Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten Media Partner
Pohon Maja, Titisan Dewa Siwa yang Jadi Asal-usul Nama Majapahit
9 Juni 2019 14:10 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
ADVERTISEMENT
Pembangunan gedung-gedung di Yogyakarta membuat lahan untuk menanam pohon menjadi semakin berkurang. Hal ini pun menyebabkan sejumlah jenis pepohonan mulai langka ditemukan. Salah satunya adalah Pohon Buah Maja.
ADVERTISEMENT
Buah maja memiliki ciri khas kulit berwarna hijau, namun isinya berwarna jingga atau kuning. Saat dibelah, akan tercium aroma harum. Ukurannya sebesar bola voli dengan kulit yang sangat keras.
Karena rasanya yang sangat pahit, buah maja jarang sekali dikonsumsi langsung seperti buah-buahan pada umumnya. Pohonnya yang besar dan rindang membuat beberapa orang masih menanamnya untuk membuat lingkungan jadi rimbun. Buahnya hanya dibiarkan mengering di pohon dan jatuh begitu saja.
"Kalau di Indonesia biasanya buat obat. Dipercaya bisa sembuhkan berbagai macam penyakit," ujar Tomo (60 tahun), seorang pemerhati tanaman asal Yogyakarta, saat diwawancarai tugujogja, Minggu (9/6).
Rupanya, buah maja ini punya peranan penting bagi masyarakat di Pakistan, India, Nepal, Srilanka, dan Bangladesh. Masyarakat di Asia Selatan itu mengonsumsi daging buah maja secara segar maupun sudah dikeringkan atau dijadikan jus. Dalam tradisi Hindu, maja merupakan titisan Hyang Syiwa (Dewa Siwa). Tidak heran jika tanaman ini biasanya ada di halaman pura.
ADVERTISEMENT
Salah satu kerajaan di Indonesia yang menggunakan kata ‘Maja’ dalam penamaannya adalah Kerajaan Majapahit. Tidak asing dengan kerajaan yang satu ini, bukan? Seperti cerita yang ada, ketika Raden Wijaya memimpin saat itu, ia meminta para pengikutnya untuk melakukan babat alas--membuka lahan baru untuk didirikan bangunan atau kerajaan. Secara tidak sengaja, ada satu pohon yang berbuah lebat.
Mereka pun penasaran dan akhirnya mencoba memakan buah tersebut. Siapa sangka jika rasanya sangat pahit. Dari sinilah kerajaan tersebut dinamakan Majapahit.
Masyarakat Yogyakarta dulunya kerap memanfaatkan buah maja untuk gayung. Rupanya, kulit buah maja juga bisa digunakan sebagai alat takaran, lho. Alat ini dinamakan ‘beruk’. Pada zamannya, beruk merupakan salah satu alat ukur yang sangat populer. Beberapa orang tidak membuat beruk dari kulit buah maja, melainkan dari tempurung kelapa. Biasanya, beruk digunakan untuk menakar berat beras, kedelai, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
"Kalau dibayangkan bentukannya kayak batok (tempurung) kelapa itu lho. Cuma ini dibuat dari kulit buah maja," katanya. (asa/adn)
Live Update