Mengenal Sate Kere: Kuliner Khas Solo, Simbol Perjuangan Rakyat Kecil

Konten Media Partner
1 Desember 2019 8:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kuliner sate kere. Foto: dok. Tugu Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Kuliner sate kere. Foto: dok. Tugu Jogja
ADVERTISEMENT
Sate kere adalah salah satu kuliner khas Solo yang terbuat dari tempe gembus (tempe yang dibuat dari ampas tahu). Selain tempe, bahan dasar pembuatan sate ini juga menggunakan jeroan sapi seperti paru dan usus sapi. Sate ini juga dilengkapi dengan bumbu kacang atau sambal kecap yang sama seperti sate pada umumnya.
ADVERTISEMENT
Kuliner yang semula dianggap ‘murahan’ ini sempat naik daun. ‘Martabatnya’ mulai terkerek, harganya ikut menjulang tanpa mempedulikan riwayat historisnya yang pekat dengan nasib getir dan perjuangan rakyat kelas bawah. Tidak lagi dilihat dari segi bahannya yang terbilang remeh, bahkan buangan. Di masa kolonial, bahan tersebut dijauhi pembesar Eropa dan kaum bangsawan. Meja hidangan di rumah aristokrat dan tuan kulit putih ditemukan gembus dan jeroan adalah suatu pantangan.
Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dalam kolomnya berjudul Historiografi Sate Kere menulis bahwa pada zaman dahulu, di perkotaan besar di Jawa lazim ditemukan abattoir (tempat penyembelihan hewan). Bangunan didirikan pemerintah kolonial Belanda bersama penguasa lokal ini guna menjamin konsumsi kaum Eropa akan daging sapi. Demi menjaga kesehatan konsumen, pengelola abattoir pantang menjual daging bercampur gajih (gemook).
Kuliner sate kere. Foto: Kumparan.
"Maka, sejak 1849 ditelurkan kebijakan perihal pemotongan sapi dan kerbau lewat taatsblad (Lembaran Negara) tahun 1849 no. 52 Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan 18 pasal aturan dan kebijakan terkait pemotongan sapi dan kerbau. Salah satunya pasal 9 tentang regulasi larangan penjualan daging yang ditutupi gemuk atau lemak yang isinya seperti berikut: Binatang njang dipotong, baik antero atawa potong-potongannya tiada bolee di toetoop sama gemook, tetapi misti ditinggalken begimana adanja, dan lagi tiada bolee potong binatang njang sakit, atawa djoewal dagingnja binatang njang mati..., (Binatang yang dipotong, baik seluruh atau potong-potongannya tidak boleh ditutup sama gemook, tetapi mesti ditinggalkan bagaimana adanya, dan lagi tiada boleh potong binatang yang sakit, atau dijual dagingnya binatang yang mati....,),” tulis aturan itu yang ditulis ulang oleh Heri dalam kolomnya yang dimuat di sebuah surat kabar, Kamis (2/11/2017).
ADVERTISEMENT
Karena itulah pada zaman dulu, sate adalah makanan mahal, hanya orang-orang berduit saja yang bisa menyantapnya. Karena ingin menikmati lezatnya sate, masyarakat kelas bawah pada masa itu akhirnya membuat makanan berbahan dasar selain daging. Bahan yang mereka gunakan tempe gembus atau ampas tahu dan jeroan. Walaupun memakai bahan-bahan non-daging, cita rasanya tidak kalah dengan sate daging.
Kuliner Sate kere. Foto: dok. Tugu Jogja.
Heri menambahkan dalam kolomnya bahwa sejatinya sate kere merupakan potret budaya tanding (counter-culture). Ia mengacu pada gaya hidup yang menyimpang dari praktik sosial yang telah mapan. Secara sosiologis budaya tanding mencerminkan konflik perkara gaya hidup kelas. Dihayati secara mendalam, pengertian budaya tanding dalam konteks kuliner rupanya dapat memunculkan sifat kompetisi yang sehat dan kreatif. Pihak wong cilik yang merasa kalah dalam urusan makan, tidak lantas frustasi dan ngamuk, namun membalasnya dengan menciptakan kreasi baru.
ADVERTISEMENT
Kini sate kere tidak lagi menjadi makanan kelas bawah. Sate yang semula merupakan cerminan dari kelas bawah untuk menyaingi sate daging kini telah menjadi makanan sate bagi semua kalangan. (Ayu)