Pendidikan Interreligious SMA BOPKRI 1 Yogyakarta: Keimanan dalam Pancasila

Konten Media Partner
11 Maret 2020 11:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Aktivitas pendidikan interreligious di SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Foto: dok. SMA Bopkri 1.
zoom-in-whitePerbesar
Aktivitas pendidikan interreligious di SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Foto: dok. SMA Bopkri 1.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Bicara keimanan tentu tak lepas kaitan dengan agama. Bahkan di seluruh sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta, Pendidikan agama termasuk hal yang pokok. Berbeda dengan sekolah pada umumnya, SMA BOPKRI 1 Yogyakarta sebagai salah satu sekolah unggulan tak hanya menerapkan pelajaran agama tapi lebih kepada pelajaran mengenai keimanan yang bermuara pada Pancasila yakni pendidikan interreligious.
ADVERTISEMENT
Tepatnya sejak 22 tahun lalu SMA BOPKRI 1 Yogyakarta menjadi salah satu sekolah yang tak hanya menerapkan tapi juga mengembangkan, mencoba dan menjadi laboratorium penelitian pendidikan interreligious. Bahkan bisa dibilang salah satu sekolah unggulan di Yogyakarta ini menjadi satu-satunya yang memiliki materi, metode, bahkan kurikulum pendidikan interreligious.
“Sebenarnya wacana ini sudah berkembang sejak 1998 dan SMA BOSA sudah menjadi salah satu sekolah penggerak awal mengenai pendidikan interreligious,” ungkap Sartana selaku Waka Humas SMA BOPKRI 1 Yogyakarta, Senin (2/3/2020).
Mengenai pendidikan ini ia menjabarkan bahwa sejatinya ini merupakan pendidikan yang mengusung nilai-nilai kebenaran universal dalam keimanan. Menurut Sartana sudah seharusnya sekolah yang menjadi tempat bertemunya anak bangsa menjadi wadah akan dialog mengenai perbedaan atas nilai masing-masing dan meleburkan diri menjadi satu kesatuan dalam kebenaran dan kemanusiaan yang universal. Dengan hal tersebut, hasil akhir yang akan dituju adalah hidup bersama, saling mengerti dan tidak saling berbenturan, serta hidup dalam kegotongroyongan tolong menolong dan saling menghargai keragaman manusia.
Aktivitas pendidikan interreligious di SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Foto: dok. SMA Bopkri 1.
“SMA BOSA sejak tahun 1998 sampai 2020 ini tiada putus mencoba mengembangkan Pendidikan Interreligius, dan saya oleh pimpinan ditugasi untuk merencanakan, mengembangkan, mengorganisasikan, mengimplementasikan konsep, serta menguji/mengevaluasi kegiatan ini supaya SMA BOSA menjadi laboratorium pendidikan interreligious. Ini bukan wacana tapi sudah dikembangkan selama 25 tahun terakhir,” sambung pengampu pendidikan interreligious itu.
ADVERTISEMENT
Tak sekadar menjadi kurikulum maupun pelajaran semata, bahkan pendidikan yang hanya satu-satunya ada di SMA BOPKRI 1 Yogyakarta itu menjadi bahan rujukan bagi para peneliti baik lembaga maupun mahasiswa. Tak lagi sekadar wacana semata dalam menjunjung tinggi keimanan lewat kebenaran universal yang dihidupi bersama tapi malah sudah dalam tahap implementasi.
“Penelitian banyak dilakukan oleh teman-teman dari UIN, fakultas teologi UKDW, UKSW kemudian UMY. Artinya kalau sudah ada penelitian seperti itu kan bukan wacana lagi. Waktu yang kita kembangkan sudah diatas 22 tahun. Data kami punya, alumni kami punya, kurikulumnya kami punya. Yang terakhir kami punya wadahnya namanya PAPIRUS (Pengembang Pendidikan Interreligious). Ini berisi kumpulan banyak pihak (stake holders) dan utamanya guru-guru lintas agama, Papirus menjadi wadah bertemunya para guru agama lintas agama, kita bertemu, diskusi, dialog, ini kesempatan dan ruang paling penting yang dimiliki oleh guru-guru agama, ketika bertemu inilah proses belajar bersama dalam nilai-nilai kebenaran universal terjadi" sambung Sartana.
ADVERTISEMENT
Perbedaan Atas Pandangan dalam Perpektif Agama Tertentu yang Memecah Belah
Indonesia bahkan dunia sendiri, pada dasarnya dibentuk atas dasar pandangan akan perbedaan dan keberagaman yang dipahami secara sepihak, atas dasar kepentingan tertentu, mulai dari suku, agama, ras, maupun golongan. Acap kali perbedaan tersebut bagi sebagian oknum malah dianggap sebagai sumber permasalahan dan bahkan perpecahan. Pandangan bahwa keseragaman itu menghidupi bahkan menjadi solusi kehidupan, menjadi prioritas untuk menekan atau menegasi yang lain yang berbeda, ini sangat berbahaya. Pandangan atas kebenaran versi masing-masing dalam perspektif yang berbeda malah sering menimbulkan chaos, perang. Sartana memandang hal perbedaan tersebut bukanlah sebagai sesuatu yang menimbulkan permasalahan melainkan sebagai bentuk dasar kehidupan itu sendiri. Perbedaan itu harus dihidupi, Hidup tidak berwarna-warni itu bukanlah hidup, tetapi kematian, hakikat kehidupan adalah perbedaan, meniadakan perbedaan dalam kehidupan adalah kematian !! Memang hal yang dibutuhkan adalah bagaimana menjembatani perbedaan tersebut hingga menuju kepada sebuah nilai kebenaran universal. Bisa dipahami dan dihidupi bersama-sama tanpa meniadakan yang berbeda.
Siswa dan siswi SMA Bopkri 1. Foto: dok. SMA Bopkri 1
“Kita yakin setiap orang punya keimanannya masing-masing itu harus kita hargai. Harus kita jaga. Dan pendidikan interreligious ini fungsinya mempertemukan anak bangsa dalam keberagaman untuk bersama belajar dan latihan menghidupinya. Muara akhirnya bagaimana menghidupi Pancasila,” ujarnya yang sudah menggeluti pendidikan interreligious selama 25 tahun.
ADVERTISEMENT
Menurutnya hal mendasar dari pendidikan agama adalah kebenaran akan suatu dogma tertentu. Acapkali dogma tersebut dipahami sebagai satu-satunya nilai kebenaran mutlak, meniadakan yang lain, dogma menjadi panduan dasar untuk menemukan nilai-nilai kemanusiaan, bukan manusia untuk dogma, tetapi dogma untuk manusia, berbeda antara satu dengan yang lainnya adalah keniscayaan. Oleh karenanya, pendidikan interreligious yang disemaikan di SMA BOPKRI 1 Yogyakarta ini menjadi suatu kehendak baik dalam konsep kehidupan keimanannya untuk menjadi sarana hidup bersama-sama di negeri yang sangat kita cintai ini, yang sejak semua dari embrio bangsa hingga berdirinya sudah majemuk adanya. Sebuah sistem imun berbangsa dan bernegara yang sejak semula dimilikinya, tidak semua negara ada seperti anugerah negara kita tercinta, maka harus dipelihara supaya panjang umur dan anak cucu mencapai kejayaan.
ADVERTISEMENT
“Hal yang dia yakini benar dalam perspektif agama dia turunkan dalam perspektif keimanannya untuk bisa bertemu dengan yang lain, bertemu dengan yang berbeda. Hidup bersama kawan yang lainnya berbeda. Tidak ada yang sama dalam beragama, pasti berbeda, tetapi akan tampak sama dalam perspektif keimanannya dalam kemanusiaan,” ungkapnya.
Sartana berani mengatakan bahwa pendidikan interreligious bisa menjadi solusi atas persoalan berbangsa dan bernegara. Dalam artian persoalan mengenai bagaimana mendialogkan perbedaan dan mempertemukan pikiran yang berbeda untuk menghidupinya bersama tanpa ada perpecahan.
“(Pendidikan interreligious) itu solusi terhadap persoalan bangsa. SMA BOSA mendidik anak-anaknya bukan sembarangan karena kami mendapat amanat penting untuk menyiapkan calon pemimpin bangsa. Kami mendidik anak BOSA dengan penuh tanggung jawab,” kata Sartana.
ADVERTISEMENT
“Pemimpin itu harus berdiri di atas semuanya. Kalau pemimpin berdiri atas kebenaran versi agamanya sendiri, itu akan berpersoalan banyak. Tapi kalau dia berprinsip pada nilai kebenaran universal itulah sejatinya pemimpin. Oleh sebab itu bangsa kita ini mesti masih menghadapi persoalan yang belum rampung, yaitu mengenai pendidikan agama yang masih menjadi arena kepentingan sepihak untuk tujuan tertentu. Selama manusia ada itu tidak akan pernah sepi pertentangan (agama) ada pro dan kontra, seharusnya kalau sekolah menjadi salah satu pusat layanan publik, maka semua yang bersifat primordialism dileburkan menjadi pelayanan dengan prinsip pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran universal,” sambungnya.
Ia tak menolak perbedaan, bahkan begitu pula dengan SMA BOPKRI 1 Yogyakarta. Menurutnya agama adalah urusan masing-masing namun ia menyoroti apabila ada oknum yang mengagungkan kebenaran agamanya sendiri dan memaksakan kebenaran di tengah perbedaan, yang terjadi adalah chaos, pertikaian yang tak dapat terhindarkan.
ADVERTISEMENT
“Kami tidak menolak kebenaran keyakinan setiap orang atas agamanya. Kalau semua mengagungkan kebenaran agamanya masing-masing maka sangat berbahaya, tetapi kemudian kebenaran atas dasar perbedaan itu dikemas dalam nilai-nilai kemanusiaan yang disarikan dari Pancasila. Pendidikan interreligious muaranya ada filosofi Pancasila,” tegasnya.
Menilik Pendidikan di Kelas
Siswa dan siswi SMA Bopkri 1. Foto: dok. SMA Bopkri 1
SMA BOPKRI 1 Yogyakarta menerapkan pendidikan ini melalui aktivitas di kelas dan implementasi secara langsung di masyarakat. Mulai dari merancang ide pembelajaran, mengambil keputusan dalam PBM, hingga evaluasi, siswa dilibatkan secara penuh.
“Selama 4 minggu bicara di kelas lalu minggu ke-5 di luar kelas untuk menguji keilmuan mereka. Di sisi lain mereka berteori, berwacana, mengeluarkan ide gagasan, lalu pada minggu ke lima mereka observasi dan bergabung dengan masyarakat,” ungkap Sartana.
ADVERTISEMENT
Ketika ditanya mengenai materi pembelajaran, Sartana mengungkap bahwa materi ajar PIR yang diterapkan di SMA BOPKRI 1 Yogyakarta ini semuanya berakar dari Pancasila.
“Materinya sangat Indonesia banget. Kita belajar mengenai ke-Indonesiaan. Menjadi manusia Indonesia yang menjunjung tinggi kemanusiaan manusia, menjadi manusia Indonesia yang menjunjung tinggi martabat perempuan dan kelompok rentan, menjadi manusia Indonesia yang menghayati keragaman agama budaya dan keyakinan, dan Menjadi Manusia Indonesia yang menghargai Alam ciptaan-Nya, masih banyak lagi,” papar Sartana.
Menurut Sartana metode pembelajaran seperti ini sebetulnya bisa diterapkan di seluruh sekolah, baik yang homogen maupun yang heterogen siswanya, tidak ada alasan bahwa model pembelajaran hanya tepat disalah satu tipe, hanya kemaun baiklah yang bisa menjembatani antara guru, metode dan siswa, namun tentu tak lepas kaitannya dari pengambil kebijakan. Kepala Sekolah SMA BOSA selama ini memberikan ruang bagi guru untuk mengeksplorasi serta mengembangkan Pendidikan oleh karenanya muncullah gagasan dan ide kreatif dari guru dalam mengembangkan pembelajaran di dalam kelas yang tak lagi kaku.
Siswa dan siswi SMA Bopkri 1 berseragam pramuka. Foto: dok. SMA Bopkri 1.
“Guru butuh dukungan, coba diberi kepercayaan coba dilibatkan dalam pelatihan. Waktu itu, saya mengikuti pelatihan pendidikan interreligious itu beberapa kali di tahun 1998 sampai 2000 sehingga cukup punya pengalaman mengajar dikelas PIR, hingga tetap setia saya mengembangkan PIR di SMA BOSA ini . Kami yakini ini pengalaman, materi, metode, dan peluang bagus. Dan SMA BOSA dari sisi peserta didik amat sangat beragam, namun demikian bukan menjadi alasan Pendidikan interreligious hanya untuk sekolah dengan peserta didik dengan tingkat keragaman tinggi. Bukan. Ini dalam konteks sekolah yang homogen pun bisa dikembangkan karena bicara tentang ke-Indonesiaan kok,” sambungnya.
ADVERTISEMENT
Meski pendidikan ini ada, bukan berarti sekolah secara total mengganti atau meniadakan pendidikan agama. Malah pendidikan ini menurut Sartana merupakan sebuah materi pendamping dan menjadi sarana belajar bukan hanya bagi murid saja melainkan juga bagi guru.
“Pendidikan interreligious ini sifatnya suplemen ya, tidak menggantikan Pendidikan agama dan budi pekerti yang ada. Jadi belajar mengenai pendidikan interreligious ini yang berkembang bukan hanya muridnya tapi juga gurunya. Karena sebenarnya dalam proses belajar mengajar interreligious ini hampir 90 persen kegiatan anak bukan kegiatan guru. Sudah diujicobakan, dikembangkan, sudah ada bukti, bisa di evaluasi, lalu apalagi yang masih harus didiskusikan ? ayo diujicobakan di sekolah Anda !” pungkasnya.