Konten Media Partner

Ruhana Kuddus: Wartawan Perempuan Pertama di Indonesia

13 November 2019 21:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ruhana Kuddus. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ruhana Kuddus. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Mungkin sebagian para wartawan di Indonesia mengenal Adam Malik, Goenawan Muhammad, Tirto Adhi Soerjo, Mochtar Lubis, Jakob Oetama, P.K. Ojong, Rosihan Anwar, dan Maria Margaretha Hartiningsih sebagai tokoh pers Indonesia. Namun nama Ruhana Kuddus jarang terdengar di telinga para jurnalis Indonesia. Padahal, Rohana Kudus merupakan wartawan perempuan pertama di Indonesia. Bahkan dalam perayaan Hari Pahlawan tahun ini, presiden Joko Widodo memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada ahli waris dari Ruhana Kuddus di Istana Negara, Jakarta pada hari Jumat (8/11/2019) lalu.
ADVERTISEMENT
Rohana Kuddus lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada tanggal 20 Desember 1884. Ruhana lahir dari ayahnya yang bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibunya bernama Kiam. Ruhana Kuddus adalah kakak tiri dari Sutan Sjahrir dan juga mak tuo (bibi) dari penyair terkenal Chairil Anwar. Selain itu, Ruhana juga merupakan sepupu H. Agus Salim. Sama seperti Kartini, Ruhana juga memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan yang pada waktu itu sangat dibatasi.
Ruhana mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia sebagai sekolah kerajinan khusus wanita karena tidak ada sekolah kerajinan khusus wanita di Koto Gadang. Fitriyanti dalam bukunya yang berjudul Ruhana Kuddus, Wartawan Perempuan Pertama di Indonesia menulis bahwa ketika mendirikan sekolah kerajinan, Ruhana sempat berdiskusi dengan suaminya, Abdul Kuddus, bahwa ia berkeinginan untuk memperluas perjuangan hak wanita.
ADVERTISEMENT
“Kalaupun hanya mengajar, yang bertambah pintar hanya murid-murid saya saja. Saya ingin sekali berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman dengan kaum perempuan di daerah lain sehingga bisa membantu lebih banyak lagi,” ucap Ruhana yang ditulis ulang oleh Fitriyanti.
Sambil memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan, Ruhana mendirikan surat kabar khusus perempuan bernama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912 tanpa takut dibredel pemerintah Belanda. Sunting Melayu merupakan surat kabar khusus perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur, dan penulisnya dipegang semua oleh perempuan. Saat mendirikan Sunting Melayu, Ruhana sempat mengirim surat kepada Datuk Sutan Maharaja, pemimpin redaksi Utusan Melayu yang berada di Padang. Dalam surat itu, Ruhana berpesan kepada Maharaja agar diberikan rubrik khusus yang ditulis oleh penulis perempuan di
ADVERTISEMENT
Utusan Melayu. Akhirnya Maharaja tersentuh setelah membaca surat itu dari Ruhana dan setuju dengan pemberian rubrik khusus sekaligus menerbitkan surat kabar Sunting Melayu. Sunting Melayu terbit seminggu sekali dengan panjang empat halaman. Biaya langganannya mencapai f1.80 per tahun atau f0.45 per triwulan. Persebaran Soenting Melajoe tak hanya di hampir seluruh Minangkabau dan Sumatera, namun juga menjaungkau Malaka dan Singapura karena disirkulasikan bersama Utusan Melayu.
Banyak sekali ragam tulisan yang dimuat di Sunting Melayu. Di antaranya adalah berita terjemahan dari berita bahasa Belanda yang diterjemahkan sendiri oleh Ruhana, tulisan kontributor, rubrik sejarah, hingga puisi. Salah satu tulisan yang dimuat di Sunting Melayu adalah tulisan dari istri Wiria Atmadja dengan tulisan tentang obat sakit kolera pada terbitan tanggal 5 Oktober 1912.
ADVERTISEMENT
Perjuangan Ruhana tidak sampai di Sunting Melayu saja. Ia merantau ke Medan pada tahun 1920, ia memimpin redaksi Perempuan Bergerak bersama dengan Satiman Parada Harahap. Lalu ia kembali ke Padang pada tahun 1924. Di sana Ruhana diangkat menjadi redaktur di suratkabar Radio, harian yang diterbitkan Cinta Melayu di Padang.
Silfia Hanani dalam jurnalnya yang berjudul Ruhana Kuddus dan Pendidikan Perempuan meneliti bahwa Ruhana tidak hanya berhasil menjadi wartawan perempuan pertama di Indonesia, tetapi juga perjuangannya dalam mendobrak patriaki yang masih kental di Sumatera Barat pada waktu itu. Salah satunya adalah lewat Sekolah Kerajinan Amai Setia dan Sunting Melayu.
"Ruhana tidak membiarkan perempuan terkubur dalam nina bobo dan rayuan-rayuan konstruksi budaya yang tidak adil. Lewat Sekolah Kerajinan Amai Setia dan Sunting Melayu, ruang gerak Ruhana sebagai pejuang hak perempuan menjadi leluasa. Sampai akhir hayatnya, ia berjuang untuk perempuan agar mendapatkan pendidikan dan pengakuan di publik," tulis Silfia.
ADVERTISEMENT
Ruhana meninggal dunia tepat pada ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-27 tanggal 17 Agustus 1972, dalam usia 88 tahun. Selama hidupnya Ruhana pantang mundur dalam memajukan dunia jurnalistik di Indonesia, khususnya bagi perempuan. Karena itulah, perjuangannya mulai berbuah manis. Berbuah manis yang dimaksud adalah gelar Pahlawan Nasional yang tersemat dengan indah dalam diri Ruhana Kuddus. (Ayu)