Konten Media Partner

Tedhak Siten: Tradisi Anak Menginjak Tanah untuk Mengenal Kehidupan

2 Desember 2019 17:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi upacara Tedhak Siten. Foto: Kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi upacara Tedhak Siten. Foto: Kumparan.
ADVERTISEMENT
Tedhak siten merupakan rangkaian prosesi adat tradisional dari tanah Jawa yang diselenggarakan saat pertama kali seorang anak belajar menginjakkan kaki ke tanah. Tedhak berarti menginjak, dan Siten artinya tanah. Biasanya dilakukan saat anak berusia sekitar tujuh atau delapan bulan. Tradisi ini dilaksanakan sebagai penghormatan kepada bumi tempat anak belajar menginjakkan kaki.
ADVERTISEMENT
Tedhak siten berasal dari dua kata 'tedhak' berarti menampakkan kaki dan 'siten' berasal dari kata 'siti' yang berarti bumi, upacara ini dilakukan ketika seorang bayi berusia 7 bulan dan mulai belajar duduk dan berjalan di tanah, secara keseluruhan upacara ini bertujuan agar ia menjadi mandiri di masa depan.
Acara Tedhak Siten ini dimulai dengan menapaki jadah tujuh warna, jadah di sini terbuat dari beras ketan dicampur dengan parutan kelapa muda dengan ditambahi garam agar rasanya gurih dan tujuh warna di sini yaitu hitam, kuning, hijau, biru, merah, putih, jingga. Ketujuh warna itu mempunyai makna sebagai berikut:
Warna merah memiliki arti keberanian, si anak dituntun untuk memijak warna tersebut, agar si anak yang melakukan upacara tedhak siten tersebut memiliki keberanian untuk menjalani kehidupannya kelak.
ADVERTISEMENT
Warna putih memiliki arti kesucian, setelah memijak warna tersebut si anak diharapkan dapat memiliki kesucian hati kelak di kemudian hari.
Warna hitam memiliki arti kecerdasan, setelah memijak warna tersebut diharapkan si bayi dapat memiliki kecerdasan di kemudian hari.
Warna kuning memiliki arti kekuatan, setelah bayi memijak warna tersebut diharapkan si bayi dapat memiliki kekuatan dalam menjalankan hidupnya.
Warna biru memiliki arti kesetiaan, setelah memijak warna tersebut, diharapkan si bayi memiliki sifat setia di masa yang akan datang.
Warna merah jambu memiliki arti cinta kasih, setelah memijak warna tersebut si bayi di harapkan kelak memiliki rasa cinta kasih.
Warna ungu memiliki arti ketenangan, di mana di masa yang akan datang si anak dapat bersikap tenang dalam pengambilan keputusan.
Suasana ulang tahun putra Vicky Shu. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Selanjutnya adalah prosesi naik tangga. Tangga tradisional yang dibuat dari tebu jenis ‘arjuna’ dengan dihiasi kertas warna-warni. Ritual ini melambangkan harapan agar si bayi memiliki sifat kesatria si Arjuna (tokoh pewayangan yang dikenal bertanggungjawab dan tangguh). Dalam bahasa Jawa ‘tebu’ merupakan kependekan dari ‘antebing kalbu’ yang bermakna kemantapan hati.
ADVERTISEMENT
Prosesi selanjutnya adalah prosesi di mana bayi dimasukkan ke dalam kurungan ayam yang telah dihias dengan kertas berwarna warni. Prosesi ini menyimbolkan kelak anak akan dihadapkan pada berbagai macam jenis pekerjaan.
Jika kurungan ayam besar prosesi selanjutnya bisa dilakukan di dalam kurungan. Tetapi seringkali agar anak merasa lebih leluasa, prosesi selanjutnya dilakukan di luar kurungan.
Bayi dihadapkan dengan beberapa barang untuk dipilih seperti cincin/uang, alat tulis, kapas, cermin, buku, dan pensil. Kemudian dibiarkan mengambil salah satu dari barang tersebut. Barang yang dipilihnya merupakan gambaran hobi dan masa depannya kelak.
Selanjutnya sang Ibu menebarkan beras kuning (beras yang dicampur dengan parutan kunir) yang telah dicampur dengan uang logam untuk diperebutkan oleh undangan anak-anak. Ritual ini dimaksudkan agar anak memiliki sifat dermawan.
Suasana ulang tahun putra Vicky Shu. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Rangkaian prosesi tedhak siten diakhiri dengan memandikan bayi ke dalam air bunga setaman lalu dipakaikan baju baru. Prosesi pemakaian baju baru inipun dengan menyediakan tujuh baju yang pada akhirnya baju ketujuh yang akan dia pakai. Hal ini menyimbolkan pengharapan agar bayi selalu sehat, membawa nama harum bagi keluarga, hidup layak, makmur dan berguna bagi lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Galuh Santika D dalam skripsinya yang berjudul 'Dinamika Tedhak Siten: Studi Terhadap Tradisi Upacara Adat Tedhak Siten Dua Keluarga di Yogyakarta' meneliti bahwa alasan Tedhak Siten yang masih dilakukan saat ini oleh keluarga bangsawan maupun masyarakat biasa adalah adanya harapan spiritual, sosial, maupun kultural. Dari terselenggaranya Tedhak Siten untuk memperoleh suatu pencapaian dari terselenggaranya upacara, sesuai dengan ekspektasi atau keinginan pribadi pihak penyelenggara.
Tetapi terjadi pergeseran makna dan unsur-unsur yang terdapat pada Tedhak Siten yakni makna spiritual dan kultural yang tidak lebih penting dari makna sosial. Sebab dari Tedhak Siten yang tadinya hanya untuk lingkup kerabat, bertambah dengan mengundang tamu undangan di luar kerabat (teman, rekan kerja, tetangga) dengan maksud untuk menunjukkan status sosial kepada tamu undangan yang hadir.
ADVERTISEMENT
"Prosesi Tedhak Siten yang diselenggarakan oleh kedua keluarga tersebut juga terdapat beberapa perbedaan yaitu pada urutan upacara, dan beberapa ubo rampe dan juga cara mereka menyelenggarakan Tedhak Siten, pada keluarga kerabat Kraton lebih khidmat sedangkan pada keluarga biasa lebih mewah dan meriah."
"Sehingga dalam penelitian ini telah membuktikan bahwa tradisi upacara Tedhak Siten antara keluarga kerabat bangsawan dan keluarga biasa mengalami pergeseran nilai dan makna. Adapun perkembangan tradisi Tedhak Siten meliputi nilai spiritual, nilai sosial dan nilai kultural."
"Dengan mengamati prosesi pelaksanaan Tedhak Siten dari latar belakang informan yang berbeda dari keluarga kerabat bangsawan dan keluarga biasa (bukan bangsawan) membuktikan adanya perbedaan makna dan nilai dari pelaksanaan tradisi Tedhak Siten pada dua keluarga tersebut. Oleh karena itu esensi tradisi Tedhak Siten perlu dilestarikan, agar generasi penerus budaya Jawa dapat melestarikan tradisi yang ada dan menjunjung nilai luhur budaya bangsa," tulis Galuh dalam skripsinya.
ADVERTISEMENT
Sementara Dewi Kadita Probowardhani dalam publikasi ilmiahnya yang berjudul 'Prosesi Upacara Tedhak Sitenanak Usia 7 Bulan dalam Tradisi Adat Jawa' meneliti bahwa Nilai pendidikan keimanan dengan nilai Ilahi digambarkan dalam prosesi berjalan di atas Bubur Tujuh Warna dengan tujuan mampu untuk mengatasi segala masalah dan tujuan mampu untuk mengatasi segala masalah.
Nilai-nilai pendidikan ibadah dengan nilai insani dengan digambarkan menaiki anak tangga diharapkan sang anak makin tinggi dan makin naik. Yang selanjutnya digambarkan menaiki anak tangga diharapkan sang anak makin tinggi dan makin naik maka sesuai dengan nilai religius memiliki maksud kerukunan antar sesama yaitu ketika adanya rasa saling tolong-menolong.
Kriteria yang digambarkan sebagai gambaran seperti turunnya di tangga tebu bayi setelah dewasa akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya setelah dewasa akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya di dalam kebutuhan hidup ada beberapa yang dapat dimiliki setia para pelaksana tedhak siten dengan memiliki nilai religius.
ADVERTISEMENT
"Nilai dengan maksud gambaran sebagai nilai-nilai religius seperti masuk kurungan ayam diharapkan terpenuhi kebutuhannya melalui pekerjaan/aktivitas. Menyebarkan uang logam, penyebaran uang logam maksud dari hal tersebut kelak suka menolong dan dermawan. Siraman sebagai pengharapan, dalam kehidupannya, anak ini nantinya harum namanya dan bisa mengharumkan nama baik keluarganya. Memberikan tambahan seperti mendandani dengan pakaian baru. Supaya bayi mempunyai jalan kehidupan yang bagus dan bisa membuat bahagia keluarganya," tulis Dewi dalam publikasi ilmiahnya. (Ayu)