Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Upacara Labuhan: Tradisi di Yogyakarta yang Dilakukan 8 Tahun Sekali
6 Februari 2020 7:35 WIB
ADVERTISEMENT
Labuhan berasal dari kata labuh yang artinya membuang, meletakkan, atau menghanyutkan. Maksud dari labuhan ini adalah sebagai doa dan pengharapan untuk membuang segala macam sifat buruk. Pada pelaksanaannya, Keraton Yogyakarta melabuh benda-benda tertentu yang disebut sebagai uba rampe labuhan. Uborampe labuhan yang akan dilabuh di tempat-tempat tertentu atau yang disebut petilasan, beberapa diantaranya merupakan benda-benda milik Sultan yang bertakhta.
ADVERTISEMENT
Pada masa kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Hajad Dalem Labuhan tidak diselenggarakan untuk memperingati hari penobatan (Jumenengan Dalem) melainkan untuk peringatan hari ulang tahun Sultan (Wiyosan Dalem) berdasarkan kalender Jawa. Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X, Hajad Dalem Labuhan dikembalikan untuk peringatan Jumenengan Dalem. Setiap tahun, Upacara Labuhan digelar satu hari setelah puncak acara Jumenengan Dalem (29 Rejeb) sehingga jatuh pada tanggal 30 Rejeb.
Upacara Labuhan merupakan upacara adat yang telah dilakukan sejak zaman Kerajaan Mataram Islam pada abad ke-13 hingga sekarang di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Masyarakat meyakini bahwa dengan melakukan Upacara Labuhan secara tradisional akan terbina keselamatan, ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat serta negara.
Upacara Labuhan biasanya dilaksanakan pada empat tempat yang berjauhan letaknya. Masing-masing tempat itu mempunyai latar belakang sejarah tersendiri sehingga pada masing-masing tempat tersebut perlu dan layak dilakukan upacara labuhan. Keempat tempat tersebut adalah Dlepih yang berada di Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. kanTempat yang kedua adalah Parangtritis di sebelah selatan Yogyakarta, yang ketiga adalah Puncak Gunung Lawu dan yang keempat adalah di Puncak Gunung Merapi.
ADVERTISEMENT
Upacara Labuhan ini bersifat religius yang hanya dilaksanakan atas titah raja sebagai kepala kerajaan. Dan menurut tradisi Kraton Yogyakarta, Upacara Labuhan dilakukan secara resmi dalam rangka peristiwa-peristiwa seperti Penobatan Sultan, Tingalan Panjenengan (Ulang tahun penobatan Sultan) dan peringatan hari "Windo" hari ulang tahun penobatan Sultan "Windon" berarti setiap delapan tahun.
Tradisi upacara Labuhan memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat Parangtritis karena menurut kepercayaan yang mereka anut, jika ritual Labuhan tidak dilakukan, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya hilangnya pengunjung karena terseret ombak, hasil laut yang merosot drastis, dan tenggelamnya awak kapal di laut.
Dari pengalaman yang terjadi pada masyarakat tersebut, maka masyarakat mempercayai bahwa laut merupakan salah satu sumber kehidupan yang diberikan oleh sang penguasa alam untuk masyarakat Parangtritis yang harus dijaga, dihormati, dan disyukuri. Penulis ingin mengkaji lebih jauh tentang makna pentingnya upacara Labuhan dan pengaruhnya bagi kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
Abdul Jalil dalam makalahnya yang berjudul Memaknai Tradisi Upacara Labuhan dan Pengaruhnya terhadap Masyarakat Parangtritis yang dimuat di jurnal el Harakah Vol. 17 No. 1 Tahun 2015 meneliti bahwa penduduk Desa Parangtritis masih percaya terhadap roh-roh nenek moyang mereka serta kekuatan gaib lainnya sehingga mereka masih melakukan tradisi alam, sejenis tradisi Labuhan yang usianya sudah ratusan tahun.
Upacara Labuhan yang dilakukan oleh seluruh masyarakat Yogyakarta, antara lain Labuhan Ageng, Labuhan Alit, Pisusung Jaladri Bhekti Pertiwi, Labuhan dari para nelayan, Labuhan Khusus Umat Hindu, Labuhan dari Yayasan Hendrodento, dan Labuhan Pen Chu. Dari masing-masing labuhan itu memiliki tujuan yang sama, yaitu memohon kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat.
"Labuhan itu dilaksanakan dengan cara melabuh uburampe yang sudah disiapkan. Adapun uburampe yang akan di labuh adalah nasi tumpeng, jajan pasar, buah-buahan, dan berbagai macam bunga, namun bagi Labuhan yang dilakukan oleh pihak keraton, seperti Labuhan Ageng ditambahkan dengan pakaian Sultan. Setelah uburampe dilabuh, maka diperebutkan oleh para pengunjung yang memang hadir untuk ngalap berkah yang menceburkan diri. Begitu kuatnya kepercayaan masyarakat tersebut, sehingga berpengaruh bagi masyarakat Parangtritis. Pengaruh tersebut berpengaruh pada bidang keagamaan, ekonomi, maupun bidang keamanannya," tulis Abdul Jalil dalam makalahnya.
ADVERTISEMENT
Karena hanya diadakan setiap delapan tahun sekali, sehingga tidak heran jika upacara Labuhan ini menjadi daya tarik wisatawan. Susana khidmat upacara, keberanian para pembantu juru kunci melaksanakan Labuhan di lautan serta keramaian masyarakat memperebutkan benda-benda Labuhan. (Ayu)