news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pancawara, Sistem Penanggalan Masyarakat Jawa yang Masih Digunakan Hingga Kini

Konten Media Partner
17 Februari 2020 10:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi weton jawa. Foto Kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi weton jawa. Foto Kumparan.
ADVERTISEMENT
Meski sudah ada kalender Masehi dengan jumlah 7 hari atau yang dikenal sebagai Saptawara, masyarakat Jawa juga masih mempertahankan sistem Pancawara. Pancawara sendiri merupakan sistem perhitungan dimana hanya ada 5 hari saja atau dikenal dengan pasaran.
ADVERTISEMENT
Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon, begitulah masyarakat Jawa menyebut kelima hari dalam pancawara. Meski ada sistem penanggalan Jawa, masyarakat Yogyakarta menggunakan dua penanggalan yakni penanggalan Masehi dan Jawa. Keduanya kadang dijadikan sebagai patokan dalam mengadakan sebuah acara atau hajat, salah satunya yang sering dipakai atau ditandai adalah Selasa Wage.
Bicara soal sejarah penanggalan ini, menurut laman reski Kraton Jogja, kalender Jawa diciptakan semasa pemerintahan Sultan Agungan sekitar 1613-1645. Mulanya sistem kalender yang digunakan adalah kalender Saka. Namun ada beberapa kelemahan kalender Saka dimana perayaan adat yang diselenggarakan keraton berbeda dan tidak selaras dengan perayaan hari besar Islam yang menggunakan kalender Hijriyah. Hal itulah yang kemudian mendorong Sultan Agung mencetuskan sistem penanggalan baru yang menggabungkan kalender Saka dan Hijriyah agar perayaan dapat bersamaan waktunya.
ADVERTISEMENT
Terkait dengan penanggalan Jawa, masyarakat juga mengenal sistem yang dinamakan Neptu. Neptu sendiri memiliki angka masing-masing dalam tiap harinya dan tidak sama. Menurut Ensiklopedia Kotagede Yogyakarta, ada dua sistem Neptu yang dipakai. Sistem tersebut adalah Neptu Dina dan Neptu Pasaran. Neptu dina merupakan angka yang terdiri di saptawara. Sementara neptu pasaran merupakan angka yang terdiri di pancawara.
Untuk dina atau hari memiliki neptu yang terdiri dari Minggu yang bernilai 5, Senin bernilai 4, Selasa bernilai 3, Rabu bernilai 7, Kamis bernilai 8, Jumat bernilai 6, Sabtu bernilai 9. Sementara pasaran memiliki neptu masing-masing, Legi bernilai 5, Pahing bernilai 9, Pon bernilai 7, Wage bernilai 4, dan terakhir Klieon bernilai 8.
ADVERTISEMENT
Bicara soal Selasa Wage, ternyata hari tersebut memiliki neptu yang paling kecil diantara hari lainnya. Cara mengetahui jumlah neptunya ialah dengan cara menjumlahkan neptu dina dan neptu pasaran. Selasa memiliki neptu dina 4 sementara Wage memiliki neptu pasaran bernilai 3. Jika keduanya dijumlahkan maka Selasa Wage memiliki neptu 7. Meski bernilai kecil namun hari tersebut menjadi istimewa.
Acara Selasa Wage yang belakangan ini ada di Malioboro, dilangsungkan bertepatan dengan hari lahirnya Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Dalam penanggalan Jawa, Sultan Hamengku Buwono X lahir pada Selasa Wage. Olehkarenanya, hari tersebut menjadi istimewa.
Sistem neptu tadi juga dijadikan patokan khususnya masyarakat Jawa saat beraktivitas seperti kegiatan ekonomi atau pasaran. Di Yogyakarta sendiri masih bisa ditemui pasar yang diadakan setiap hari tertentu. Misalnya pasar Legi yakni aktivitas pasar yang hanya ada setiap Legi. Bahkan pasar Pahing, yakni pasar yang ada hanya setiap hari Pahing.
ADVERTISEMENT
Selain menentukan pasaran, neptu tadi rupanya juga digunakan masyarakan untuk menentukan hari baik terutama saat menikah. Acapkali hal itu dijadikan semacam ramalan untuk menentukan cocok tidaknya suatu pasangan. Dahulu bahkan sering dijumpai orang bisa gagal menikah hanya gara-gara neptunya tak cocok.
Menurut Penghageng Tepas Dwarapura, KRT Jatiningrat atau yang akrab disapa Romo Tirun, penghitungan neptu atau akrab dikenal sebagai weton sebetulnya tak berpengaruh atas kecocokan pasangan. Menurutnya bahkan salah kaprah jika masyarakat menganggap ada hari baik atau buruk.
"Semua hari itu pada dasarnya baik tidak ada yang buruk," ungkap Romo Tirun saat pernah diwawancarai soal kepercayaan Weton di kantornya.
Menurutnya memang ada waktu-waktu tertentu dimana sebuah acara tidak boleh diadakan. Jika ada seseorang yang tertimpa musibah atau ada yang meninggal pada penanda hari dalam kalender Jawa tertentu, maka seseorang tidak boleh menyelenggarakan acara atau hajatan di waktu tersebut. Misalnya ada seseorang yang meninggal pada saat Rabu Legi, jika suatu saat ada sanak atau keluarga yang ingin mengadakan hajatan atau upacara besar, sebaiknya tidak mengadakan upacara di hari yang dalam kalender Jawa jatuh pada Rabu legi.
ADVERTISEMENT
"Itu (weton atau neptu) hanya untuk penanda saja. Kalau mengadakan hajatan pas weton itu, ora elok (nggak pantas)," pungkas Romo Tirun.