Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0

ADVERTISEMENT
Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan kembali menimbulkan persoalan. Setelah beberapa bulan lalu akses masuk ke TPST Piyungan ditutup oleh warga sekitar karena tuntutan warga untuk perbaikan jalan akses masuk mengalami kerusakan serta pemberian lampu penerangan belum dipenuhi oleh pemerintah kini TPST Piyungan juga dihentikan operasionalnya oleh pengelola.
ADVERTISEMENT
Sejak Minggu (25/3/2019) kemarin, Balai Pengelolaan Sampah Piyungan menghentikan operasional TPST terbesar di DIY tersebut. Alasannya adalah karena sudah overload juga karena dua alat berat yang biasa digunakan untuk menguruk sampah dan meratakannya mengalami kerusakan.
Dengan penghentian operasional tersebut, tak terlihat aktivitas truk yang membuang sampah ke TPST Piyungan. Padahal setiap hari sekitar 220 truk sampah yang keluar masuk ke area TPST Piyungan untuk membuang sampah dari Kabupaten Sleman, Bantul dan Kota Yogyakarta.
Sukisdiyanto, warga Dusun Ngablak Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan yang tinggal di seputaran TPST mengaku sangat mendukung langkah penghentian operasional TPST tersebut. Sebab, saat ini kondisi TPST Piyungan sudah penuh dan tak mampu lagi menampung sampah-sampah yang masuk. Jika dibiarkan maka sampah-sampah yang diangkut menggunakan truk hanya akan dibuang di pinggir jalan.
ADVERTISEMENT
"Ya memang harus ditutup. Kalau tidak ditutup mau dibuang ke mana?" tuturnya.
Kondisi sampah di TPST Piyungan sebenarnya sudah sangat berlebih, itupun sudah diimbangi dengan larinya sampah plastik yang dikumpulkan oleh para pemulung ke luar TPS. Dalam sehari, setidaknya ada 2 truk besar sampah plastik yang keluar dari TPST Piyungan.
Menurut dia, penuhnya sampah di TPST Piyungan karena volume sampah yang masuk sangat banyak dan tidak diimbangi dengan pengelolaan yang profesional dari pengelola. Karena selama ini pengelola hanya menimbun sampah-sampah yang masuk menggunakan tanah.
"Seharusnya sampah itu dikelola tidak sekedar ditimbun,"ujarnya.
Teknik penimbunannya pun menurutnya juga salah. Sebab dermaga pembuangan sampah justru berada di pinggir TPST. Padahal seharusnya dermaga untuk pembuangan sampah berada di tengah-tengah TPST. Karena dermaga berada di pinggir maka antrian truk pengangkut sampah selalu mengular hingga 1 kilometer hanya untuk membuang sampah.
ADVERTISEMENT
Ketika mengantri itulah, seringkali menimbulkan masalah selain sampah berceceran dan menimbulkan bau juga cairan-cairan dari truk penuh sampah tersebut berceceran di jalan sehingga menimbulkan pencemaran. Kejadian paling parah ketika musim penghujan di mana sangat mengganggu aktivitas warga sekitar.
"Anak-anak sekolah kalau berangkat belajar terpaksa harus membungkus sepatu mereka dengan kantong plastik agar tidak bau," ungkapnya.
Wagiman, warga yang lain juga mengatakan hal serupa. Menurutnya, sejak pengelolaan diambil oleh Provinsi, justru semakin amburadul. Saluran-saluran air yang berfungsi untuk mengalirkan Lindi (limbah cair dari TPST) tak terurus lagi. Banyak saluran yang mampet sehingga ketika banjir dapat memicu banjir lindi.
"Dulu waktu dikelola oleh Kabupaten Bantul kita justru lebih sejahtera. Kompensasi jalan dan sarana prasarana terjaga dengan baik,"terangnya.
ADVERTISEMENT
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Balai Pengelolaan Sampah Dinas Lingkunan Hidup dan Kehutanan DIY, Kuncoro Hadi Purnomo, belum bisa dikonfirmasi. Nomor telepon genggamnya belum bisa dihubungi dan pesan singkat yang dikirim ke nomor tersebut juga belum direspon. (erl/adn)