Mendikbud Pangkas Administrasi Guru, Ini Sikap Pemerhati Pendidikan

Konten Media Partner
20 Januari 2020 16:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dosen UGM yang juga perintis Gerakan Sekolah Menyenangkan Muhammad Nur Rizal. Foto: atx
zoom-in-whitePerbesar
Dosen UGM yang juga perintis Gerakan Sekolah Menyenangkan Muhammad Nur Rizal. Foto: atx
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Berbagai respon kalangan pelaku dan pemerhati pendidikan pun beragam atas langkah yang direncanakan Nadiem. Ada yang mendukung, ada yang menyangsikan dan ada yang memberi masukan.
ADVERTISEMENT
“Jika program Mendikbud akan membebaskan pendidikan dari beban administrasi, kami memilih melakukan perubahan mulai dari ruang refleksi dan pikiran kritis semua anggota sekolah,” ujar pemerhati pendidikan yang juga dosen UGM Muhammad Nur Rizal di sela memberikan workshop kepada 60 guru SMP/MTs se-Kecamatan Prambanan di SMKN Prambanan, Senin (20/1/2020).
Rizal, yang selama ini dikenal sebagai pendiri dan aktivis gerakan akar rumput Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menilai bahwa kemerdekaan dalam pembelajaran tidak cukup diwujudkan dengan membebaskan beban administrasi guru.
“Namun harus menjangkau kultur dan alam pikir semua stakeholder pendidikannya,” ujarnya.
Sehingga dengan paradigma memerdekakan nalar pikir itu, diyakini akan membawa pendidikan kepada kemajuan.
“Sebab manusia pada dasarnya menginginkan kemerdekaan. Anak-anak sekolah pun ingin merdeka.Mereka butuh ruang kemerdekaan untuk belajar dan memenuhi kodratnya,” kata dia.
ADVERTISEMENT
Menurutnya, kodrat setiap manusia itu berbeda satu sama lain aluias unik. Jadi kalau anak punya minat dan bakat berbeda, seharusnya mereka mampu berkembang sesuai dengan keunikan masing-masing.
“Sayangnya, sistem pendidikan kita selama ini tidak mengakomodasi keunikan-keunikan itu. Pendidikan kita cenderung menyeragamkan dan tidak menyenangkan karena tidak memberi ruang untuk berkembang,” ujarnya.
Sayangnya, ujar Rizal, pendidikan yang diterapkan di Indonesia saat ini masih tidak menyenangkan bagi anak. Padahal, pendidikan seharusnya membina siswa – dan juga guru – untuk menjadi manusia seutuhnya.
Oleh sebab itu apa yang dilakukannya bersama gerakan non profitnya menyasar semangat perubahan seperti yang dilakukan di Kecamatan Prambanan, Sleman. Setelah 60 guru gotong royong di kecamatan itu berkomitmen menciptakan sekolahnya menyenangkan, baru konsep itu ditularkan. Sehingga guru dan kepala dari berbagai sekolah berkolaborasi untuk menciptakan kemerdekaan dalam pendidikan.
ADVERTISEMENT
“Ke depannya, kolaborasi stakeholders ini berniat untuk terus memperluas pengaruh gerakan ini ke daerah pinggiran,” ujarnya,
Menurut Rizal, paradigma sekolah menyenangkan ini sebenarnya turut menyempurnakan gagasan ‘Merdeka Belajar’ yang sempat diungkapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim.
Dalam forum itu, Rizal sendiri mengajak para guru belajar menginisiasi dan memperluas perubahan di area masing-masing. Untuk perubahan yang berkelanjutan, setiap pengajar diberi kemerdekaan untuk mengembangkan sistemnya sendiri.
Guru-guru diajak untuk menjadi independent thinker dan melakukan peer review dalam proses perubahan sehingga mampu membangun dan menjalanan sistem yang disusun secara bersama. Dalam konteks ini, guru tidak hanya diminta untuk mengajar, namun juga membangun kultur ‘Merdeka Belajar’ di sekolah dan komunitas pendidikan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
“Kami sebagai gerakan akar rumput di bidang pendidikan telah dan akan terus mengubah paradigma para stakeholder pendidikan yang merupakan peran strategis,” kata dia.
Sebab selama ini, ekosistem sekolah menyenangkan hanya didapatkan oleh segelintir orang yang memiliki privilese.
“Kami mengusahakan kualitas pendidikan yang merata dan berjuang untuk memangkas tajamnya ketimpangan antara sekolah favorit dan pinggiran. Pendidikan berkualitas seharusnya menjadi hak semua anak dan sekolah di Indonesia,” kata dia. (atx)