Sejarah Gudeg sebagai Makanan Warisan Kerajaan Mataram

Konten Media Partner
18 November 2019 7:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gudeg, makanan khas Yogyakarta. foto: Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gudeg, makanan khas Yogyakarta. foto: Kumparan
ADVERTISEMENT
Yogyakarta memiliki makanan khas yang dikenal oleh orang banyak salah satunya adalah gudeg. Makanan ini terbuat dari nangka muda dan santan. Proses memasaknya pun membutuhkan waktu yang lama, yakni 24 jam. Biasanya gudeg terdiri dari nasi putih, ayam, telur rebus, tahu atau tempe, dan rebusan terbuat dari kulit sapi segar atau lebih dikenal dengan sebutan sambal goreng krecek. Ada dua jenis gudeg yang dikenal saat ini, yaitu jenis gudeg kering dan gudeg basah. Gudeg kering hanya memiliki sedikit santan, sedangkan gudeg basah mencakup lebih banyak susu kelapa atau santan. Tidak hanya rasa manis saja, kadang gudeg juga mempunyai rasa pedas.
ADVERTISEMENT
Membahas soal gudeg, ternyata makanan ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram. Dalam buku berjudul Gudeg, Sejarah dan Riwayatnya oleh Prof. Murdijati Gardjito, peneliti di Pusat Kajian Makanan Tradisional (PMKT), Pusat Studi Pangan dan Gizi Uniersitas Gadjah Mada (UGM), menyebutkan bahwa gudeg sudah ada sejak masa awal Yogyakarta dibangun. Sekitar abad ke-16, dikisahkan bahwa prajurit Kerajaan Mataram membongkar hutan belantara untuk membangun peradaban (sekarang daerah Kotagede). Di hutan tersebut, terdapat banyak pohon nangka dan kelapa. Para prajurit itu kemudian berusaha memasak nangka dan santan kelapa. Salah satu bagian proses untuk memasak gudeg disebut dengan hangudek atau mengaduk. Dari hangudek itulah tercipta makanan khas Yogyakarta yang kemudian disebut gudeg. Kita tahu bahwa gudeg yang dimulai dari keluarga para prajurit Mataram, kini sudah menyebar ke masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Rizkie Nurindiani dalam jurnalnya yang berjudul Gudeg dalam Perspektif Masyarakat Yogyakarta meneliti pertama, adanya fakta bahwa gudeg oleh masyarakat Yogyakarta sendiri dikenal sebagai makanan khas daerah Yogyakarta. Namun tingkat kekhasan ini tidak selalu sama dengan makanan khas daerah lain. Meski khas, gudeg tidak dikonsumsi sebagai makanan sehari-hari (atau dijadikan makanan pokok) yang kemudian dapat mencerminkan kebiasaan makan masyarakat Yogyakarta.
Kedua, gudeg sebagai satu jenis makanan rupanya oleh masyarakat Yogyakarta dibagi-bagi lagi menjadi berbagai varian lain. Perbedaan varian gudeg ini disebabkan oleh cara masak dan resep yang berbeda, penampilan warna, dan juga tekstur dari gudeg itu sendiri. Adanya berbagai varian gudeg, membuat masyarakat memiliki kesukaan gudeg yang juga berbeda-beda dan tidak dapat disamakan.Perbedaan varian ini yang sama-sama menunjukkan bahwa tidak ada satu standar gudeg tertentu yang dapat menjadi yang paling asli.
ADVERTISEMENT
Ketiga, dalam kesehariannya, gudeg menjadi makanan yang fleksibel dalam waktu. Artinya, tidak ada waktu khusus untuk memakan gudeg. Di lain pihak, meski masyarakat Yogyakarta mengakui bahwa mereka menyukainya, mereka tidak mengkonsumsi gudeg setiap hari.
Mencicipi gudeg. Foto: Humas Kementrian Pariwisata
Keempat, sebagai makanan khas, familiaritas gudeg diturunkan dalam keluarga di Yogyakarta dengan cara kerap mengkonsumsinya meski belum dapat dikatakan sebagai rutinitas. Namun, cara memasak gudeg rupanya tidak ikut serta diturunkan dalam keluarga. Masyarakat Yogyakarta sendiri justru banyak yang tidak tertarik untuk mempelajarinya. Kebanyakan alasannya adalah karena rumit dan sudah banyak yang jual. Kalaupun ada yang tertarik dan keluarga tidak dapat mengajari, mereka hanya dapat mempelajarinya melalui resep-resep yang ada atau langsung ke penjual gudeg. Hingga saat ini, para informan belum pernah menemui tempat belajar masak formal yang memuat gudeg dalam kurikulumnya.
ADVERTISEMENT
Kelima, dari fungsinya, gudeg rupanya memiliki empat kegunaan utama bagi masyarakat Yogyakarta di kesehariannya, yaitu sebagai comfort food, klangenan, suguhan, hiburan, dan lauk harian. Selain itu, di kota Yogyakarta, oleh masyarakat gudeg dianggap sebagai salah satu identitas kota Yogyakarta.
Selain itu, Rizkie Nuriandi juga dalam tesisnya yang berjudul Gudeg sebagai Ikon Kuliner: Konsumsi Materi Budaya di Masyarakat Yogyakarta meneliti bahwa perjalanan gudeg menjadi ikon kuliner tidak terjadi begitu saja. Globalisasi memiliki peran penting dalam kemunculan gudeg sebagai ikon kuliner. Meski globalisasi mengakibatkan serbuan kuliner dari belahan dunia lain, globalisasi juga membuka ceruk pasar baru bagi kuliner-kuliner tradisional. Begitu pula yang terjadi pada gudeg sebagai materi budaya di Yogyakarta. Meningkatnya posisi gudeg juga disebabkan oleh narasi-narasi yang terbangun melalui memori para perantau yang pernah tinggal di Yogyakarta dan masyarakat Yogyakarta itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Status gudeg sebagai ikon kuliner di Yogyakarta ini kemudian dilanggengkan. Gudeg kemudian dikaitkan dengan citra-citra seperti tradisional, Yogyakarta hingga sakral. Untuk mendukung citra-citra ini, estetisasi dilakukan oleh berbagai pihak. Disadari maupun tidak, estetika ini juga ikut melanggengkan status gudeg sebagai ikon kuliner di Yogyakarta. Meski begitu, estetika pada gudeg pun tidak dapat melanggar “standar” gudeg yang telah dimengerti oleh masyarakat
Yogyakarta. Estetika pada gudeg juga dilakukan dengan memadukannya dengan berbagai kuliner internasional sebagai usaha diferensiasi produk kuliner. Selain itu, padu-padan gudeg dengan kuliner asing ini juga untuk memperkenalkan gudeg sebagai ikon kuliner di Yogyakarta, kota di mana produk dia berada.
(Ayu)