Selapanan: Tradisi Selamatan Bayi Berusia 35 Hari

Konten Media Partner
9 Desember 2019 8:47 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bayi. Foto: Kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bayi. Foto: Kumparan.
ADVERTISEMENT
Masyarakat Jawa mempunyai berbagai macam selamatan. Salah satunya adalah selapanan. Selapanan berasal dari bahasa Jawa yang berarti 35 hari. Jadi, selapanan adalah ritual yang dilakukan pada bayi yang sudah menginjak usia 35 hari. Tradisi Selapanan merupakan pengingat bahwa sang anak sudah bertambah umur, yang berarti bahwa si anak mengalami suatu perubahan, baik perubahan fisik maupun perubahan batin atau mental. Anak yang mendekati hari kelahirannya, mengalami perubahan fisik berupa peningkatan suhu badan, gelisah, dan sering menangis.
ADVERTISEMENT
Acara selamatan ini dilakukan saat sang bayi berusia 35 hari atau selapan. Perhitungan ini dihitung berdasarkan kalendar Jawa, sehingga masyarakat Jawa menghitung hari dalam hitungan minggu sebanyak tujuh hari (Senin – Minggu) dan hitungan pasaran dimana satu pasaran berjumlah lima hari (Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi). Perhitungan selapan berasal dari perkalian antara tujuh dan lima yang menghasilkan 35 hari. Pada hari ke 35 ini didapatkan pertemuan angka kelipatan antara tujuh dan lima. Pada hari ini juga, hari weton si bayi akan berulang. Sebagai contoh, bila sang bayi lahir pada Kamis Pahing, maka selapanannya akan jatuh tepat pada hari Kamis Pahing pula.
Sebelum acara Selapanan dilakukan, pada sore hari warga bersama-sama bergotong royong membuat tumpeng yang berisi makanan (bancakan) untuk kemudian dibagi-bagikan kepada kerabat dan anak-anak kecil di Lingkungan rumah. Bancaan ini dibuat dengan harapan agar bayi nantinya bisa berguna, bermanfaat, dan membahagiakan masyarakat sekitar. Dalam bancaan ada menu makanan wajib yang harus ada yaitu nasi putih dan gudangan atau urap yang terdiri dari berbagai sayuran yang diberi bumbu parutan kelapa.
ADVERTISEMENT
Nantinya nasi putih dan urap ini akan ditempatkan dalam wadah yang disebut pincuk yang terbuat dari daun pisang yang dibentuk seperti mangkok. Sementara itu dalam bancaan menu tambahan yang biasa ditambahkan yaitu telur rebus atau telur pindang. Telur banyak dipilih sebagai menu lauk pelengkap bancaan Selapanan karena dianggap mewakili asal mula kehidupan.
Upacara selapanan ini sendiri merupakan bentuk rasa syukur atas berkat dan keselamatan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada sang bayi dan juga ibunya. Pada acara ini, sang bayi akan dicukur rambutnya dan juga dipotong kukunya. Berdasarkan aturan yang terdapat dalam primbon Jawa, ada beberapa hal yang perlu dipatuhi dalam pelaksanaan selapanan. Salah satunya adalah keyakinan bahwa rambut dan kuku bayi yang telah dipotong harus disimpan bersama dengan tali pusar serta kotoran kelelawar, yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.
ADVERTISEMENT
Windri Hartika dkk. dalam makalahnya yang berjudul Makna Tradisi Selapanan pada Masyarakat Jawa di Desa Gedung Agung menemukan bahwa tradisi Selapanan adalah bagian dari warisan budaya leluhur yang harus terus dijaga kelestariannya. Mereka takut bahwa jika generasi penerusnya tidak menjaga bahkan tidak melaksanakan tradisi ini, masyarakat Jawa akan kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat yang berbudi luhur.
Tradisi Selapanan merupakan cerminan bahwa manusia hendaknya memiliki hubungan erat yang harmonis dengan lingkungan masyarakat dan alam sekitar. Melalui peringatan Selapanan, orang tua memperkenalkan bayinya kepada para tetangga, dan para tetangga menerima si bayi sebagai bagian dari masyarakatnya.
"Melalui tradisi ini, orang tua juga berharap bahwa kelak anaknya akan menjadi pribadi yang senang bersosialisasi. Masyarakat Jawa saat ini adalah masyarakat yang selalu memadukan kegiatan adat dan keagamaan, acara peringatan kelahiran bayi seperti Selapanan bertujuan untuk bersedekah, agar para tetangga ikut merasakan kegembiraan orang tua atas kelahiran putra-putrinya," tulis Windri dkk. dalam makalahnya.
ADVERTISEMENT