Kisah Misteri | Telinga

Konten Media Partner
19 April 2019 11:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi telinga. Foto: freepik.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi telinga. Foto: freepik.
ADVERTISEMENT
“Barangnya ditaruh di situ aja pak.” Aku menunjuk ke arah space kosong.
ADVERTISEMENT
Setelah dua bapak itu meletakkan dua dus agak besar, kami turun lagi. Ada beberapa dus lagi yang harus diangkut dari mobil pick up di bawah ke lantai 4 apartemen. Setidaknya sampai tiga kali bolak-balik sampai semua barang berhasil diangkut ke atas.
Aku baru saja pindah ke Jogja. Ke apartemen milik saudaraku yang cukup lama tidak ditempati.
Tadinya aku bingung mau tinggal dimana. Untungnya waktu itu aku sempat cerita kalau aku dipindah tugaskan di Jogja.
Saudaraku akhirnya menawarkan untuk menempati apartemennya yang terletak di daerah Seturan.
Aku sangat terbantu.
Untungnya apartemennya tidak benar-benar kosong seperti dalam bayanganku. Sudah ada ranjang, lemari penyimpanan, kitchen set yang lumayan lengkap, TV.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya bawaanku tidak terlalu banyak. Aku hanya membawa hal-hal penting saja. Hanya pakaian, dus yang isinya baju, lalu dus isinya beberapa peralatan.
Tidak banyak.
Walaupun tidak banyak, tetap saja aku harus membutuhkan waktu cukup lama untuk bersih-bersih karena tempat ini cukup lama tidak ditempati.
“Waktunya beres-beres”
Aku berusaha menyemangati diri untuk membereskan dus yang diletakkan sembarang oleh bapak yang membantu membongkar barang tadi.
Aku memasukkan baju-baju ke dalam lemari. Selesai lebih cepat.
Lalu berikutnya, oh iya, menyapu dan mengelap debu yang menempel di furniture. Inilah pekerjaan yang memakan waktu paling lama. Mulai dari mengelap meja kerja, meja hias, lalu kitchen set. Harus bersih dulu.
ADVERTISEMENT
Aku alergi debu dan kalau harus tinggal dengan sesuatu yang dinamakan debu ini, pasti sudah bersin-bersin tidak karuan.
Pukul 5, semuanya baru selesai dibereskan.
Aku membaringkan tubuhku ke ranjang yang sudah dilapisi seprai bersih.
Lumayan pegal juga beres-beres. Aku memandangi langit-langit. Setengah tidak percaya kalau aku pindah ke kota ini. Biasanya aku hanya ke Jogja ketika liburan. Itu pun hanya mengunjungi tempat wisata.
Tujuannya hanya main. Lalu sekarang aku akan bekerja dalam waktu yang lama.
‘Harusnya kamu akan mudah beradaptasi di sini Dion,’ batinku.
Kupejamkan waktu sebentar. Menunggu jam 6 untuk keluar mencari makan malam dan membeli stok makanan. Dan waktu berlalu.
Aku membuka mata. Tidurku nyenyak sekali. Aku menoleh ke arah jendela dan mendapati langitnya sudah gelap total.
ADVERTISEMENT
Mungkin ini jam 7 malam. Kuambil ponsel yang tak jauh dariku untuk mnegecek kebenaran dugaanku. Ternyata jam 8 malam. Sudah hampir malam dan aku harus segera turun dan cari makan malam. Untungnya lokasi apartemenku tidak jauh dari minimarket dan tempat makan.
Kata google map, minimarket terdekat hanya 5 menit jika jalan kaki. Jalan kaki saja deh. Belum begitu malam. Lagi pula tempat ini aman jika berjalan di malam hari.
Padahal sudah jam 8 daan jalan masih cukup ramai. Kupikir Jogja akan sepi sekali jika sudah malam.
Kebetulan apartemenku dekat dengan salah satu kampus swasta di Jogja. Jadi mungkin saja jalanan ini ramai oleh mahasiswa yang kebetulan kostnya dekat sini.
ADVERTISEMENT
Aku menuju ke tempat bertuliskan burjo. Tempat ini banyak ditemui kalau ada di Jogja.
Selain angkringan, tempat ini menjamur sekali di daerah dekat kampus. Harga yang relatif murah untuk kantong anak kuliahan. Nasi sayur cukup untuk mengganjal perut laparku.
Pulangnya aku mampir mini market membeli camilan dan minuman apa saja. Ketika menjejakkan kaki ke lobi apartemen, rupanya sudah jam setengah 10. Lama juga ya aku pergi keluar.
Aku memasuki lift dan menekan tombol 4. Pintu lift terbuka dan kebetulaan ada seorang cewek yang sedang berjalan melewati lorong lantai 4. Rambutnya pendek sebahu, lurus dan hitam mengkilat. Tingginya kurang lebih 152. Dia berhenti di depan salah satu pintu yang tidak jauh dari pintu kamar apartemenku.
ADVERTISEMENT
“Baru pindah?” Suara cewek itu bertanya.
Aku menoleh mencari tahu apakah orang yang diajak bicara itu memang aku.
“Kamu baru pindah?” dia bertanya lagi.
“Iya. Baru hari ini masuk” Aku menjawabnya.
Kalau dilihat-lihat, cewek ini manis juga. Dengan poni depannya dan rambut lurus sebahu yang membingkai wajah chubby nya.
Dia mendekat ke arahku dan mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku.
“Niken. Aku dari kamar yang sebelah situ” dia melirik ke pintu yang letaknya bersebrangan tak jauh dari kamarku.
Kubalas jabatannya, “Dion.”
“Salam kenal. Silihakan lanjutkan kegiatanmu.”
Dia berkata seraya pergi.
Aku memandangi cewek itu. Mimpi apa aku semalam. Tiba-tiba diajak kenalan cewek manis. Aku mati gaya, aku bukan tipe cowok yang gampang didekati cewek. Malah lucunya aku jadi pendiam sekali kalau didekati seorang cewek. Tapi entahlah cewek yang namanya Niken tadi unik kelihatannya.
ADVERTISEMENT
Aku masuk kamar dan melanjutkan tidurku. Besok pagi aku harus pergi ke pusat barang rumah tangga untuk melengkapi peralatan yang belum ada.
###
Baru saja aku membuka pintu, cewek yang semalam tadi tiba-tiba lewat. Dia mau pergi juga tampaknya.
“Eh Dion” Dia menyapa.
“Hai” Aku tersenyum menyapa balik cewek itu. Di lift kebetulan hanya ada kami berdua.
“Mau kemana?” Dia bertanya. Cewek ini ramah ya.
“Mau beli beberapa barang. Kamu?” Aku balik bertanya. Mencoba ramah.
“Mau berangkat kuliah. Kamu pindah ke Jogja dalam rangka apa nih?”
“Pindah tugas kerja” Jawabanku singkat-singkat sekali. Aku kaku banget ketika ngobrol sama cewek.
“Oh gitu ya. Eh aku duluan” dia langsung melangkah mendahuluiku pergi keluar.
ADVERTISEMENT
Aku nggak begitu ambil pusing dengan kehadiran cewek itu. Ya aku berusaha ramah saja karena dia tetanggaku.
Karena kami tetangga, kami jadi sering berpapasan. Dia selalu saja mengajak aku ngobrol mulai dari tanya kegiatanku, tanya mau pergi kemana, pokoknya dia suka sekali bertanya. Dia mungkin mencoba akrab denganku. Aku jarang sekali papasan dengan tetangga apartemen lain. Anehnya aku hanya sering berpapasan dengan Niken. Bisa dihitung dalam seminggu setidaknya sepuluh kali aku akan papasan dengan dia.
Suatu ketika aku pulang dari kerja dan dia di depan pintunya merogoh-rogoh tasnya dengan tangan sebelahnya penuh bawaan.
Aku yang melihatnya menghampirinya dan mengambil barang-barang di tangannya.
“Eh” dia menoleh kaget.
ADVERTISEMENT
“Aku bantu bawa dulu.” Aku membawa kertasnya dan tas laptopnya.
“Nah ketemu.” Rupanya dari tadi dia mencari kartunya.
Dia baru akan menyahut lagi barangnya yang kubawa tapi aku tetap memegangnya.
“Biar aku bantu bawa.” Aku mengekorinya masuk ke kamar apartemennya. Rapi sekali. Sentuhan monokrom melekat kuat di setiap sisi kamarnya. Dia seakan bisa membaca kekagumanku.
“Aku menyulap kamar ini sendiri. Barang-barang yang kubeli ya disesuaikan sama temanya.” Dia meletakkan tasnya di atas meja belajarnya.
“Duduk dulu. Mau teh?” dia menawarkan.
Aku hanya mengangguk dan dia langsung membuat teh. Dia mengajak mengobrol terus. Lebih tepatnya aku yang mendengarkan ceritanya.
Hari-hari berikutnya, dia jadi sering mengajakku ke kamarnya terutama setiap weekend. Dia pamer bahwa dia bisa masak dan sering mengundangku untuk mencicipi masakannya.
ADVERTISEMENT
Setelah makan biasanya dia akan mengobrol lama sekali. Lagi-lagi aku yang kebanyakan mendengarkan cerita tentang dia. Dia merasa senang karena punya pendengar. Katanya, aku adalah tipe pendengar yang baik. Sebetulnya jauh di dalam lubuk hati, aku juga ingin bisa mengobrol atau cerita selepas Niken menceritakan semua kisahnya padaku. Aku lebih banyak menyimpan semua percakapan di benakku.
Semakin sering aku bersama dia, semakin sering aku menatap matanya, aku jadi mulai merasakan sesuatu yang berbeda.
Mungkin bisa dibilang perasaan suka. Cewek semanis Niken, aku yakin bukan hanya satu atau dua orang yang suka. Mungkin banyak.
Ajakan-ajakan berikutnya untuk datang menjadi hal yang sudah biasa. Aku tidak pernah bisa menolak ajakannya. Walaupun itu hanya untuk mendengarkan curhatannya yang tidak ada habisnya.
ADVERTISEMENT
Aku begitu kaku. Seorang cowok kaku yang ketika bicara dengan seorang cewek pertanyaannya hanya itu-itu saja. Rasanya ada banyak hal yang ingin aku cerikan, yang ingin aku ungkapkan tapi tertahan di tenggorokan.
Hingga hari Sabtu di minggu pertama bulan April, aku meyakinkan diriku untuk mengungkapkan perasaan. Aku belum pernah merasa begitu yakin untuk mengatakan hal yang selama ini tertahan dibenakku. Saat itu Niken lagi cerita soal tugasnya yang nggak habis-habis. Aku cuma menatap dia tanpa henti.
“Kenapa?”
Aku gelagapan.
“Kenapa dari tadi lihatin aku kayak gitu?”
Aku diam sebentar. Masih berpikir. Meyakinkan diriku untuk mengungkapkannya.
“Niken. Saya….” Aku begitu gugup untuk melanjutkan kalimatku. Entah kenapa aku jadi mengetuk-ngetuk kakiku.
ADVERTISEMENT
Dia menatapku. Menunggu aku melanjutkan kata-kata. Aku seperti ditodong senjata di depan wajah rasanya.
“Niken. Saya suka sama kamu. Saya suka kalau ada di dekat kamu” kalimat itu begitu cepat kuucapkan. Aku sendiri tak peduli apakah dia bisa mendengarnya dengan jelas atau tidak. Yang penting sudah kuucapkan.
“Makasih lho. Kamu juga bikin aku nyaman. Aku senang bisa punya tempat curhat” katanya. Dia tersenyum manis sekali.
Ini artinya kita jadian kan?
Hubungan kami pun berjalan seperti kebanyakan orang menjalin hubungan. Dia selalu mengajakku untuk mencoba masakan-masakan terbarunya. Dan selalu setelah itu ditutup dengan obrolan Niken. Niken yang banyak bercerita. Aku hanya menanggapi saja dengan beberapa pertanyaan. Hal ini terjadi terus menerus. Berbulan-bulan sampai akhirnya aku merasa lelah. Aku lelah mendengar ceritanya. Entahlah. Dia seperti hanya menganggapku sebagai telinga saja. Komunikasi yang hanya berlangsung satu arah. Kadang aku ingin menanyakan, apa dia tak ingin mendengar ceritaku meski hanya sekali saja?
ADVERTISEMENT
Lalu di malam minggu berikutnya, dia mengundangku lagi. Kali ini aku datang bukan dengan perasaan yang sama seperti aku menyukainya di awal dulu. Lebih tepatnya ini perasaan yang lelah aku lelah cuma jadi tempat ceritanya. Aku ini pacar atau telinga sih? Aku hanya memendam beribu kekesalan di benakku.
Dia selesai masak. Malam ini dia masak chicken stew. Aku duduk di hadapannya seperti biasa.
“Hari ini nyebelin lucu banget. Jadi si pak dosen kan mau narik screen buat LCD daan screennya itu lepas. Lucu banget lho. Anak di kelas ketawa semua. Akhirnya selamat deh dari pelajaran yang bikin ngantuk. Oh iya tau ngga……” Niken mendadak diam setelah aku membenturkan sendok dan garpu ke piring.
ADVERTISEMENT
“Aku capek dengar cerita kamu. Selama ini kamu dan kamu terus yang selalu cerita. Aku seolah-olah cuma jadi telinga buat kamu. Kayak anggota tubuhku cuma telinga. Kamu pernah anggap aku sebagai pacar nggak sih?”
Aku marah. Bangkit dari meja dan berniat keluar.
Niken meraih tanganku. Berusaha menahan agar aku tidak keluar dari kamarnya. Sayangnya aku adalah cowok dan aku dapat dengan mudah melepaskan pegangan tangan Niken. Dia tersentak dan jatuh ke lantai.
Baru saja aku menyentuh gagang pintu, aku merasakan hantaman keras tepat di leherku. Seketika itu juga rasanya berat dan semuanya jadi gelap.
Gelap sekali. Aku tidak ingat bagaimana aku tersadar dan mencoba bangun. Aku mencoba membuka mata dan rasanya sulit sekali. Tangan dan kakiku rasanya terikat begitu kuat pada sebuah kursi. Aku mencoba membuka mulutku tapi tidak bisa. Rupanya mulutku juga ditutup rapat sekali.
ADVERTISEMENT
“Sekarang kamu di sini ya. Jangan pergi.”
Suara cewek itu tetap hangat dan riang seperti biasanya. Seperti awal ketika aku pertama kali mendengar suaranya.
Perasaanku bukan lagi senang mendengarnya. Lebih tepatnya aku dipenuhi ketakutan.
“Kenapa? Kamu mau pergi dari sini” dia melihatku berusaha melepaskan ikatan tangan dan kakiku..
Aku sama sekali tidak bisa melihatnya dan tidak bisa bicara. Pokoknya aku ingin lepas. Aku harus pergi.
“Aku Cuma mau kamu jadi telingaku. Itu aja udah cukup kok. Karena aku Cuma butuh telinga, jadi maaf, mata kamu, mulut kamu, aku lem ya”. Dia berbisik tepat di telingaku.
“Jadilah telingaku selamanya. Ya?”