Konten Media Partner

Perjuangan Demokrasi Kaum Muda, Ini Cerita 4 Mahasiswa UIN Jogja Gugat UU Pemilu

5 Januari 2025 11:49 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
4 mahasiswa UIN Jogja yang ajukan gugatan ke MK tentang Presidential Threshold. Foto: Hadid H
zoom-in-whitePerbesar
4 mahasiswa UIN Jogja yang ajukan gugatan ke MK tentang Presidential Threshold. Foto: Hadid H
ADVERTISEMENT
Enika Maya Octavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna gugat UU Pemilu mengenai presidential threshold 20 persen.
ADVERTISEMENT
Keempatnya adalah mahasiswa yang berasal dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga menjadi perbincangan banyak pihak pada awal Januari 2025 ini.
Sebelumnya, keempat mahasiswa ini secara konsisten berargumen dengan para Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menggugat UU Pemilu mengenai Presidential Threshold 20 persen yang tercantung pada Pasal 222, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Hal tersebut sudah berjalan selama kurun waktu hampir 1 tahun yang dimulai sejak Februari 2024 hingga permohonan tersebut dikabulkan pada Januari 2025.
Dalam jumpa pers yang diselenggarakan di gedung Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Papringan, Caturtunggal, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Jumat (3/1/2025), atau sehari pasca putusan tersebut dikabulkan, keempatnya memberikan testimoni selama beracara di Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT

Enika Maya Octavia

Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara angkatan 2021 ini menyampaikan bahwa tujuan permohonan gugatan yang disampaikan ke Mahkamah Konstitusi disebutnya untuk memberikan alternatif pilihan untuk partai lain bisa mengajukan calon.
Dirinya beranggapan bahwa selama ini kontestasi politik di Indonesia hanya diisi oleh para calon yang tidak sesuai dengan aspirasi dari kebanyakan masyarakat.
“Tujuan dari permohonan kami mengurangi polarisasi yang panjang dan memberikan alternatif pilihan koalisi akan terbentuk secara alami,” katanya saat diwawancarai wartawan.
Ia menyampaikan bahwa biaya kontestasi politik di Indonesia sangat besar yang membuat sebagian partai memilih untuk berkoalisi.
“Sebagaimana terjadi di pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (Demokrat)-Jusuf Kalla (Golkar) di tahun 2003, dan beberapa Parpol lainya yang sebenarnya pada waktu itu parpol yang punya suara untuk bisa mengajukan calon sendiri,”ujarnya.
ADVERTISEMENT

Rizky Maulana Syafei

Rizky Maulana Syafei juga memberikan testimoninya. Ia menyampaikan telah mendapatkan banyak pelajaran selama beracara di MK.
Ia mengaku pihaknya memiliki dasar untuk mengajukan gugatan berdasarkan putusan 90 yang dilakukan mahasiswa asal Surakarta, Almas Tsaqibbirru.
Kendati begitu, putusan yang mereka ajukan berbeda dengan putusan 90 yang sebelumnya dikabulkan MK yang saat itu dipimpin oleh Ipar Joko Widodo, Anwar Usman.
“Pelajaran kami awalnya putusan 90 fenomena umum urusan kami membawa angin segar putusan mahkamah konstitusi yang progresif dan juga kemenangan masyarakat. Kami sebagai pemilih, memiliki hak preferensi yang maju pilpres maupun pilkada dan lain lain,” katanya.
Ia menyampaikan selama 1 tahun beracara di MK mempelajari berbagai hal terkait aturan yang memiliki dampak kepada masyarakat luas, dirinya dan teman-temannya sebagai mahasiswa.
ADVERTISEMENT
“Intinya pelajaran yang sangat berharga tentang pergeseran paradigma konstitusi dalam memutuskan perkara kami,” pungkasnya.

Tsalis Khoirul Fatna

Tsalis Khoirul Fatna memiliki memiliki pengalaman mengesankan selama menjalani masa sidang uji materi dengan hakim MK. Ia menyampaikan bahwa dalam persidangan ke 2 dan 3, Tsalis dan kawan-kawannya tengah menjalani program kerja kuliah nyata (KKN).
“Kami sendiri mahasiswa dan perjalananya selama satu tahun kita itu kami bersama-sama bersidang 7 kali sidang sampai putusan, yang mana diantara sidang ke 2 dan 3 kami lagi masa KKN,”ujarnya.
Mahasiswa Hukum Tata Negara ini menyampaikan perjuangan yang dilakukan bersama 3 orang kawannya sebagai perjuangan murni dari apa yang diresahkan, bahkan ia menyebut tanpa adanya bantuan dari kuasa hukum.
ADVERTISEMENT
Pihaknya juga mendapatkan keringanan dari Hakim MK untuk bisa menjalani sidang secara online.
“Di sini kami tidak menggunakan kuasa hukum karena kami masih mahasiswa belum mampu menggaet kuasa hukum. Kami juga dimudahkan untuk bisa bisa menjalani sidang secara online,”katanya.
Pasca gugatan ke 33 mengenai presidential threshold 20 persen yang dikabulkan, Tsalis menyampaikan ia dan teman-temanya belum memiliki rencana untuk melakukan gugatan lainya ke MK.

Faisal Nasirul Haq

Sementara itu, Faisal Nasirul Haq menyampaikan bahwa pihaknya merasa bisa berguna bagi bangsa. Mereka melihat pilihan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang ada pada Pilpres 2024 tidak mewakili aspirasi kebanyakan kaum muda.
Oleh karena itu, Mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum ini berjuang untuk bisa membuka alternatif pilihan lainya di kontestasi politik yang akan datang.
ADVERTISEMENT
“Saya memandangnya begini, fokus dari memberikan akses ada jalan agar supaya kita punya opsi atau alternatif calon,” katanya.
Ia berharap perjuangan konstitusi yang ia perjuangan bersama teman-temanya yang lain bisa menjadi harapan bagi penegakan demokrasi lainya di masa mendatang. (Hadid Husaini).