Konten Media Partner

Melihat Joglo Tertua di Gunungkidul dan Teknik Perawatannya

13 Oktober 2020 18:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Joglo tertua di Gunungkidul. Foto: Erfanto/Tugu Jogja.
zoom-in-whitePerbesar
Joglo tertua di Gunungkidul. Foto: Erfanto/Tugu Jogja.
ADVERTISEMENT
Joglo dikenal sebagai rumah tradisional di tanah Jawa. Bentuknya yang khas di mana di bagian tengah ada soko atau tiang-tiang penjaga. Di mana Soko tersebut menyangga bagian tengah joko yang berupa kayu-kayu ditumpang tergantung pada keinginan pembuatnya. Di mana bagian bawah Soko ada ompak atau slop untuk menghindarkan goyangan akibat gempa bumi.
ADVERTISEMENT
Salah satu rumah Joglo tertua di Gunungkidul yang telah mendapat penghargaan dari Kemendikbud dan Pariwisata tahun 2011 lalu adalah Rumah Tradisional milik Mujono Padukuhan Gebang RT 16 RW 04 Kalurahan Ngloro Kapanewonan Saptosari dianugerahi
Anak Mujono Nur Isti Khomariyah (29) menuturkan, rumah berukuran 26 x 12 meter persegi. Rumah tersebut berdiri di atas tanah 1.191 meter persegi dan menghadap ke arah selatan. Rumah tersebut terdiri dari 5 rumah dengan bentuk dan fungsi yang berbeda.
"Ini sudah turun temurun. Warisan kakek canggah saya," ujar Nur, Selasa (13/10/2020) ketika ditemui di rumahnya.
Nur menyebutkan paling belakang berbentuk limasan, rumah yang di tengah juga limasan dan bagian depan berbentuk joglo. Sementara di sisi kiri ada dua rumah berbentuk kampung yang masing-masing berfungsi untuk dapur dan tempat makan keluarga. Di depan 2 rumah kampung tersebut ada joglo yang baru didirikan.
ADVERTISEMENT
Nur menjelaskan rumah paling belakang berbentuk limasan merupakan warisan dari Mbah canggah dirinya atau mbah buyut dari ayahnya Mujono yaitu Karyo Setiko tahun 1930. Kemudian dari Karyo Setiko kepada simbahnya atau ibunya Marto Wiyono tahun 1952.
"Oleh mbah Marto Wiyono diwariskan ke Supardi Wiyono pada tahun 1980. Sehingga sudah turun menurun sebanyak 3 generasi," tambahnya.
Bangunan tersebut lantas didirikan di tanah tersebut baru tahun 1991. Saat itu, ibunya yang merupakan anak pertama dari keluarga neneknya tersebut 'disendirikan' dengan dibangunkan di Padukuhan Gebang. Saat diwariskan, rumah tersebut sudah pindah 3 kali dan semuanya di kalurahan Ngloro.
Nur mengatakan rumah paling belakang berbentuk limasan memiliki cagak atau tiyang 14 cm. Rumah limasan tersebut berukuran 18×12 meter persegi dengan tiang setinggi 3,10 meter dan sekelilingnya berdinding kayu atau sering disebut gebyok.
ADVERTISEMENT
"Di bagian belakang ini berfungsi tempat tidur ayah saya Mujono. Di dalamnya ada Gladak atau kotak berukuran 1,5 x2,5x1,25 meter yang berfungsi sebagai tempat menyimpan gabah hasil panenan," terangnya.
Rumah limasan bagian tengah merupakan warisan dari canggahnya yaitu So Setiko. Namun tahun berapa diturunkan ke kakeknya Kromo Sentono ia tidak memahami. Dan tahun 1952 kemudian diwariskan ke Wiryo Sentoro atau bapak dari Mujono, 1980 kepada Wiryo Sentono. Dan karena Mujono 'disendirikan' maka limasan tersebut didirikan Padukuhan Gebang tahun 1991.
Rumah paling depan berbentuk Joglo Tumpang 5 dan merupakan warisan yang sama dengan rumah paling belakang. Ukuran soko tiangnya adalah 15 cm dengan luas 12 x 9 meter persegi dan tinggi 3,5 meter.
ADVERTISEMENT
Pemilik rumah, Mujono mengaku sebenarnya tidak begitu sulit merawat rumah tua tersebut. Untuk membersihkan dinding kayu kuno tersebut memang membutuhkan ramuan khusus. Dan sejak turun temurun, keluarga ini memiliki ramuan berupa cengkeh dicampur dengan tembakau direndam dalam air bersama gedebog (batang) pisang.
"Merendamnya tiga hari tiga malam. Biar mengendap dulu," paparnya.
Ramuan tersebut lantas diusapkan ke dinding kayu yang sudah dipelitur tersebut. Hasilnya, selain awet dan bersih, dinding kayu yang sudah diusap rendaman tersebut menjadi semakin bersinar dan aslinya sangat tampak. Dan untuk lantai cukup disapu tiap 3 hari sekali.