Tetesan: Mengenal Upacara Sunat bagi Anak Perempuan di Yogyakarta

Konten Media Partner
15 Desember 2019 20:07 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pakaian yang dikenakan saat upacara Tetesan. foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Pakaian yang dikenakan saat upacara Tetesan. foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Tak hanya kaum laki-laki, rupanya kebiasaan sunat juga dijalani oleh kaum perempuan. Sunat bagi perempuan saat ini terdengar langka, namun ternyata bagi sebagian orang tradisi ini masih dipertahankan. Di Indonesia sendiri, beberapa daerah masih menerapkan kebiasaan tersebut salah satunya Yogyakarta. Tradisi sunat bagi perempuan di Yogyakarta dikenal dengan nama Tetesan.
ADVERTISEMENT
Tetesan berasal dari sebuah kata ‘tetes’ yang dalam Bahasa Jawa bisa diartikan sebagai ‘jadi’. Secara harafiah, Tetesan bermakna upacara yang menjadikan anak yang sempurna dalam pertumbuhan menjelang usia dewasa. Upacara ini diperuntukan bagi anak perempuan yang telah berusia 8 tahun atau sewindu. Upacara ini disebut sebagai tanda bahwa seorang anak perempuan akan memasuki kedewasaan.
“Di Jogja masih ada upacara Tetesan. Tetesan itu sunatannya untuk perempuan,” pungkas KRT Jatiningrat selaku Penghageng Tepas Dwarapura di Keraton, Sabtu (14/12/2019).
Budaya seperti itu masih dilakukan di Yogyakarta terutama di lingkungan keraton. Lingkungan keraton memang masih memelihara berbagai upacara daur hidup dalam budaya Jawa. Meski masih dipertahankan keraton, bukan berarti acara ini menjadi upacara besar dan terbuka bagi umum. Romo Tirun, panggilan akrab KRT Jatiningrat, mengatakan bahwa acara tersebut merupakan sebuah acara keluarga. Jadi yang menghadiri hanyalah kalangan tertentu saja dan tentunya masih punya hubungan kekerabatan.
ADVERTISEMENT
“itu acara kecil, syukuran. Untuk acara keluarga saja,” imbuhnya.
Dalam Ensiklopedia Kraton Yogyakarta, disebutkan bahwa upacara Tetesan diadakan di Bangsal Pengapit yang letaknya sebelah selatan Dalem Prabayeksa. Karena upacara ini merupakan acara keluarga, maka yang menghadiri hanya kerabat terdekat seperti garwa Dalem, putra Dalem, wayah, buyut, canggah. Selain itu ada pula Abdi Dalem bedaya, emban, amping, Abdi Dalem keparak berpangkat Tumenggung serta Riya yang duduk di emper bangsal pengapit sementara Abdi Dalem lainnya berada di halaman sekitarnya.
Untuk busana yang dikenakan dalam upacara ini, si anak perempuan akan mengenakan busana yang terdiri dari nyamping cindhe. Cindhe yang dikenakan dengan model sabukwa, lonthong kamus bludiran, cathok kupu terbuat dari emas, slepe, kalung ular, subang gelang tretes, dan cincin tumenggul.
Upacara tetesan. foto: Facebook/Soloevent
Sebuah buku karangan Dr Martha Tilaar yang berjudul Kecantikan Perempuan Timur halaman 83 menyebut bahwa prosesi akan dijalankan oleh dukun. Dukun tersebut membawa peralatan berupa kunir, kapas, sebilah pisau khusus untuk memotong sedikit bagian klitorisnya.
ADVERTISEMENT
Hingga kini belum ditemukan sumber yang menjelaskan bagaimana detail sunatan perempuan seperti apa yang diterapkan di Yogyakarta. Namun menurut organisasi kesehatan dunia, WHO ada 5 jenis sunat perempuan. Yang pertama yakni pengangkatan sebagian atau keseluruhan klitoris perempuan, pengangkatan sebagian atau keseluruhan klitoris beserta bagian labia minora, menjahit bagian labia menjadi satu dengan tujuan agar lubang vagina menjadi lebih kecil, dan semua tindakan yang dilakukan pada bagian luar alat kelamin perempuan (vulva), untuk tujuan non-medis baik dengan cara menusuk, melubangi, menggores, atau pemotongan daerah genital.
Tetesan diantara Budaya dan Perkembangan Zaman
Rupanya perkembangan era tentunya berpengaruh pada budaya. Memang sebagian masyarakat masih mengetahui keberadaan bahwa ada sunat bagi perempuan, tapi hanya sebagian yang menerapkan budaya seperti ini dalam hidup bermasyarakat. Romo Tirun menceritakan ketika masih kecil, ia mengaku masih menjumpai upacara Tetesan. Bahkan Tetesan juga masih dialami oleh saudara perempuannya. Namun kini, hal tersebut sudah berubah dimana sebagian besar masyarakat sudah meninggalkan budaya tersebut. Alasannya bisa banyak hal mulai dari sisi kesehatan, hingga berkaitan dengan norma tertentu.
ADVERTISEMENT
“Dulu zaman kakak-kakak saya masih (Tetesan). Sekarang sudah banyak yang tidak. Sebabnya bermacam-macam, bisa kesehatan, bisa yang lain juga,” ujarnya.
Seorang anak menjalani prosesi upacara Tetesan. foto: facebook/NaomiArtofWedding
WHO sendiri dalam tulisan di situs webnya yang diunggah pada 31 Januari 2018 menyebut bahwa sunat perempuan sama sekali tak membawa dampak baik bagi yang menjalaninya. Malah ada resiko kesehatan yang menanti seperti komplikasi dan dampak jangka panjang. Terlepas dari hal tersebut, pilihan untuk melakukan sunat perempuan dikembalikan pada tiap individu. Namun, sebagai pusat tradisi dan budaya Keraton Yogyakarta sendiri memandang Tetesan sebagai bagian sesuatu yang patut dipertahankan. Hal itu disebabkan karena keraton mempertahankan budaya apapun termasuk yang berkaitan dengan siklus hidup manusia.
“Putri raja Yogyakarta (Sri Sultan Hamengku Buwono X) masih melakukan Tetesan. Itu sudah bagian dari budaya. Keraton mempertahankan budaya,” ujar Romo Tirun.
ADVERTISEMENT