Makna Filosofis di Balik Weton Jawa

Konten Media Partner
24 November 2019 13:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kalender. Foto: Kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kalender. Foto: Kumparan.
ADVERTISEMENT
Jawa merupakan sebuah pulau yang kaya akan tradisi dan budaya yang masih dijaga hingga sekarang. Dalam pengertian kebudayaan tradisi termasuk dalam kebudayaan. Tradisi dapat diterjemahkan dengan pewarisan atau penerusan norma-norma, adat-istiadat, kaidah-kaidah, harta-harta. Petung weton yang berdasarkan pada penanggalan Jawa merupakan salah satu bentuk tradisi pada masyarakat Jawa. Pandangan akan petung weton merupakan khasanah yang dimiliki oleh pulau Jawa, khususnya pada tradisi petung weton yang dijadikan acuan dalam menentukan hari pernikahan.
ADVERTISEMENT
Weton adalah hari kelahiran berdasarkan hari dan pasarannya. Masih banyak masyarakat Jawa yang berkeyakinan dalam menentukan suatu tindakan harus selalu ingat terhadap hari dan pasaran pada saat itu. Hari dan pasaran itu begitu penting, sebab dapat menentukan keberuntungan di masa depan seseorang. Masyarakat sering kali memperhatikan hari itu untuk melihat ke pasar mana mereka harus berdagang atau membeli kebutuhan-kebutuhan sehari-hari.
Alvarian Utomo dalam makalahnya yang berjudul "Hidup adalah Angka: Pandangan Kosmologi Hidup Orang Jawa dalam Weton" meneliti bahwa saat hari weton diyakini berada pada hari sial, maka harus melakukan Puasa Apit atau pantang. Puasa Apit adalah puasa yang dilakukan pada hari sebelum, saat dan sesudah weton. Puasa itu bertujuan untuk memperingati hari kelahiran dan ngemong sedulur batin. Pada saat weton seseorang harus melakukan pelepasan diri dari kehidupan duniawi dengan bermeditasi.
ADVERTISEMENT
Kegiatan pernikahan merupakan kegiatan yang sakral dan penting bagi masyarakat Jawa sehingga harus mengikuti peraturan tradisi yang sudah mapan. Tradisi petung weton pada masyarakat masih diyakini sebagian besar oleh masyarakat Jawa, meskipun tidak semua masyarakat Jawa mempercayai akan petungan hari lahir dan pemilihan hari baik dalam pernikahan, akibat dari perubahan kebudayaan masyarakat.
Petung weton yang berdasarkan penanggalan Jawa merupakan pengetahuan masyarakat Jawa yang diperoleh dari para leluhurnya dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Pengetahuan akan petung weton yang dimiliki oleh masyarakat Jawa merupakan sebuah ide. Dimana ide ini merupakan salah satu wujud dari sebuah kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul "Metode-Metode Penelitian Masyarakat" menulis bahwa pada dasarnya kebudayaan itu ada tiga wujudnya yaitu yang pertama wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya, lalu wujud kebudayaan yang kedua adalah aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat selanjutnya wujud kebudayaan yang ketiga adalah benda-benda hasil karya manusia.
Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya. Deni Irfana Liana dalam skripsinya yang berjudul "Keberadaan Tradisi Petung Weton Di Masyarakat Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes" menemukan bahwa alam praktiknya tradisi petung weton memiliki rumus untuk menentukan hari pernikahan yaitu ki penganten, nyi penganten, teka, lunga, dan sanja. Selanjutnya untuk menentukan baik tidak nya hari ditentukan oleh perhitungan dalam rumus seperti sri, lungguh, dunya, lara, dan pati, setelah diketahui hari baik untuk pernikahan, maka untuk menentukan waktu pernikahan terlebih dahulu diketahui hari naas dari masing-masing calon pengantin.
ADVERTISEMENT
Dalam menentukan waktu, dan bulan pada saat ini sudah mengalami perubahan seperti semua bulan bisa untuk melakukan pernikahan. Mengingat jumlah penduduk yang semakin padat dan kebutuhan untuk melaksanakan pernikahan pada saat ini serba ada. Tradisi petung weton memiliki larangan-larangan seperti numpang wali, jeblog besan, dan tungkon.
"Ketika warga masyarakat melanggar aturan tradisi petung weton antara lain ritual ijol ambeng, ritual ora maleni, ritual mbuang tampah, ritual ora mangan sega jangan besan, dan ritual tidak boleh tinggal satu rumah dengan bapa dan ibu mertua. Hari, dan waktu untuk melaksanakan ritual ditentukan oleh pujangga atau tukang petung dan tokoh masyarakat seperti Bapak lebe, kemudian yang melaksanakan ritual-ritual ketika melanggar tradisi petung weton adalah orang tua," tulis Deni dalam skripsinya.
ADVERTISEMENT
(Ayu)