Civil Society dalam Pilkada, Corong atau Kritis Mencerahkan?

Konten Media Partner
16 Agustus 2020 13:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Choirul Amin. Foto: dok.
zoom-in-whitePerbesar
Choirul Amin. Foto: dok.
ADVERTISEMENT
Oleh: Choirul Amin - Founder inspirasicendeki.com dan Bergiat di Aksara Cendekia Learning Society.
ADVERTISEMENT
"Nderek, nggih dukung mawon, pun. Sinten mawon Bapak e. (Ikut, ya mendukung saja. Siapapun bapak (calon bupatinya)," demikian jawaban polos salah seorang warga, ketika ditanya perihal calon kepala daerah, saat ditanya petugas verifikasi faktual calon perseorangan pilkada Kabupaten Malang, awal Juli 2020 lalu.
Sebuah hasil survey terkait pilkada oleh lembaga riset lokal yang dirilis awal tahun 2020 lalu, juga mendapati sebuah fakta, bahwa responden tidak memiliki pengetahuan cukup soal figur calon pada pilkada serentak 2020 ini. Masih muncul anggapan responden terutama dari daerah pinggiran, pada figur kepala daerah lama. Padahal, kepala daerah yang dimaksud sudah lama copot jabatan akibat kasus hukum yang menjeratnya.
Dua temuan di atas adalah fenomena nyata, yang mengindikasikan produk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Kabupaten Malang terpahami sempit. Bisa jadi, masyarakat juga cukup subsisten (pasrah) dan masih rendah kepeduliannya (sense of politic-nya) pada kepemimpinan daerah. Bagi sebagian masyarakat: datang mencoblos saat pemungutan suara, lalu tahu hasil paslon terpilihnya, cukup sekadar itu!
ADVERTISEMENT
Hal lainnya, masih didapati angka partisipasi pemilih yang belum memuaskan, meski ada kenaikan persentasenya dari setiap periode pemilu atau pilkada yang dilaksanakan. Ukuran kesuksesan pemilu atau pilkada sederhana, bisa dilihat dari dihasilkannya paslon terpilih secara sah. Memenangi 50 persen plus 1 suara sah saja, sudah bisa dinyatakan sah terpilih. Jika diasumsikan dengan jumlah penduduk yang ada, maka perolehan suara cukup 50 persen lebih 1 pemilih, sudah merepresentasi kepentingan seluruh warga masyarakat di Kabupaten Malang.
Barangkali, meningkatnya angka Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang sempat dirilis Badan Pusat Statistik 2020 ini, menjadi sebuah kemajuan. Akan tetapi, ini akan lebih sempurna jika dibarengi kuatnya kesadaran pemilih pada perbaikan apa yang akan terjadi lima tahun mendatang, sebagai produk pemilu atau pilkada. Tercatat, pada tahun 2017 indek presentase demokrasi sebesar 70.92 persen, kemudian di tahun 2018 indek demokrasi mengalami kenaikan menjadi 72.86 persen. Di tahun 2019, Indek Demokrasi kembali naik menjadi 77.68 persen.
ADVERTISEMENT
Eiits...tunggu dulu! Memilih kepala daerah, tidak sesederhana mencoblos kartu suara saat pemungutan. Ingat, memilih sejatinya mengamanatkan nasib dan kemaslahatan pada pemimpin. Bisa jadi, sebagian pemilih hanya ikut-ikutan atau asal saja menggunakan hak pilihnya. Mereka mungkin juga tidak sepenuhnya tahu siapa calon yang dipilihnya, juga komitmen apa yang mau disumbangkan dalam memajukan nasib dan harkat rakyatnya kelak.
Nah, dalam konteks ini pilkada berkualitas proses dan outputnya menjadi hal sangat penting. Kualitas proses lebih bertumpu pada kredibilitas dan integritas penyelenggara. Namun, kualitas output butuh penguatan dan sumberdaya lebih. Menggerakkan civil society atau partisipasi publik yang luas untuk produk pilkada berkualitas, menjadi sebuah keniscayaan!
Mengawal Pilkada Masa Pandemi, Civil Society Lebih Andil
ADVERTISEMENT
Melihat sosiokultur dan klaster pemilih harus dilakukan untuk memaksimalkan peran masyarakat sipil dalam pilkada serentak ini. Setidaknya pada dua klaster, pemilih pedesaan dan perkotaan, yang memiliki karakter psikososial tak sama. Pemilih yang terbiasa menerima informasi cepat dan langsung, lebih pada warga perkotaan, dengan akses telekomunikasi mudah. Namun, pemilih di wilayah pinggiran cenderung di rumah, tapi gagap perkembangan informasi. Dan, segmen pemilih ini lebih banyak jumlahnya di Kabupaten Malang.
Pilkada tentunya lebih dinamis dan memiliki tingkat kontestasi lebih kuat dan dekat. Terlebih, pilkada serentak tahun ini juga masih dalam bayang-bayang kekawatiran ancaman pandemi.
Pertanyaannya kemudian, mampukah kelompok masyarakat sipil menjadi bagian penting penyadaran dan penguatan pemilih cerdas dalam pilkada kali ini? Kekuatan civil society yang bagaimana yang benar-benar bisa diandalkan concern-nya pada aspek tersebut?
ADVERTISEMENT
Andil dan partisipasi civil society memang harus melihat apa dan siapa yang disasar. Dalam konteks penyelenggaraan pilkada, pengawasan partisipatif perlu sangat didorong. Namun, yang tak kalah penting adalah sumbangsih siapa saja bagi penyadaran dan pencerahan pada pemilih, pada produk yang akan dihasilkan pilkada.
Segmen pemilih perkotaan dan milenial, lebih mudah dari berbagai forum diskusi atau jagongan. Melalui konten-konten informasi media dan digital juga bisa jadi alternatif, karena pemilih ini pengguna aktif internet dan sosial media. Terpenting, adalah bobot dan urgensi konten informasi yang disajikan, juga kontinuitas dan kemasan penyajiannya.
Jagongan dan diskusi sambil ngopi membahas soal pilkada sudah mulai banyak dilakukan. Tetapi, narasi dan literasi kepemiluan dan persoalan kepemimpinan daerah, bisa lebih mudah dan sewaktu-waktu dimunculkan dari konten-konten digital.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, penulis mendapati belum banyak kanal informasi kepemiluan dan pilkada yang benar-benar dikelola civil society yang kredibel dan bisa dipertanggung jawabkan. Pemilik akun khusus pilkada dan kepemiluan masih bisa dihitung dengan jari. Sebagian besar dikelola asal-asalan, dan bahkan sudah tidak diaktifkan kontennya lebih dari setahun.
Sebaliknya, yang sudah mulai marak adalah akun-akun yang berkepentingan langsung dengan pencalonan dan kontestasi antarcalon. Satu sisi, pesan konten yang disajikan cukup bagus, memuat profil dan narasi prestis yang melibatkan calon. Tetapi, sisi lain konten yang ada juga kerap terjebak terlalu mencitrakan, sekaligus juga mendiskreditkan pihak lain.
Perlu lebih banyak kanal diskusi dan informasi dengan materi dan konten berimbang dan lebih mencerahkan. Pilkada bukan soal siapa figur yang harus dikenalkan, melainkan juga apa persoalan dan gagasan solutif yang menjadi bagian dari kapasitas kepemimpinannya kelak.
ADVERTISEMENT
Dengan kepentingan bersama mendorong dihasilkannya output pilkada yang lebih baik, maka semua kelompok masyarakat sipil bisa turut andil. Pilihannya, ikut menjadi corong bagi pencerahan publik dan penyadaran pemilih, atau sebaliknya menjadi kritikus yang bisa memunculkan referensi dan alternatif terbaik bagi kepemimpinan mendatang, siapapun calon yang terlibat dalam kontestasi pilkada ini.(*)