Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
10 Ramadhan 1446 HSenin, 10 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten Media Partner
Soal Wawasan Kebangsaan, Buya Syafi’i Maarif: Politisi Tidak Mau Naik Kelas
1 Februari 2018 10:00 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB

ADVERTISEMENT
Saat ini, masyarakat Indonesia mudah tersulut oleh berbagai isu. Kondisi tersebut membuat wawasan kebangsaan menjadi menjadi penting dan relevan bagi masyarakat Indonesia. Wawasan kebangsaan menjadi sebuah referensi yang tak lekang oleh waktu dan akan terus dibutuhkan. Hal tersebut diungkapkan oleh Mantan Ketua PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Maarif atau yang kerap disapa Buya Syafi’i di Yogyakarta, Rabu (31/1/2016).
ADVERTISEMENT
“Wawasan kebangsaan yang memadai akan mengembangkan pemahaman dan sikap dalam kehidupan bermasyarakat,” kata Buya Syafi’i di depan para mahasiswa program pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY).
Di depan 75 orang mahasiswa pascasarjana UAJY, Buya memaparkan pandangannya tentang bagaimana wacana kebangsaan yang saat ini tengah mengalami krisis di dalam masyarakat.
“Tak hanya hanya terjadi di kalangan elit, tetapi juga di akar rumput. Sedikit sekali cendekiawan atau politisi yang pragmatis dan enggan untuk naik kelas menjadi figur negarawan,” terangnya.
Wawasan kebangsaan, menurutnya, meliputi berbagai aspek dan dimensi yang sangat luas. Salah satunya adalah memahami keadaan sosial dan budaya di Indonesia.

“Sebagai contoh, Presiden pertama, Soekarno yang seorang keturunan Jawa dan Bali, bisa menjadi dwitunggal bersama Hatta, yang adalah seorang Minang. Hal tersebut terjadi karena adanya wawasan akar kultural masing-masing,” katanya.
ADVERTISEMENT
Dalam kesempatan itu, anggota tim penasehat transisi Presiden Jokowi juga menegaskan bahwa kaum cendekiawan harus mau turut serta menemani masyarakat. Untuk itu dibutuhkan cendekiawan-cendekiawan yang multidimensional.
“Orang ekonomi, arsitek, teknik apapun itu juga harus baca filsafat. Begitu juga sebaliknya dan rumpun-rumpun yang lainnya sehingga pandangannya tentang dunia dapat meluas,” jelasnya. (jay)