Peran Warga Tionghoa dalam Sejarah Keraton Yogyakarta

Konten Media Partner
17 September 2019 20:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Wang Xiang Jun atau Budi Susilo, pengusaha Malioboro Yogyakarta, berfoto dengan bukunya yang berjudul, "Menyingkap Jejak Keadilan Tionghoa". Foto: atx.
zoom-in-whitePerbesar
Wang Xiang Jun atau Budi Susilo, pengusaha Malioboro Yogyakarta, berfoto dengan bukunya yang berjudul, "Menyingkap Jejak Keadilan Tionghoa". Foto: atx.
ADVERTISEMENT
Warga Tionghoa sudah menempati Yogyakarta sejak ratusan tahun silam. Bahkan punya peran dalam sejarah Keraton Yogyakarta. Namun peran tersebut seolah terabaikan atau dikubur dalam rangkaian sejarah.
ADVERTISEMENT
Wang Xiang Jun atau Budi Susilo, pengusaha Malioboro Yogyakarta, berusaha menggali kembali peran sentral Tionghoa di Yogyakarta. Dia mengulasnya melalui buku yang ditulisnya. Buku tersebut berjudul "Menyingkap Jejak Keadilan Tionghoa".
Budi Susilo mengatakan, buku tersebut lahir dari studi literatur mendalam dan wawancara untuk melengkapi sejarah keberadaan etnis Tionghoa di Yogyakarta dan sejarah Malioboro.
"Ternyata sejak dari berdirinya Kerajaan Mataram peran suku Tionghoa di Yogyakarta sudah ada," kata dia di Yogyakarta, Selasa (17/9/2019).
Pria yang biasa disapa Cun-Cun ini mengatakan, salah satunya adalah adanya prasasti Geger Sepehi tahun 1812 serta keberadaan kelenteng Gondomanan. Geger Sepehi merupakan peristiwa penyerangan yang dilakukan tentara Inggris ke Keraton Yogyakarta.
Pada waktu itu, kata dia, masyarakat Tionghoa terbelah menjadi tiga. Pertama, kelompok yang setia kepada raja Keraton yang bertakhta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) II. Kedua, kelompok pengikut Kapiten Tan Jing Sing yang setia kepada calon raja atau Sri Sultan HB III, serta ketiga kelompok ragu-ragu atau bunglon.
ADVERTISEMENT
"Tiga kelompok Tionghoa ini memunculkan luka mendalam sampai sekarang, karena antara masyarakat Tionghoa saat itu terjadi konflik dan perang sendiri," kata Cun-Cun.
Pemilik Toko Subur Malioboro ini mengungkapkan, catatan detail tentang ketiga kubu Tionghoa di Yogyakarta ini tidak banyak diketahui ahli sejarah. Pasukan putri Langen Kusumo, pendiri dan pelatihnya adalah seorang putri dari Tiongkok, juga banyak yang tidak diketahui oleh ahli sejarah.
Menurut dia, dokumen tentang keberadaan Langgeng Kusumo ini banyak yang hilang saat peristiwa Geger Sepehi. Banyak naskah yang dirampas saat itu oleh pasukan Inggris.
Peran warga Tiongkok yang terabaikan lainnya adalah Tan Ling Sing merupakan pelatih bela diri anak buah Pangeran Diponegoro.
"Selain itu Tan ling Sing adalah orang yang memberi kuda ke Pangeran Diponegoro," kata dia.
ADVERTISEMENT
Menurut dia, Keraton Yogyakarta dengan warga Tionghoa memiliki hubungan erat. Hal itu dibuktikan dengan adanya Prasasti Tionghoa, Ngejaman, Klenteng Gondomanan, Kampung Pecinan Ketandan, Malioboro, serta Jalan Pecinan (sekarang bernama Jalan Ahmad Yani).
Cun-Cun mengatakan, dari rangkaian sejarah tersebut, sekaligus membantah anggapan yang salah tentang etnis Tionghoa di Yogyakarta.
"Anggapan bahwa etnis Tionghoa adalah penghianat itu keliru," kata dia.
Dia menilai anggapan yang keliru itu justru dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. "Itu sama halnya mengangap keberadaan Malioboro yang dikaitkan bahwa PKL merupakan ikon Malioboro," kata dia.
Apalagi, kata dia, timbulnya Iorong atau arcade itu karena permintaan Walikota Soejono, yang saat itu untuk digunakan sebagai pedestrian, bukan untuk berjualan orang lain atau asing.
ADVERTISEMENT
Dia menjelaskan, Malioboro sejatinya berarti mulyaning ing bhoro, yang berarti jalan menuju kejayaan melalui Iaku hening. Sumbu filosofi itu dimulai dari Tugu Golog Gilig sampai Panggung Krapyak dimana rakyat berdiri untuk menyambut raja.
Menurut dia, buku ini mengungkapkan fakta dan sejarah keberadaan lorong di Malioboro sehingga dapat menjadi catatan sejarah dan bukti hukum mengenai anomali pertanahan. "Buku ini juga mengulas tentang Jalan Malioboro yang seharusnya dikembalikan seperti fasadnya aslinya," kata dia.
Dia juga mengkritisi adanya jual-beli, sewa menyewa lahan toko bahkan diwariskan, merupakan tindak kejahatan. "Orang harus tahu sejarah sehingga tidak diam dan terjadi pembiaran," ungkapnya.
Pendiri Pustaka Peranakan Tionghoa Azmi Abu Bakar dalam catatannya tentang buku ini, menyebut etnis Tionghoa dan Mataram Islam memiliki hubungan yang harmonis.
ADVERTISEMENT
"Pengeran Mangkubumi atau Sri Sultan HB I sebagai pendiri Kasultanan Yogyakarta adalah saudara seperjuangan bagi etnis Tionghoa," katanya.
Menurut dia, yang perlu digarisbawahi, maksud dari saudara seperjuagan itu bukan saudara di kala senang. Tetapi menjadi saudara di kala perang.
Buku Menyingkap Jejak Keadilan Tionghoa dengan tebal 200 halaman ini ditulis selama delapan bulan oleh penulis. Cetakan pertama sebanyak 500 buku dan dijual di sejumlah toko buku di Yogyakarta maupun secara online. (atx/adn)