ada pelanggan yang memanggilnya. Biasanya ia kan menghentikan kayuhan sepedanya dan menepi ke pinggir jalan.
Selain itu, Mbah Wahidi juga mengaku pernah mengalami masa-masa sulit sebelumnya. Pada tahun 2012, kemunculan gerai-gerai waralaba di Jogja telah membuat Mbah Wahidi sedikit terpuruk.
“Tahun 2012 itu makin banyak jualan-jualan burger, jadinya orang-orang lebih suka beli itu. Jarang ada yang beli burger saya, padahal burger saya enak, gorengnya dari dulu sampai sekarang selalu pakai blueband, merek bagus ini” ujar Mbah Wahidi sedikit tertawa, tampak menghibur diri.
ADVERTISEMENT
Mbah Wahidi juga bercerita bahwa setiap harinya semua bahan dagangan ia siapkan seorang diri. Ia lebih merasa senang menyiapkannya seorang diri karena tak mau merepotkan orang lain.
“Saya punya istri, tapi dia jualan pernak-pernik di Sleman. Lagian, saya juga lebih senang siap-siapin dan jualan sendiri, ngga mau merepotkan orang,” ujar Mbah Wahidi.
Hal itu pun tampak terbukti ketika ia tengah memasak burger dan gas yang digunakan tiba-tiba habis sehingga api kompor redup. Dengan cekatan, Mbah Wahidi langsung mendorong gerobaknya dan berkeliling mencari pedagang gas.
Tubuhnya yang renta masih sanggup untuk mengangkat gas seberat 3 kg dan memasangnya seorang diri. Mbah Wahidi menolak untuk dibantu para pembelinya karena ia tak ingin merepotkan orang lain.
ADVERTISEMENT
Kegigihan dan ketulusan hati Mbah Wahidi seakan memperlihatkan bahwa usaha kecil juga bisa mendatangkan hasil yang baik. Walau di tengah ketimpangan yang ada, keinginan untuk melangkah tetaplah menjadi salah satu pengusahaan.
“Kita itu harus melangkah sekecil apapun. Karena kalau ngga melangkah sama sekali kan ngga bakal maju. Kalau punya usaha kecil tapi ngga mau melangkah ya gimana maju dan suksesnya,” ujar Mbah Wahidi. (Gabryella Triwati Sianturi)