Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
KPAI Yogyakarta: Media Harus Hati-hati Beritakan Kasus Kekerasan Anak
4 April 2018 16:37 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
ADVERTISEMENT
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kota Yogyakarta menilai pemberitaan media massa kerap tak sensitif sehingga berpotensi turut memupuk benih perilaku kekerasan pada anak-anak.
ADVERTISEMENT
“Ada beberapa hal prinsipil yang perlu dijaga ketika media memberitakan kasus kekerasan yang melibatkan anak-anak,” ujar Sekretaris KPAI Kota Yogyakarta Indri Aksari di Balaikota Yogya, Rabu (4/4).
Hal prinsipil tentang anak itu mengacu pada Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) yang mana Indonesia telah ikut meratifikasinya pada tahun 1990 silam. Sehingga masyarakat, termasuk media di dalamnya, juga wajib mematuhi konvensi yang menjadi acuan menjaga hak-hak anak itu.
KPAI Yogya mencontohkan, media tak jarang terjebak dalam sikap diskriminatif ketika memberitakan kasus kekerasan anak. Misalnya, pada kasus klithih atau penganiayaan di kalangan pelajar sekolah di Yogya yang sempat marak hingga menelan korban jiwa beberapa waktu lalu.
“Media menempatkan anak yang menjadi pelaku dan anak yang menjadi korban, padahal dari perspektif Konvensi Hak Anak, anak yang menjadi pelaku sebenarnya juga merupakan korban,” ujar Indri.
ADVERTISEMENT
Dari pendampingan psikologi pada pelajar yang menjadi pelaku klithih di Yogya, KPAI mendapat temuan bahwa pelaku anak itu sudah bermasalah sejak kehidupan keluarganya yang tak ramah anak.
“Ada seorang anak (yang menjadi pelaku klitih) berusia 15 tahun, ternyata tak percaya jika orang tuanya menyayangi dia, sehingga dia pun lebih loyal pada teman-temannya dan mau diajak melakukan apa saja,” ujarnya.
Sayangnya, pemberitaan di media tentang klitih yang terjadi bukan malah mengedukasi masyarakat. Melainkan seringkali lebih menempatkan anak itu sebagai pelaku kejahatan atau lebih parahnya pemberitaan itu mengajarkan anak lain melakukan hal serupa.
“Pemberitaan tentang kekerasan anak seharusnya tak perlu detil mengungkap identitas anak dan mengungkap kronologi kekerasan yang dilakukan," ujar Indri.
ADVERTISEMENT
Indri menuturkan sekalipun pelaku, anak yang melakukan kejahatan hampir selalu menjadi korban lebih dulu kondisi keluarganya. Sehingga lahirlah UU Peradilan Anak yang merupakan turunan Konvensi Hak Anak.
Indri menuturkan definisi anak sesuai Konvensi tak lain mereka yang berusia 10 - 18 tahun. Masa ini menjadi masa krusial anak membutuhkan afeksi atau perhatian berlebih. (atx)