Konten Media Partner

Radikalisme Kaum Muda Merebak, Hal Ini Penyebabnya

13 Februari 2018 6:22 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Maraknya kasus radikalisme yang melibatkan kaum muda seperti yang terjadi dalam kasus kekerasan berbasis agama yang dilakukan salah seorang mahasiswa asal Banyuwangi, Jawa Timur bernama Suliyono di Gereja Santa Lidwina Stasi Bedog, Sleman, Minggu (11/02/2018) pagi menjadikan nasionalisme generasi muda pun dipertanyakan. Apalagi banyak anak muda yang saat ini mengidolakan tokoh-tokoh ekstrim.
Radikalisme Kaum Muda Merebak, Hal Ini Penyebabnya
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
“Bila anak muda punya idola kaum radikal atau tokoh ekstrim, maka ini yang jadi warning (peringatan-red) keras bagi kita,” ungkap coordinator peneliti dari , Center for the Study of Rekigion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr Chaider S Bamualim dalam Sosialisasi Penelitian Tentang Kaum Muda Muslim: Sikap dan Perilaku Perihal Kekerasan dan Ekstrimisme di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Senin (12/2/2018).
Banyak anak muda, menurut Chaider yang menyetujui aksi kekerasan atas nama agama. Fenomena tersebut akhirnya dijadikan alat politik oleh oknum-oknum tertentu untuk tidak membenarkan perbedaan.
“Toleransi pun akhirnya sulit terwujud karena muncul pemikiran haram dan halal,” tandasnya.
Chaider menyebutkan, radikalisasi seringkali membuat pemuda-pemuda tanah air terjebak di dalamnya. Berdasarkan hasil penelitian di 18 kota/kabupaten yang dilakukan CSRC, muncul tren yang dianut oleh kaum muda muslim di usia 15-24 tahun terhadap beberapa isu toleransi dan intoleransi. Yang pertama, muncul toleransi komunal dan skriptural ketika kaum muda menggunakan dalil Alqur'an dan hadits dengan pemahaman yang literal.
ADVERTISEMENT
Namun pemahaman ini tidak diikuti dengan kontekstualisasi makna teks sesuai dengan sebab munculnya ayat atau hadits tersebut. Contohnya, di satu sisi kaum muda muslim merasa tidak masalah bergaul dengan siapa saja. Namun saat menyentuh wilayah politik mereka akan bertindak dengan menggunakan pedoman agama seperti pada isu pemimpin muslim dan non muslim.
“Yang kedua, toleransi kewargaan dan pluralisme yaitu toleransi yang berangkat dari nilai-nilai kesetaraan antar warga dan penghormatan terhadap kebebasan asasi yang dimiliki dan dijamin oleh negara,” tandasnya.
Sementara Hilman Latief, peneliti CSRC untuk kota Yogyakarta dan Solo, mengungkapkan, pendidikan karakter penting untuk membentuk pandangan yang positif. Pendidikan itu dapat menjadi pondasi menentukan sikap dan juga sebagai benteng terhadap radikalisme dan ekstrimisme.
ADVERTISEMENT
"Ini juga menyikapi berbagai kekerasan yang terjadi di kaum muda seperti pembacokan Romo di Jogja kemarin. Pada masa pencarian ini, kaum muda perlu dibina dan diarahkan agar dapat membentuk karakter yang positif. Kita perlu mengisi ruang-ruang gagasan yang mereka miliki dengan hal-hal yang terbuka dan berkemajuan, dan ini harus dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan," tandasnya.
Untuk mengatasi persoalan radikalisme tersebut, lanjutnya, perlu dilakukan pertemuan secara luas di kalangan kaum muda dengan latar belakang yang berbeda-beda.
“Selain itu kaum muda perlu dikenalkan pada diskursus nilai-nilai kewargaan dan konteks ke- Indonesiaan di institusi pendidikan,” imbuhnya.(ves)