Mengenang Ade Irma Nasution dan Percakapan Pilu di Malam 30 September 1965

Konten Media Partner
30 September 2020 13:11 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ade Irma Nasution bersama keluarga. Foto: Wikipedia Repro Buku A.H. Nasution : prajurit, pejuang dan pemikiran.
zoom-in-whitePerbesar
Ade Irma Nasution bersama keluarga. Foto: Wikipedia Repro Buku A.H. Nasution : prajurit, pejuang dan pemikiran.
ADVERTISEMENT
Ade Irma Suryani Nasution adalah putri bungsu dari Jenderal A.H. Nasution. Ia menjadi salah satu korban tragedi berdarah Gerakan 30 September 1965 di Yogyakarta, sehingga layak disebut sebagai Putri Pahlawan Revolusi, perisai sang Ayah. 
ADVERTISEMENT
Lahir pada tanggal 19 Februari 1960, si kecil Ade Irma yang harus meregang nyawa di usia 5 tahun, memang dikenang sebagai anak yang kuat dan tabah. Hal ini utarakan oleh sang dokter, Dr. Handoyo yang merawatnya saat setelah kejadian berdarah.
"Sungguh Ade ini, anak yang istimewa. Tidak menangis. Tabah dalam menderita, dan dalam keadaan sakit sendiri masih memikirkan orang lain, yaitu Ayahnya," ujar sang dokter yang dikutip dari surat kabar Berita Yudha pada 6 Oktober 1966. 

Firasat tentang Ade Irma 

Sebelum kepergian Ade Irma, firasat maupun tanda akan kepergiannya memang sudah muncul dan dirasakan oleh sang Ayah maupun sang kakak, Hendrianti Saharah Nasution.
Dikisahkan dalam buku Memenuhi Penggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru yang ditulis oleh Abdul Haris Nasution, sang Ayah menceritakan bahwa sempat mendengar firasat dari orang lain, yaitu Nyonya Sajiman yang melihat Ibu Johanna mengantarkan Ade pergi dalam balutan pakaian putih bersih. 
ADVERTISEMENT
Hal ini nembuat Jenderal Nasution menyadari gelagat sang anak yang tidak seperti biasanya dalam kurun waktu sebulan terakhir kala itu. Ade Irma menjadi suka memandangi Nasution saat sedang salat dan menjadi sering meminta minuman yang ada di atas mejanya. 
Lain hal dengan tanda yang dirasakan sang kakak. Hendrianti menceritakan bahwa hampir setiap hari Ade Irma memakai baju kowad (seragam komandan wanita TNI AD) sambil memutar lagu Gugur Bunga dengan sikap hormat kepada foto sang Ayah yang terpajang di rumahnya kala itu, namun tidak ada kecurigaan yang muncul dalam benaknya bahwa hal itu menjadi pertanda buruk. 

Percakapan pilu Ade Irma di malam 30 September 1965

"Cantik dia, dan pintar," ujar Jenderal Nasution kepada Ade Irma yang sedang tertidur lelap saat malam 30 September, dikutip dari film Penghianatan G30S PKI.
ADVERTISEMENT
Pada malam itulah menjadi malam terakhir bagi Ade Irma bisa tertidur di kasur yang sama dengan sang Ayah dan Ibu. 
Nahas, pada saat Pasukan Cakrabirawa menyusup ke rumah Nasution dan membuat suasana rumah menjadi gaduh, tembakan pun meleset mengenai punggung dan paha Ade Irma yang saat itu tengah digendong oleh Mardiyah, saudara Ipar dari Johanna. 
Ade Irma yang berlumuran darah kemudian digendong Johanna sampai pasukan Cakrabirawa pergi dari rumahnya. Hingga sampai di RSPAD Gatot Subroto, inilah percakapan pilu yang berlansung beberapa saat sebelum Ade Irma menghembuskan nafas terakhir : 
"Ade hidup?" ujar Johanna.
"Hidup, Mama!" jawab Ade Irma. 
"Ade hidup terus?" 
"Hidup terus, Mama!
ADVERTISEMENT
Walaupun dalam keadaan lemah, Ade Irma tetap menguatkan sang kakak yang menangis, "Mengapa kakak menangis? Kakak jangan menangis!" ujarnya. Dalam kondisi kritis tersebut, ia masih mengingat keadaan sang Ayah, "Ayah kenapa ditembak, Mama?
Itulah yang menjadi percakapan terakhir Ade Irma sebelum ia wafat 6 hari setelahnya, yaitu pada tanggal 6 Oktober 1965. Pada nisannya tertulis pesan mengharukan dari sang Ayah, Jenderal A.H. Nasution, "Anak saya tercinta, engkau telah mendahului gugur sebagai perisai Ayahmu," 
Namanya pun diabadikan sebagai Putri Pahlawan Revolusi. Monumen Ade Irma Suryani juga dibagun oleh Pemerintah di tempat peristirahatan terakhirnya, yaitu di Kebayoran Baru, persis di sebelah Kantor Wali Kota Jakarta Selatan. (Reni Ayuningtyas Widiastuti)